Promosikan “Tenun Pabrik” Sebagai Tenun Manggarai, BNN NTT Dikecam Pegiat Tenun

Elisabeth menegaskan, sekalipun video yang dipublikasikan BNN NTT itu memiliki niat untuk terlibat aktif dalam mempromosi dan mendukung langsung ekonomi masyarakat kecil, tetapi, bagi dia, tetap sebagai sebuah kesalahan yang sangat fatal.

Labuan Bajo, Floresa.coPegiat tenun asal Manggarai – Flores, Elisabeth Hendrika Dinan mengecam pihak Badan Narkotika Nasional Nusa Tenggara Timur (BNN NTT) atas video promosi tenun yang dipublikasikan lembaga tersebut melalui akun istagramnya baru-baru ini.

Bagi Elisabeth, informasi yang disebarkan pihak BNN NTT itu merupakan bentuk pelecehan terhadap orang NTT, secara khusus masyarakat Manggarai yang mewarisi Tenun Songke.

Di dalam video berdurasi 52 detik tersebut, berlatar halaman belakang salah satu hotel BUMN di Labuan Bajo, seorang wanita paruh baya yang tengah menjumpai seorang penjajal kain menyatakan, “kain Tenun Mangggarai Bapak Marten di Labuan Bajo. Ayo kita beli produk-produk lokal kita sendiri,” sembari menunjukan lembar kain tersebut ke arah kamera.

“Video ini adalah salah satu contoh konkret dari sekian banyak masalah yang dihadapi penenun kita, pun bagi komunitas atau orang-orang yang bekerja untuk mendorong gerakan pelestarian dan pengembangan tenun NTT,” kata Elisabeth saat dihubungi Floresa.co, Jumat 19 Maret.

Menurut pengapuh Rumah Tenun Baku Peduli – Labuan Bajo itu, kain yang dipromosikan dalam video tersebut bukan Tenun Songke Manggarai melainkan tenun pabrikan yang menyerupai tenun-tenun NTT yang juga diproduksi di luar NTT.

“Secara personal saya cukup marah ketika menonton video ini,” katanya sembari menambahkan bahwa ia sendiri lahir serta tumbuh dalam tradisi Tenun Songke Manggarai dan telah lama melakukan aksi nyata dalam upaya pelestarian dan pengembangannya.

Erni Surti, salah satu penenun asal Manggarai Barat juga menolak menyebut kain yang dipromosikan dalam video tersebut sebagai Tenun Songke Manggarai, pun sebagai buah tangan masyarakat NTT.

“Sangat disayangkan dan saya tidak terima,” katanya kepada Floresa.co, Jumat 19 Maret usai menonton video tersebut.

Erni menyebut, kain-kain tersebut memang dijajal dengan sangat murah, yang berbeda dengan harga tenun asli. Penyebabnya, kata Erni, karena bahan dan proses produksinya juga berbeda.

“Kalau [penjualan kain pabrikan bermotif tenun NTT] itu dibiarkan terus-menerus, akan mengalahkan tenun asli Manggarai, Flores dan NTT secara umum,” cemasnya.

Tangkapan layar video promosi BNN Provinsi NTT tentang tenun pabrikan yang mereka klaim sebagai Tenun Manggarai.

Elisabeth menyatakan, video tersebut tidak akan menjadi masalah serius jika hanya dikonsumsi oleh masyarakat Flores dan NTT secara umum yang memahami corak tenun.

Namun, ketika dikonsumsi oleh orang dari luar NTT yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang Tenun Songke, akan menciptakan masalah serius.

“Video ini jelas-jelas bukan merupakan produk tenun songke. Dalam video ini, si ibu dengan percaya diri menyebut tenun yang sedang dipegangnya sebagai Tenun Manggarai,” katanya.

“Bukankah itu, kendati tidak disadari, mereka sedang membelokkan sejarah kebudayaan kita sebagai orang NTT? Lantas, seberapa banyak energi kita untuk meluruskan informasi yang salah seperti ini?” tambahnya.

Celakanya, tutur Elisabeth, justru yang dibangga-banggakan sebagai produk asli orang NTT dalam video itu ialah produk printing textile, yang jelas-jelas bukan produk tenun tangan khas masyarakat adat NTT.

“Sangat disayangkan pula bahwa akun lembaga negara sebesar BNN NTT menyebar informasi yang tidak valid seperti ini,” ujarnya.

Humas BNN NTT mengaku telah melayangkan permintaan maaf dan menghapus video itu dari akun instagram. Mereka merasa ‘tertipu’ dan bersalah atas informasi melalui video yang telah mereka unggah itu.

Kesalahan itu, diakui karena mereka memiliki keterbatasan pengetahuan tentang tenun.

