Floresa.co – Sementara Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo bersama para menteri dan pejabat lainnya merayakan HUT ke-79 RI dengan meriah dan menghabiskan anggaran negara puluhan miliar, warga di pelosok Flores yang bertahun-tahun berjuang demi mendapat hak mereka terus dilanda keresahan tentang masa depan.
Kami dijajah adalah ungkapan dominan mereka saat diwawancarai Floresa soal perasaaan saat hari ini 17 Agustus menyambut HUT Kemerdekaan dan mendengar kabar soal keriuhan perayaaan di Ibu Kota Nusantara, Provinsi Kalimantan Timur.
Dalam perayaan itu pemerintah menghabiskan dana Rp87 miliar untuk memfasilitasi para pejabat dan undangan lainnya, termasuk mendatangkan mobil-mobil mewah dengan bayaran hingga puluhan juta sehari. Di sisi lain, sejumlah warga Flores sedang bertanya-tanya seperti apa hidup mereka hari esok, dampak sejumlah kebijakan dan langkah kontroversial pemerintah.
Mengapa Pemerintah Abaikan Warga yang Ditindas?
Di Kabupaten Manggarai Barat, Viktor Frumentius berkata, merdeka jauh dari realitasnya karena hak untuk mendapat ganti rugi lahan yang digusur untuk proyek jalan tidak kunjung ada titik terang.
“Kalau memang Indonesia sudah merdeka, mengapa pemerintah tidak memperhatikan warga yang tertindas?” katanya.
Viktor yang tinggal di Kampung Cumbi, Desa Warloka, Kecamatan Komodo merupakan salah satu warga yang hingga saat ini masih menunggu ganti rugi atas rumah dan lahannya yang digusur untuk pembangunan jalan menuju Kawasan Ekonomi Khusus Golo Mori, sekitar 10 kilometer sebelah selatan kampungnya.
Sebelumnya, kawasan itu hanya bisa diakses dengan jalan tanah. Di tengah perkembangan pesat industri pariwisata Labuan Bajo, jalan raya sepanjang 25 meter dengan lebar 23 meter itu dibangun dan diresmikan Presiden Jokowi pada 14 Maret 2023.
Jalan itu sekaligus bagian dari persiapan Konferensi Tingkat Tinggi ke-42 negara-negara se-Asia Tenggara atau ASEAN Summit pada Mei 2023. Salah satu lokasi pertemuannya berada di gedung di Golo Mori.
Viktor bersama warga lain telah melakukan berbagai upaya untuk menuntut ganti rugi itu.
Saat penyelenggaraan ASEAN Summit di Labuan Bajo, mereka hendak berunjuk rasa, namun batal karena mendapat intimidasi bertubi-tubi, termasuk surat panggilan dari polisi.
Ia dan warga lainnya juga sudah berkunjung ke Kantor Staf Presiden [KSP] di Jakarta pada September tahun lalu, bersamaan dengan ASEAN Summit di ibu kota.
Kala itu, Sahat Lumbanraja, Tenaga Ahli Deputi II KSP memberi janji “segera memproses tuntutan warga.” Namun, kata Viktor, “sampai hari ini belum ada kabar sama sekali.”
Karena itu, menurutnya, perayaan kemerdekaan Indonesia hari ini jadi hambar.
Kemerdekaan seharusnya bukan hanya menyangkut “bebas dari penjajahan bangsa asing, tetapi juga ketika pemerintah membebaskan warganya dari segala bentuk penindasan.”
“Kami belum merdeka. Kami justru dijajah oleh negeri sendiri.”
Ia berkata, dengan pengabaian ini, pemerintah membuat “orang yang miskin tetap miskin dan yang kaya semakin kaya.”
Viktor juga menyoroti soal diskriminasi, di mana di tempat lain tanah warga yang dipakai pemerintah untuk pembangunan diberikan ganti rugi, sementara “kami tidak mendapat hak yang sama.”
“Pemerintah tidak memiliki rasa iba terhadap warga yang mereka tindas,” katanya.
‘Penjajah Itu Pemerintah Sendiri’
Di pinggiran kota pariwisata super premium Labuan Bajo, Heri Jem, warga lainnya justru kesal mendengar kata merdeka, yang juga kontras dengan pengalamannya bersama warga lain karena lahan yang diambil alih oleh Pemerintahan Jokowi.
“Kemerdekaan yang sesungguhnya merupakan situasi di mana tidak ada lagi penindasan kepada warga,” katanya kepada Floresa.
