Floresa.co – Pertemuan pastoral keuskupan di wilayah Nusa Tenggara yang bakal digelar di Larantuka, Kabupaten Flores Timur pada awal Juli akan membahas isu terkait peran Gereja Katolik dalam menangani masalah pekerja migran.
Pertemuan Pastoral (Perpas) XII Regio Gerejawi Nusa Tenggara itu menghadirkan sembilan keuskupan yang akan berlangsung pada 1-5 Juli 2025 di Gedung OMK San Juan, Lebao.
Keuskupan yang tergabung dalam Regio Gerejawi Nusa Tenggara mulai dari daratan Timor, Sumba hingga Flores. Kesembilannya mencakup dua Keuskupan Agung, yakni Ende dan Kupang, serta tujuh keuskupan sufragan – Larantuka, Maumere, Ruteng, Labuan Bajo, Atambua, We’etebula dan Denpasar.
Berbicara dalam konferensi pers pada 17 Juni, Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung berkata, pertemuan pastoral ini diselenggarakan setiap tiga tahun sekali sejak 1981.
“Setiap kegiatan mengangkat tema aktual sesuai dengan tantangan pastoral di wilayah Nusa Tenggara,” katanya.
Tiga tahun lalu, kata dia, “tidak berjalan dengan baik karena terhambat masalah Covid-19.”
Tema pertemuan ini adalah Gereja Berwajah Perantau Berziarah dalam Pengharapan: Mencari Solusi Praktis Pastoral.
Ia berkata, pemilihan tema ini karena mengangkat nasib para pekerja migran karena “menjadi tantangan yang sangat serius.”
Sembari mengakui bahwa migrasi punya dampak positif, namun “tidak sedikit hal negatif yang muncul.”
Uskup itu menyinggung masalah “human trafficking, pelecehan dan kekerasan, masalah kesehatan, penyakit sosial, kematian dan persoalan pastoral lainnya.”
Menurut data Balai Pelayanan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) NTT, sebanyak 66 pekerja migran asal Provinsi NTT meninggal di luar negeri sejak awal Januari hingga pertengahan Juni 2025. Mayoritas mereka ke luar negeri secara non-prosedural, hanya lima yang prosedural atau mengikuti persyaratan yang ditetapkan pemerintah.
Dari 66 pekerja tersebut, dua di antaranya umat Keuskupan Larantuka, masing-masing dari Dekenat Adonara dan Dekenat Lembata.
Mgr. Fransiskus juga menyoroti masalah pemicu migrasi seperti kemiskinan dan perubahan iklim yang perlu dibahas bersama.
Gereja, kata dia, “tidak bisa berjalan sendiri,” tetapi harus bersinergi dengan “pemerintah dan pemangku kepentingan lain.”
Ia berharap, pertemuan tahun ini mampu melahirkan langkah konkret untuk mengatasi masalah pekerja migran.
Ketua Panitia Perpas, Romo Gabriel Unto da Silva berkata, setiap keuskupan mengirim 10 perwakilan, termasuk uskup, direktur pusat pastoral dan ketua beberapa komisi terkait, seperti Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau, Komisi Pemberdayaan Sosial Ekonomi-Caritas, Komisi Keluarga dan Komisi Kepemudaan.
Selain itu, katanya, hadir juga utusan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Mabes Polri atau Polda NTT, serta, pemerintah provinsi dan kabupaten.
“Utusan dari tiga dekenat di Keuskupan Larantuka juga hadir, yakni, Dekenat Larantuka, Lembata dan Adonara,” kata Gabriel.
Editor: Ryan Dagur