Bupati Edistasius Endi dalam Pusaran Polemik Ganti Rugi Pembangunan Jalan Labuan Bajo-Golo Mori

Hingga kini warga terus berharap mendapat ganti rugi pembangunan jalan yang tahun lalu telah diresmikan Presiden Joko Widodo

Floresa.co – Nama Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi beberapa kali disebut dalam pusaran polemik ganti rugi penggusuran lahan dan rumah warga untuk pembangunan jalan Labuan Bajo-Golo Mori.

Menurut catatan Floresa, Edi antara lain dituding menilep dana itu, selain menghalang-halangi upaya warga menuntut tanggung jawab negara untuk mendapat ganti rugi.

Hingga kini, warga di beberapa kampung di sekitar jalan yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada Maret tahun lalu itu masih berjuang mendapat hak mereka, setelah berbagai upaya, termasuk dengan mendatangi pemerintah di Jakarta, masih gagal.

Baru-baru ini, Bonatua Silalahi, yang mengklaim diri sebagai ahli dalam pengadaan barang dan jasa menyebut dugaan uang ganti rugi itu itu mengalir ke Edi.

“Uang ganti rugi itu pastinya sudah diberikan oleh negara, tetapi biasanya tidak tepat sasaran,” katanya seperti dilansir Komodoindonesiapost.com. 

Ia juga mengklaim mengetahui kasus ganti rugi lahan untuk pembangunan jalan ke Kawasan Ekonomi Khusus [KEK] Golo Mori itu karena “saya sering jadi konsultan” di PT Wijaya Karya [WIKA], perusahaan konstruksi BUMN yang mengerjakan proyek itu.

Bonatua menduga “uang itu sudah diberikan kepada bupati, tetapi tidak diteruskan kepada warga.”

Floresa meminta tanggapan Edi soal tudingan Bonatua. Ia hanya mengatakan “silakan kontak Pak Setda [Sekretaris Daerah] karena sudah diklarifikasi.”

Sementara itu, Sekretaris Daerah Manggarai Barat, Fransiskus Sales Sodo berkata, tidak ada alokasi ganti rugi untuk proyek jalan itu.

Ia merujuk pada penjelasan Kepala Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah III NTT, Delvi Alcitra Candra,  bahwa “tidak ada alokasi anggaran ganti rugi lahan untuk pembangunan jalan ke Golo Mori yang bersumber dari APBN maupun APBD.” 

Sejak awal, kata dia, “perencanaan pembangunan sudah disosialisasikan secara luas dan transparan kepada masyarakat, bahkan melalui pendekatan budaya.”

Ia juga menyebut Gereja Katolik melalui Vikaris Episkopal Labuan Bajo, Romo Rikardus Mangu “ikut membantu sosialisasi dan pendekatan kepada masyarakat.”

“Masyarakat telah secara ikhlas memberikan sebagian lahan untuk pembangunan jalan,” katanya.

Fransiskus mengklaim “pemerintah daerah sudah bekerja keras membantu negara supaya pembangunan infrastruktur ke wilayah selatan [Labuan Bajo] terealisasi dengan baik.”

“Kami tulus bekerja agar daerah ini menjadi lebih baik dan maju.”

Ketika Floresa bertanya terkait alasan ada warga lain, seperti di Kampung Nanga Nae, Desa Macang Tanggar yang telah mendapat uang ganti rugi, Fransiskus berkata, “silakan hubungi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat [PUPR] karena yang saya tahu, tidak ada ganti rugi dari APBD.”

Dibangun dengan Dana Rp407,04 Miliar

Jalan sepanjang 25 kilometer dengan row 23 meter itu dikerjakan Kementerian PUPR melalui PT WIKA dengan anggaran Rp407,04 miliar dan diresmikan Presiden Joko Widodo pada 14 Maret 2023.

Jalan itu sekaligus bagian dari persiapan Konferensi Tingkat Tinggi ke-42 negara-negara se-Asia Tenggara [KTT ASEAN] atau ASEAN Summit pada Mei 2023, yang salah satu lokasi pertemuannya berada di Golo Mori.

Proses pembangunan jalan itu mulai diwacanakan sejak 2016, lalu intens disosialisasikan pada 2018.

Jalan itu melewati sejumlah kampung seperti Nanga Nae, Mberata, Cumbi, Nalis, yang menurut Kementerian PUPR, merupakan bentuk dukungan untuk memperlancar konektivitas Destinasi Pariwisata Super Prioritas Labuan Bajo.

Viktor Frumentius, warga Kampung Cumbi, Desa Warloka, salah satu yang terus berjuang mendapat ganti rugi berkata, saat sosialisasi pemerintah memang menjelaskan tidak ada ganti rugi untuk pembangunan jalan itu.

Jika warga meminta ganti rugi, katanya, jalan itu akan dibangun di luar kampung.

Sebelum jalan itu dibangun, Desa Golo Mori dan sekitarnya merupakan wilayah terisolasi, tanpa akses jalan raya dan listrik.  Ketika mau pergi ke Labuan Bajo, warga berjalan kaki sekitar tiga kilometer  ke dermaga terdekat di Warloka, lalu menggunakan perahu, satu-satunya sarana transportasi yang tersedia.

Karena rindu terhadap jalan yang membuka keterisolasian wilayah mereka, kata Viktor, warga menyepakati tidak ada ganti rugi, dengan menandatangani sebuah dokumen pada 2018.

Namun, katanya, warga kemudian menyesal setelah melihat dampak pengerjaan jalan itu, termasuk drainase jalan menggenangi sawah-sawah warga.

Apalagi setelah mereka mendapat kabar bahwa warga di kampung lain seperti di Nanga Nae mendapatkan ganti rugi, ujar Viktor.

Informasi yang disampaikan Viktor terkonfirmasi dari pengakuan Haji Mustofa Sulaiman, salah satu warga Nanga Nae yang mendapatkan ganti rugi Rp130 juta untuk rumah dan lahannya yang terdampak pembangunan jalan itu.

Dalam sebuah wawancara dengan Floresa, ia mengaku mendapatkan kompensasi itu setelah menemui langsung Bupati Edi dan ngotot memintanya.

“Saya usul Rp150 juta. Dia bilang terlalu banyak. Dia tawar Rp100 juta. Saya minta Rp130 juta. Begitu saya beritahu begitu, satu minggu setelah itu langsung PT WIKA datang bawa uang Rp130 juta,” katanya.

Sulaiman berkata penuntutan ganti rugi bukanlah tanpa alasan karena seingatnya dalam acara sosialisasi pembangunan jalan itu, di mana Bupati Endi hadir, mereka dijanjikan mendapatkan ganti rugi atas aset yang terdampak.

“Saya ganti, saya bayar kerugiannya, karena uang banyak. Uang untuk proyek jalan saja, jumlahnya Rp400-an miliar,” kata Sulaiman menirukan pernyataan Edi.

Saat sosialisasi itu, Bupati Edi bahkan menyebut negara menyiapkan anggaran Rp85 miliar untuk ganti rugi, kata Sulaiman.

Muhamad Saleh, warga Nanga Nae yang rumahnya digusur tiga meter juga mengaku telah menerima ganti rugi Rp69 juta. Ia menerimanya dari petugas yang mengaku dari Dinas Pekerjaan Umum.

Merujuk pada data Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation–Societas Verbi Divini (JPIC-SVD), lembaga advokasi Gereja Katolik yang selama ini ikut membantu warga terdampak proyek jalan itu, jumlah aset warga yang menjadi korban penggusuran dan tidak mendapat ganti rugi mencakup rumah dan lahan pertanian.

Rinciannya adalah dua rumah permanen dua lantai, lima rumah permanen, 16 rumah semi permanen, 14.050 meter persegi pekarangan, 1.790 meter persegi sawah, dan 1.080 meter persegi ladang. 

Aset tersebut adalah milik 51 keluarga yang mayoritas petani.

Viktor terpaksa tinggal di tenda selama berbulan-bulan setelah rumahnya digusur, hingga kemudian terpaksa membangun rumah di lahan seluas 8×15 meter yang tersisa dari penggusuran itu, merogoh koceknya sendiri lebih dari Rp30 juta.

Viktor mengaku dimanipulasi oleh pejabat yang sengaja menutupi informasi terkait hak mereka mendapat ganti rugi, sebagaimana dijamin oleh UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan PP No. 19 tahun 2021  tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Apa Kata Edi Sebelumnya?

Dalam wawancara dengan Floresa pada 21 April 2023, Edi berkata tetap berpegang pada dokumen tahun 2018 yang berisi pernyataan dukungan dari masyarakat tanpa ada ganti rugi untuk pembangunan jalan itu.

Ia menjelaskan proses pembangunan jalan itu sudah dimulai sejak 2016 sebelum ia menjadi bupati pada 2020.

“Saat kami menjabat, program ini sudah turun. Sebelum itu dikerjakan, proses sosialisasi berjalan,” katanya.

Endi berkata surat pernyataan tahun 2018 itu “bagian dari partisipasi masyarakat untuk menjemput pembangunan.”

“Saya pastikan bahwa pemerintah tidak menyiapkan ganti rugi atau ganti untung sehubungan dengan pembangunan jalan itu,” katanya.

“Jangan lupa prosesnya dari 2016, ditindaklanjuti tahun 2018. Apakah ada dokumen? Ada. Saya membaca dokumen lama. Yang dilakukan di tahun 2021 itu kelanjutan dari 2016, 2018, dan 2020. Tahun 2021 adalah eksekusinya,” katanya.

