Floresa – Mengenakan songke – sarung adat – dan baju putih, warga mulai berdatangan ke halaman rumah adat Lungar di wilayah Poco Leok, Kabupaten Manggarai, NTT, pada Kamis pagi, 17 Agustus
Mereka berasal dari 10 gendang (kampung adat) di wilayah itu, yakni gendang Mucu, Mocok, Mori, Nderu, Ncamar, Cako, Rebak, Tere, Jong dan Lungar.
Sekitar pukul 10.00 Wita, warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Poco Leok menyelenggarakan apel bendera memperingati Hari Ulang Tahun [HUT] Republik Indonesia ke-78.
Para petugas upacara adalah warga Poco Leok yang terdiri dari perwakilan orang muda, orang tua, perempuan dan laki-laki. Tetua adat Poco Leok juga turut hadir. Mereka menempati barisan khusus, tepat di depan peserta, sejajar dengan pembina upacara.
Upacara bendera berlangsung khidmat dan terlihat eksotik dengan nuansa khas budaya Manggarai.
Joniardus Junar, salah satu tokoh mudah Poco Leok yang dipercayakan menjadi pembina upacara, dalam amanatnya menyinggung proyek geothermal yang kini sedang dipaksakan untuk dibangun di wilayah Poco Leok oleh pemerintah.
Dalam pidatonya yang berjudul ‘Merdeka Tanpa Geothermal’ itu, ia mengatakan dengan lantang bahwa posisi dan peran petani sangat penting dalam mempertahankan Indonesia.
Ia juga mengajak para peserta upacara merenungkan jasa para pahlawan dan pejuang Bangsa Indonesia yang bersusah payah merebut dan mempertahankan tanah air dari penguasaan asing.
“Perjuangan para pahlawan menjadi cerminan bagi perjuangan Aliansi Masyarakat Adat Poco Leok dalam mempertahankan wilayah ini dari ancaman ekspansi proyek geothermal,” katanya.
Menurutnya, rencana eksploitasi geothermal di Poco Leok adalah “sebuah penjajahan bentuk baru di negeri ini.”
Jika kita bersatu, lanjutnya, “itu akan menjadi kekuatan besar untuk melawan penjajah yang saat ini mencoba menghancurkan bumi Poco Leok yang telah kita jaga sebagai peninggalan leluhur.”
Mengakhiri pidatonya, Joniardus mengajak seluruh peserta untuk bersama-sama membacakan tuntutan mereka atas rencana eksplorasi geothermal di wilayah Poco Leok yang sebelumnya sudah mereka sampaikan kepada pemerintah dan DPRD Manggarai saat unjuk rasa pada Rabu, 9 Agustus.
Tuntutan itu di antaranya adalah mencabut SK Bupati Manggarai tentang penetapan lokasi proyek, menghentikan aktivitas PT Perusahaan Listrik Negara dan aparat keamanan di Poco Leok, menghentikan intimidasi dan politik pecah belah atas masyarakat Poco Leok, mendesak penghentian pendaaan proyek, mencabut Keputusan Menteri ESDM tahun 2017 tentang penetapan Flores sebagai pulau geothermal dan menghentikan upaya sertifikasi tanah ulayat oleh Badan Pertanahan.
Kegiatan itu ditutup dengan deklarasi pernyataan sikap menentang rencana pengembangan geothermal di wilayah itu.
“Merdeka tanpa geothermal,” teriak warga berulang-ulang.
Kemerdekaan, kata mereka, sejatinya berarti mampu menentukan nasib sendiri, berdikari secara budaya, politik dan ekonomi, tanpa intervensi dari pihak lain.
“Geothermal adalah upaya intervensi, penguasaan dan eksploitasi atas ruang hidup masyarakat Poco Leok. Oleh karena itu, harus dilawan,” kata mereka secara serempak.
Setelah itu, warga kemudian berdiskusi dan makan siang bersama, wujud solidaritas dan persatuan dalam menolak dan menentang geothermal.
Proyek geothermal Poco Leok, bagian dari proyek strategis nasional, adalah pengembangan dari Pembangkit Listrik Panas Bumi Ulumbu, berjarak 3 kilometer sebelah barat Poco Leok, yang sudah beroperasi sejak 2012.
Pemerintah menargetkan geothermal Poco Leok akan menghasilkan energi listrik 2 x 20 MW, meningkat dari 10 MW di PLTP Ulumbu yang sudah beroperasi saat ini.
Selain Poco Leok, beberapa tempat lain di Flores juga menjadi sasaran proyek geothermal sejak penetapan pulau tersebut sebagai Pulau Geothermal, seperti di Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat dan di Mataloko, Kabupaten Ngada.
Di lokasi-lokasi ini, warga juga menolak karena titik-titik pengeboran yang berada di dalam ruang hidup mereka, seperti di dekat pemukiman dan lahan pertanian.