Kecelakaan Kapal Wisata Tanpa Izin Berlayar Terjadi Lagi di Labuan Bajo, Pemerintah Klaim Sudah Sering Ingatkan Nahkoda agar Taat Aturan

Ancaman pidana untuk nakhoda kapal yang mengalami kecelakaan dan tidak memiliki surat persetujuan berlayar adalah 10 tahun penjara

Floresa.co – Otoritas pelabuhan di Labuan Bajo memastikan bahwa kapal wisata yang terbakar akhir pekan lalu di perairan Labuan Bajo tidak mengantongi izin berlayar dan karena itu terancam dipidana.

Kasus ini menambah catatan buruk keselamatan berwisata di destinasi pariwisata super premium itu dengan banyak kasus kecelakaan dalam beberapa waktu terakhir.

Kepala Kantor Kesyahbandaran Pelabuhan [KSOP] Kelas III Labuan Bajo, Stephanus Risdiyanto mengatakan kebakaran kapal wisata Carpediem itu pada 3 Februari sekitar pukul 15.20 Wita di perairan antara Pulau Siba dan Pulau Mawan, diduga terjadi karena hubungan arus pendek listrik pada kabin bawah sebelah kanan di bagian belakang kapal. 

Ia mengatakan kapal wisata itu mengangkut dua turis asal Kanada dan empat kru kapal.

“Tidak ada yang luka-luka dan korban jiwa dalam kejadian tersebut,” ujar Risdiyanto kepada Floresa pada 4 Februari.

Dalam video berdurasi 10 detik  yang diperoleh Floresa, terlihat kobaran api berasal dari bagian belakang kapal disertai asap tebal berwarna hitam.

Kepala Sie Keselamatan Berlayar, Penjagaan dan Patroli KSOP Labuan Bajo, Maxianus Mooy, mengatakan kapal itu tidak mengantongi Surat Persetujuan Berlayar atau clearance out.

“Kita sudah serahkan ke pihak kepolisian untuk diproses,” ujarnya kepada Floresa.

Pasal 219 Undang-Undang No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran mewajibkan kapal mengantongi Surat Persetujuan Berlayar dari Syahbandar.

Sebagaimana diatur dalam pasal 323 UU ini, nakhoda yang tidak mendapat surat tersebut dipidana penjara mulai dari 5 tahun hingga 10 tahun dan denda mulai dari Rp500 juta hingga Rp1,5 miliar.

Bila kapal yang berlayar tanpa surat itu mengalami kecelakaan sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, nakhoda dapat dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. Sementara bila kecelakaannya mengakibatkan kematian, nahkoda dapat dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1,5 miliar.

Kasus Berulang

Meski ancaman pidananya terbilang berat, namun selama ini masih saja ada nakhoda kapal wisata di Labuan Bajo yang tidak mengurus surat itu.

Pada 22 Juli 2023, misalnya, kapal wisata KM Teman Baik  yang tenggelam di perairan kawasan Pink Beach, dekat Pulau Komodo, tidak memiliki Surat Persetujuan Berlayar.

Demikian juga KM King Fisher De Seraya yang mati mesin di sekitar Pulau Kukusan, tak ada izin berlayar.  Kapal wisata ini membawa 7 orang WNA, 2 orang WNI, dan 2 orang kru kapal. 

Maxianus Mooy mengatakan pengurusan Surat Persetujuan Berlayar harusnya sudah menjadi kesadaran dari setiap nakhoda kapal. 

Ia mengakui memang “ada juga [nakhoda] yang nakal, tidak mau tahu.”

Seharusnya, kata dia, nahkoda tahu diri.

“Nahkoda itu sudah tahu apa yang harus dia lakukan sebelum dia berlayar, wajib dilengkapi dengan surat persetujuan berlayar,” ujarnya.

Ia mengakui Syahbandar tidak mengecek satu per satu dokumen perizinan berlayar untuk kapal-kapal wisata itu, karena pengurusan perizinan merupakan kewajiban setiap kapal yang berlayar.

“Dia [nakhoda] tahu kok, dia yang mau jalan, dia wajib melaporkan diri,” ujarnya.

Hal ini, tegas dia, bukan hanya dilakukan di Labuan Bajo, tetapi “dimana-mana begitu.”

“Artinya, kalau mau berlayar dari satu tempat ke tempat lain, maka seharusnya melapor. Itu tugas nakhoda yang tahu aturan,” ujarnya.

Biasanya, tambah dia, pengurusan izin berlayar diserahkan oleh pihak kapal kepada agen pelayaran dan agen yang mengajukan permohonan izin berlayar.

“Agen yang mereka percayakan yang mengajukan,” ujarnya.

Syahbandar, tambah Maxianus, selama ini terus mengimbau kepada pelaku usaha untuk mengurus perizinan berlayar ini sebelum berlayar.

“Setiap hari, itu diimbau terus,” ujarnya.

Salah satu dokumen penting yang dilampirkan dalam mengajukan izin berlayar ini, terang Maxianus, adalah sertifikat keselamatan yang dikeluarkan oleh Marine Inspector, petugas inspeksi pelabuhan.

Sementara itu, Kepala Kantor Syhanbandar, Stephanus Risdiyanto mengatakan kecelakaan kapal ini menjadi pelajaran untuk operator kapal lainnya.

Ia berharap mereka menaati aturan demi “pengawasan kelaiklautan kapal dan memudahkan penanganan musibah karena data kapal dan penumpang akan tercatat di Syahbandar.”

Ancaman terhadap Pariwisata

Kecelakaan kapal wisata di perairan Komodo nyaris terjadi saban bulan, yang memicu kekhawatiran wisatawan dan juga pelaku industri pariwisata di Labuan Bajo. 

Kapal memang elemen penting dalam pariwisata Labuan Bajo yang memiliki corak bahari.

Selama tahun ini, sudah dua kali insiden kecelakaan kapal. 

Selain kebakaran kapal Carpediem, pada awal Janari KM Alfatharan mengalami kebocoran lambung sehingga kandas dalam perjalanan dari Pelabuhan Marina Labuan Bajo menuju TNK. 

Kapal pinisi ini  mengangkut enam penumpang – 5 wisatawan asing asal Belanda dan satu pemandu wisata.

Meski sering terjadi, Stephanus Risdiyanto mengatakan sebenarnya rasio kecelakaan kapal di perairan Komodo menurun. 

Tahun 2021, kata dia, rasionya sebesar 0,048% dibandingkan jumlah kapal. Tahun 2022 rasio kecelakaan kapal turun menjadi 0,045% dan tahun 2023 menjadi 0,036%. 

Namun, ia tidak merinci jumlah setiap tahun pada 2021-2023.

Ia mengklaim kalau kecelakaan “dibilang sering ya tidak, karena jumlah kapal yang berlayar per hari memang banyak.”

Syahbandar, menurutnya, terus “melakukan pemantauan lapangan terhadap bangkai kapal, untuk memastikan tidak menghalangi atau tertabrak kapal lain.”

“Syahbandar sudah dan akan terus melakukan sosialisasi keselamatan pelayaran dan sertifikasi kelaiklautan kapal penumpang,” ujarnya.

Editor: Peter Dabu

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA