Floresa.co – Ratusan Orang Muda Katolik [OMK] di Maumere, Kabupaten Sikka berdiskusi soal upaya memerangi perdagangan manusia dan beraksi nyata merespons perubahan iklim, dua hal yang saat ini dianggap menjadi masalah serius di salah satu kabupaten bagian timur Flores tersebut.
Diskusi digelar di lima stasi yang tercakup dalam Paroki Boganatar, Desa Kringa, Kecamatan Talibura.
Acara dengan peserta sekitar 300 anggota itu merupakan bagian dari SVD Youth Day Distrik Maumere, rangkaian kegiatan anak muda Katolik pada 4-7 Juli yang diinisiasi kongregasi Serikat Sabda Allah atau Societas Verbi Divini [SVD] di Keuskupan Maumere.
Superior SVD Distrik Maumere, Pastor Goris Nule, SVD menjelaskan, kedua isu itu dipilih lantaran “orang muda adalah penentu gerakan iklim sekaligus calon tenaga kerja yang harus bebas dari tindak perdagangan orang.”
Keuskupan Maumere, kata dia, menaruh perhatian khusus terhadap isu perdagangan manusia “karena kasus yang terakhir melibatkan beberapa umat di keuskupan kami.”
Sebagaimana wilayah di Nusa Tenggara Timur lainnya, Sikka juga menjadi salah satu daerah sumber tenaga kerja yang merantau ke daerah lain, termasuk ke negara tetangga Malaysia.
Baru-baru ini, lebih dari 70 warga Sikka direkrut tanpa sesuai prosedur untuk bekerja di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur. Telantar dan kelaparan, satu orang di antaranya meninggal, sementara beberapa lain akhirnya dipulangkan ke Sikka oleh komunitas sukarelawan kemanusiaan.
Berkaca pada kasus demikian, perdagangan manusia di Sikka, kata Goris, “bukan lagi sesuatu yang hanya warga dengar atau baca dari media.”
Sebaliknya, “nyata terjadi depan kita, sehari-hari sudah makan korban.”
Pada saat yang sama, sejumlah anggota OMK sedang tekun mencari pekerjaan, sehingga tak menutup kemungkinan “lusa mereka diiming-imingi hal serba muluk oleh calo.”
Tak ingin itu terjadi pada OMK di Maumere, Goris berharap “setidaknya diskusi ini memberikan wawasan bagi OMK supaya tak mudah jatuh pada janji manis calo.”

Masalah Berantai Perdagangan Orang
Maria Rosa Mistika termasuk anggota OMK yang hadir dalam diskusi di Paroki Boganatar.
Ia tak menampik upaya pemerintah maupun Gereja Katolik guna memerangi sindikat perdagangan orang.
Namun, “mengapa kasus serupa terus berlanjut dan masih ada korban yang berjatuhan?,” katanya.
Kondisi tersebut “semestinya menjadi pemantik soal apa-apa yang perlu dibenahi.”
Pembenahan, kata dia, termasuk potensi keterlibatan golongan tertentu dalam memuluskan perekrutan.
“Bisa jadi bos-bos perekrut itu berlimpah uang, yang membuat mereka bisa melakukan berbagai cara demi menjerat korban,” katanya.
Ia juga menyoroti minimnya lapangan kerja dan gaji yang relatif rendah di Sikka.
“Kalau saja para pengusaha di Sikka ini bisa mempekerjakan warga setempat dengan upah yang lebih baik, barangkali mereka akan berpikir panjang sebelum menerima ajakan perekrut.”
Frater Marten Somi, SVD salah satu pemateri diskusi menjelaskan beberapa alasan yang mendorong warga Sikka menjadi buruh migran, seperti kemiskinan, minimnya lapangan kerja serta kebutuhan membiayai pendidikan anak.

Maria menilai pelbagai permasalahan ini menjadi salah satu pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah.
Pemerintah, “harus dapat mencegah berulangnya kasus perdagangan manusia.”
“Apalagi bila korbannya adalah orang kecil yang minim pengetahuan akan perdagangan orang,” katanya.
Sementara itu, Tommy Wilibordus, peserta lain berpandangan Gereja Katolik juga selayaknya bersinergi dengan pemerintah guna memerangi masalah ini.
Sikka adalah kabupaten dengan mayoritas penduduk memeluk keyakinan Katolik dan bergantung pada hasil alam sebagai sumber nafkah utama.
Negara, kata Tommy, “harus hadir mencukupi warga dengan sumber daya alam yang berkelanjutan, membuat mereka enggan merantau ke luar daerah.”
Merawat Mata Air
Selain berdiskusi soal perdagangan manusia, ratusan OMK juga diajak “belajar merawat alam dengan mengonservasi mata air,” kata Goris Nule kepada Floresa pada 7 Juli.
Ia mengingatkan manusia selalu bergantung pada air dan karena itu penting untuk memelihara sumber-sumber air.
Apalagi sekarang, “seiring cuaca yang tak menentu dan kemarau lebih panjang dari biasanya.”
Goris berkata, kegiatan merawat mata air sejalan dengan Laudato Si, ensiklik Paus Fransiskus pada 2015 yang mengingatkan bahwa bumi adalah rumah kita bersama yang perlu dijaga.

Wilibaldus Orlando, ketua panitia kegiatan merawat mata air berkata, kegiatan ini juga kontekstual karena dampak perubahan iklim mulai terasa di Boganatar, paroki yang wilayah pelayanannya merupakan daerah perbukitan.
“Selama 10 tahun terakhir warga kian kekurangan air,” katanya sebagai dampak musim kering yang sudah lebih lama dari biasanya, “sementara pohon-pohon terus ditebang.”
Ia berharap kegiatan kolektif di sekitar mata air dapat menjaga sumber-sumber air “tetap hidup.”
Editor: Anastasia Ika