“Ternyata kami salah karena tidak tau itu [bukan] tenun asli,” demikian disampaikan pihak BNN NTT melalui pesan di akun instagram infobnn_prov_ntt saat dikonfirmasi Floresa.co Jumat sore, 19 Maret.

Salah seorang anak muda Labuan Bajo sedang memperagakan proses menenun. (Foto: Firman Syah).

Mereka juga mengaku tidak sempat melakukan riset sebelum mempublikasikan video tersebut.

“Salah kami, hanya percaya saja kepada beberapa penjual di sana,” demikian disampaikan sembari menambahkan bahwa di video-video lain yang bertema budaya, mereka selalu mengkonfirmasi kebenaran informasi yang mereka dapatkan.

“Semoga ada pendekatan dan pembinaan terhadap penjul kain ini. Namun tidak mematikan mata pencaharian beliau, dengan mengedukasi dan menjual kain asli Manggarai Barat dan sekitarnya,” demikian disampaikan.

Banjir Tenun Pabrikan

Membanjirnya tenun pabrikan yang menyerupai motif-motif tenun NTT, terutama motif tenun ikat telah lama didiskusikan di kalangan komunitas penenun di NTT.

Sekalipun memiliki perbedaan yang sangat jauh dengan tenun asli, Elisabeth sendiri merasa kewalahan untuk membuat narasi tandingan demi mengedukasi publik atas perbedaan kedua jenis tenun tersebut.

Di Labuan Bajo – kota super premium dan episentrum pembangunan NTT itu, kata Elisabeth, dengan sangat mudah menyaksikan tenun pabrikan itu dijajal.

“Saya sendiri belum tahu baik, dari mana kain-kain ini berasal. Seturut informasi yang beredar, kain-kain ini diproduksi di Jepara-Jawa Tengah,” katanya.

“Namun satu yang pasti bahwa, sebuah kesalahan fatal sedang terjadi, jika kita sampai mengklaim kain-kain ini sebagai produk tenun Flores, yang dalam video ini disebut sebagai Tenun Songke,” tegasnya.

Ia berharap situasi ini mesti menjadi menjadi kecemasan bersama, yang melahirkan kepedulian banyak pihak, baik bagi orang NTT sendiri maupun orang luar yang mencintai dan mengapresiasi tenunan tangan NTT sebagai karya seni dana karya peradaban.

“Pemerintah diharapkan menanggapi masalah ini secara serius. Stop tutup mata, telinga dan hati,” tegasnya.

Proteksi Tenun NTT

Menurut Elisabeth, video yang dipublikasikan oleh BNN NTT itu tidak berdiri sendiri. Hal itu menggambarkan bahwa perlindungan dan pelestarian tenun belum menjadi garapan serius sehingga tidak banyak pihak memahami informasi seputar tenun, termasuk pihak BNN NTT.

Ia menyarankan perlindungan tenun harus menjadi garapan serius yang dimulai dari hulu – di komunitas penenun tahapan pemasaran di tingkat hilir- tahap pemasaran.

Tenun Songke Manggarai. (Foto: Rumah Tenun Baku Peduli).

“Pertama, buatkan regulasi agar produk kain “tenun jadi-jadian” tidak seenaknya masuk di tanah kita. Bagimana nasib penenun-penenun kita? Ini jelas merupakan ancaman serius bagi mereka,” ujar Elisabeth yang sudah sekitar tujuh tahun belakangan bekerjasama dengan komunitas penenun di Cibal, Manggarai.

Ia mengharapkan kolaboransi dengan lembaga lain yang punya fokus yang sama untuk mendaftarkan motif-motif tenun sebagai Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) menjadi keharusan.

“Terkait ini, di Flores sendiri, terutama Tenun Manggarai tertinggal jauh ketimbang tenunan lain yang sudah memiliki sertifikat HAKI,” katanya.

Langkah-langkah kecil dalam rangka melindungi Tenun Songke Manggarai mulai dilakukan oleh banyak kalangan.

Di Labuan Bajo sendiri, terdapat kelompok orang muda yang tengah berupaya menyusun narasi terkait nama, dan makna motif-motif tenun Songke Manggarai.

“Semoga langkah kecil ini kemudian berkontribusi baik pada pelestarian budaya kita,” ujarnya.

Elisabeth menegaskan, sekalipun video yang dipublikasikan BNN NTT itu memiliki niat untuk terlibat aktif dalam mempromosi dan mendukung langsung ekonomi masyarakat kecil, tetap saja ia melihat itu sebagai sebuah kesalahan yang sangat fatal.

“Akun yang sama berhutang penjelasan dan mungkin permohonan maaf,” pungkasnya.

ARJ/Floresa

 

spot_img
spot_img

Artikel Terkini