Endi berkata tidak hanya warga yang menandatangani pernyataan itu, tetapi juga berjenjang dari kepala desa hingga camat termasuk dirinya.

“Ini lanjutan dari proses awal, di mana masyarakat tidak menuntut yang namanya ganti rugi atau ganti untung,” katanya.

Endi menambahkan hasil koordinasi dengan pemerintah pusat bahwa “tidak ada kode rekening sehubungan dengan ganti rugi atau ganti untung” proyek jalan itu.

Namun, ia tidak merespons saat ditanyai perihal sebagian warga yang mendapatkan ganti rugi, seperti di Nanga Nae, setelah warga mengaku bertemu dengannya.

Ia cuma berkata, “pemerintah bertanggung jawab dengan rumah yang terdampak dari pelebaran jalan itu.”

Tagih Sampai ke Jakarta

Hingga saat ini, Viktor dan warga lainnya masih menunggu ganti rugi itu.

Ia dan warga lainnya telah menemui Komisi Hukum dan HAM DPR RI pada 10 Mei 2022, juga mengirim surat ke Presiden Joko Widodo dan instansi terkait pada 21 Juni 2022.

Saat Presiden Jokowi ke Labuan Bajo pada 21 Juli 2022, warga berusaha menyampaikan langsung aspirasi, meski kemudian diadang aparat kepolisian. Spanduk-spanduk protes yang mereka siapkan pun direbut.

Pada 5 Oktober 2022, warga Kampung Cumbi, Nalis, dan Kenari menemui Kepala Bagian Tata Pemerintahan dan DPRD Manggarai Barat; dan pada 24 Oktober 2022 menemui sejumlah pejabat di kabupaten, termasuk Asisten I Dinas Perhubungan, Hilarius Madin. Namun, usaha warga tidak membuahkan hasil.

Saat penyelenggaraan ASEAN Summit di Labuan Bajo, mereka hendak berunjuk rasa, namun batal karena mendapat intimidasi bertubi-tubi, termasuk surat panggilan dari polisi.

Beberapa hari setelah ASEAN Summit, warga sempat mengikuti pertemuan virtual via Zoom dengan Kantor Staf Presiden [KSP] yang diminta menangani masalah itu.

Abetnego Panca Putra Tarigan, Deputi II KSP dan Sahat Lumbanraja, Tenaga Ahli Deputi II KSP menyatakan akan “menangani langsung” masalah warga.

Usai pertemuan virtual itu, pada 17 Juli 2023, Lembaga Bantuan Hukum Labuan Bajo yang ditunjuk sebagai kuasa hukum warga Kampung Cumbi dan Kampung Nalis mengirimkan surat nomor 07/LBH/VII/2023 kepada Kepala Kantor Staf Kepresidenan berisi “permohonan penyelesaian ganti rugi lahan masyarakat.” 

Merespons surat itu, pada 8 Agustus 2023, Abetnego Tarigan mengirimkan surat nomor B-140/KSP/D.2/08/2023 kepada Bupati Manggarai Barat, Direktur Bina Marga, Kementerian PUPR, dan Kepala ATR/BPN Manggarai Barat berisi “permohonan penyelesaian ganti rugi lahan pembangunan jalan di Labuan Bajo.”    

Lantaran permohonan itu tak kunjung ditindaklanjuti, maka pada September 2023, Viktor bersama dua warga lainnya, Dominikus Safio Bion dan Primus Padua serta Doni Parera, seorang pegiat sosial, berkunjung ke KSP di Jakarta. 

Dalam kunjungan itu, mereka berjumpa dengan Sahat Lumbanraja.

“Waktu itu respon Pak Sahat cukup bagus, dia bilang senang ketika melihat masyarakat sendiri mendatangi mereka di Jakarta,” kata Viktor. 

Sahat, kata Viktor, memberi tahu mereka bahwa Bupati Edi sempat menelepon dia sebelum warga tiba di Jakarta.

Edi, katanya, meminta KSP “tidak menerima dan tidak mendengar suara warga karena mereka telah berjanji tidak menuntut ganti rugi.”

Kepada Sahat, Viktor berkata benar bahwa warga pernah menandatangani perjanjian untuk tidak menuntut ganti rugi sebelum pembangunan jalan itu, sebagaimana disampaikan Endi.

“Namun, perjanjian itu dilakukan di bawah tekanan dan intimidasi aparat kepolisian,” katanya.

“Pak Sahat bilang, ia tidak mau dengar kata-kata Edi Endi, dan dia lebih percaya dan paham dengan kondisi yang kami sampaikan,” lanjut Viktor.

Ia juga berkata, Sahat memberi janji “segera memproses tuntutan warga.”

“Tetapi sampai hari ini belum ada kabar sama sekali,” katanya.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA