Pilkada: Memilih Diktator yang Cakap

Pilkada

Oleh: GREGORIUS AFIOMA

Sekarang menjelang setiap pilkada, pertanyaan paling relevan adalah: siapakah “diktator” baru yang paling cakap untuk dipilih?

Sebutan diktator bukan tanpa alasan.  Kebijakan otonomi Daerah melalui pemberlakuan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 telah berkontribusi dalam melahirkan para pemimpin lokal yang bertindak ala diktator.

Raja-raja baru tumbuh bak jamur. Koruptor di daerah semakin merajalela. Tentu saja, kenyataan itu tidak terlepas dari kekuasaan yang semakin besar di tangan elite lokal melalui penerapan kebijakan otonomi tersebut.

Sejatinya bentuk kediktatoran pernah dikagumi oleh Carl Schmitt, seorang filsuf asal Jerman. Kekuasaan yang besar dapat menstimulasi perubahan yang cepat. Demikian pula sisi positif yang terbayang dari adanya kebijakan desentralisasi.

Dalam euforia demokrasi pasca-reformasi, kekuasaan itu harus tersebar merata. Sentralitas kekuasaan pada pemerintahan pusat dikebiri demi merangsang kreativitas tiap pemimpin lokal dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemudahan administrasi, dan partisipasi politik.

Akan tetapi hasilnya nihil. Setelah satu dekade berlalu sejak penetapan otonomi, pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kusmolo mengumumkan bahwa masih sekitar 60 persen pemerintahan daerah tidak berhasil meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Kewenangan yang diberikan kepada pejabat lokal, misalnya dalam memberikan perizinan tambang ternyata tidak menambah begitu berarti bagi pundi-pundi PAD. Jadi, otoritas bertolak belakang dengan tujuan otonomi.

Kabupaten Manggarai Barat dan Manggarai termasuk dalam kategori ini. Melalui kemendagri, pemerintah memberikan catatan buruk untuk dua daerah tersebut. Manggarai Barat dinilai 43 dari skala 100, sementara Kabupaten Manggarai mendapat skor 51,98.

Hal itu tidak terlepas juga dari jumlah PAD yang masih berada jauh di bawah alokasi dana dari pemerintah pusat. Pada tahun 2013, dana dari pusat berjumlah sekitar 452 milliar, sementara PAD hanya sekitar 38 milliar.  Sedangkan Manggarai Barat, dana dari alokasi sekitar 382 milliar dan PAD berjumlah sekitar 34 milliar.

Jadi, kegagalan kebijakan Otonomi Daerah di wilayah mana pun seolah mengulangi potret buram dari gaya pemerintahan Orde Baru. Reinkarnasi dari “soeharto” terlihat dalam wajah-wajah baru, berpindah dari Jakarta, dan menyebar ke daerah-daerah. Tak heran, di tingkat lokal, bisnis adalah keluarga. Jabatan birokratis adalah juga soal keluarga. Itulah diktator. Tepatnya, diktator yang sewenang-wenang.

Diktator yang Cakap

Karena masih di bawah bayang-bayang sentralitas kekuasaan elite lokal, pilkada dengan sendirinya adalah kontes untuk memilih diktator baru yang cakap. Berbeda dengan diktator yang sewenang-wenang, diktator yang cakap adalah searah dengan tujuan otonomi daerah atau gagasan cemerlang dari Carl Schmitt.

Diktator yang cakap adalah seorang penguasa yang mampu meningkatkan PAD, merangsang pertumbuhan ekonomi, meringankan hambatan birokrasi dan administrasi, dan mendorong partisipasi politik warga negara. Lantas siapakah yang pantas menjadi diktator yang cakap itu?

Tuntutan bahwa setiap pemimpin haruslah seorang pengambil kebijakan yang baik membuat beberapa pemikir tak segan-segan memberikan kriteria yang konkret.

Max Weber, seorang sosiolog adalah salah satunya. Menurutnya, pemimpin haruslah seorang yang karismatis atau punya insting politik yang bagus (great political instincts). Insting politik tersebut hanya tercapai melalui proses kaderisasi. Inilah fungsi dari partai-partai politik.

Atas dasar itu, menurutnya, pemimpin politik lahir dari suatu perjuangan politik, bukan melalui perjalanan karir birokratis. Pemimpin dari kalangan birokrat dianggap tidak kreatif karena insting politik yang tidak terasah dengan baik.

Claudia Henri-Saint Simon, seorang keturunan bangsawan Perancis (1760), punya gagasan yang patut diperhitungkan. Menurutnya, negara harus ditata seperti sebuah perusahaan dimana logika ilmiah dikedepankan. Untuk itu, dalam menata negara, para elite feodal seperti para bangsawan, militer, dan kaum rohaniwan harus diganti dengan para elite industrial seperti para pemimpin bank, pemimpin perusahaan, ahli teknik, dan para pekerja itu sendiri. Karena para feodal elite adalah malas, hidup dari pekerjaan rakyat, dan tidak mempunyai pengertian ilmiah. Sedangkan elite industrial lebih berkompeten, rajin, dan produktif.

Meskipun kualifikasi demikian bukanlah harga mati karena seorang birokrat belum tentu tidak kreatif, tetapi konteks pemikiran mereka perlu dipahami. Saint Simon misalnya amat menyayangkan kondisi ketidakadilan yang dialami para pekerja saat itu. Pejabat politik justru lebih menghisap rakyat melalui kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada pemilik industri atau kaum pemodal.

Itulah juga yang kita alami sekarang ini. Kongkalingkong antara pemerintah dan investor kerap menggadaikan nasib banyak orang. Dalam kasus pertambangan, misalnya. Sebagai konsekuensinya, daripada merasa akrab dan menyatu dengan pekerjaannya sebagai petani, banyak masyarakat justru terasing ketika melihat tanah. Tanah bukannya untuk menumbuhkan berbagai jenis benih tetapi malah untuk lokasi galian dan pertambangan.

Homo Democraticus

Entah seorang pemimpin nantinya berasal dari latar belakang sebagai pemimpin perusahaan, politisi, birokrat, pebisnis, potensi menjadi “diktator” yang ceroboh dan pongah tetap berlaku. Kecenderungan alamiah manusia memang sebagian seperti binatang. Menjadi serakah akan uang dan kekuasaan adalah potensi yang bisa terjadi pada siapapun.

Kecenderungan itu hanya dapat dijinakkan melalui partisipasi politik para warga negara. Kecakapan seorang manusia justru lahir ketika rasionalitasnya terus-menerus diasah dan teruji. Sikap kritis dari para warga negara sangat diperlukan di sini dalam menguji tiap kebijakan dan gagasan yang ditelorkan oleh seorang pemimpin.

Kontrol publik dan diskursus itu selanjutnya akan melemahkan nafsu kekuasaan seorang pejabat publik. Keluhan semisal ketidakberesan pelayanan rumah sakit, penolakan izin pertambangan yang tidak dilandasi pertimbangan yang matang, meminta tranparansi laporan keuangan, atau berani memperdebatkan setiap kebijakan publik adalah usaha yang membuat seorang “diktator” selalu merasa tidak aman jika terlalu mengikuti naluri kebinatangannya. Keputusan politik akhirnya menjadi semakin bisa dipertanggungjawabkan.

Sayangnya, kesadaran politik demikian masih kurang. Di Indonesia masyarakat lebih dipahami sebagai homo economicus daripada homo democraticus. Menjelang pemilu, semua orang berbicara politik. Begitu pemilu selesai, semua sibuk pada pekerjaan masing-masing. Dan saat itulah, pemerintah yang semula dianggap baik selama masa kampanye paling rentan mengabaikan tanggung jawabnya. Kesewenang-wenangan dapat dimulai dari sana.

Atas dasar itu, dalam masa penyambutan Pilkada, seorang diktator baru yang cakap hanya jika semua warga negara terus-menerus bisa menjadi homo democraticos.

Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Pemuda asal Manggarai yang menempuh pendidikan menengah di SMP dan SMA Seminari Pius XII Kisol ini, juga staf litbang Floresa.co

spot_img
spot_img

Artikel Terkini