Ia berkata, inti dari kemerdekaan adalah pemerintah mengakui apa yang menjadi hak warga.
Yang terjadi saat ini, katanya, pemerintah justru menjajah warganya sendiri.
Heri merupakan bagian dari warga Komunitas Racang Buka yang bertahun-tahun tinggal dan bertani di lahan pinggiran Hutan Bowosie. Hutan itu mengitari Labuan Bajo di sisi timur.
Bencana untuk mereka muncul ketika Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2018 dan menyerahkan kawasan seluas 400 hektare di Hutan Bowosie kepada Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores [BPO-LBF] untuk pembangunan kawasan bisnis pariwisata.
Kawasan 400 hektar itu mencakup lahan yang sudah ditempati dan dikelola Heri dan warga lainnya.
Mereka telah berjuang bertahun-tahun agar mendapat status legal atas lahan-lahan itu. Sementara upaya mereka gagal, Jokowi memberi karpet merah kepada BPO-LBF yang kemudian menjajakan kawasan itu kepada investor untuk proyek yang kini disebut Parapuar.
Tahun lalu, BPO-LBF sudah mengantongi Sertifikat Hak Pakai Lahan dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang melalui SK MenATR/BPN Nomor 110 untuk wilayah seluas 129,608 hektare.
Kendati kini masih menempati lahan itu, Heri dan warga lainnya merasa “dihantui BPO-LBF karena sewaktu-waktu mereka mengambil lahan yang telah kami kuasai selama bertahun-tahun.”
Karena itu, bagi Heri, alih-alih bersukacita di tengah keriuhan perayaan HUT RI, ia justru dilanda kegelisahan.
“Kami merasa masih dijajah karena tidak ada penyelesaian konkret terhadap persoalan yang kami hadapi,” katanya.
‘Dijajah Proyek Geotermal’
Kegelisahan serupa juga dirasakan Elisabet Nahus, seorang ibu di Poco Leok, Kabupaten Manggarai yang dalam beberapa tahun terakhir saban hari harus berjuang melawan proyek geotermal.
“Kemerdekaan adalah bebas menentukan nasib sendiri, termasuk menyatakan penolakan terhadap proyek pengembangan Pembangkit Listik Tenaga Panas Bumi atau geotermal di atas tanah ulayat kami,” katanya.
Perayaan HUT RI tahun ini hanya berlangsung berselang dua hari pasca warga Poco Leok kembali meninggalkan pekerjaan mereka untuk mencegat pejabat dari Pemerintah Kabupaten Manggarai dan PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN] yang hendak mendatangi salah satu lahan ulayat atau lingko mereka.
Dalam aksi pada 15 Agustus itu, ratusan warga dari 10 kampung adat Poco Leok menghadang kendaraan pemerintah dan perusahaan yang dikawal aparat keamanan.
“Kami menolak kehadiran pemerintah dan PT PLN. Kami tidak mau tanah kami dijadikan lokasi pengeboran panas bumi,” katanya.
Dengan situasi hidup yang terus terganggu karena kehadiran proyek ini, Elisabet berkata, “kami sedang dijajah oleh pemerintah dan PT PLN karena mereka terus memaksakan pengembangan geotermal.”
Proyek geotermal Poco Leok adalah bagian dari Proyek Strategis Nasional di Flores, perluasan PLTP Ulumbu yang sebelumnya telah beroperasi sejak 2011.
Proyek PLTP Ulumbu Unit 5-6 tersebut, yang masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030, menargetkan energi listrik 2×20 Megawatt, meningkat dari 10 Megawatt yang dihasilkan saat ini.
Warga telah berkali-kali menyatakan sikap penolakan dengan beragam cara, mulai dari pengadangan di lapangan, demonstrasi hingga audiensi dan bersurat kepada sejumlah lembaga, seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Selain itu, warga juga telah menyurati Bank Kreditanstalt für Wiederaufbau asal Jerman yang menjadi pendana proyek.
Saat ini, mereka juga memasang spanduk-spanduk dari karung bekas di pinggir jalan menuju kampung mereka, berisi pernyataan sikap penolakan proyek.
Ketimpangan Infrastruktur
Muhammad Yakub, warga Desa Golo Manting, Kecamatan Sano Nggoang di Kabupaten Manggarai Barat mengaitkan kemerdekaan dengan “pemerataan pembangunan,” di mana hak warga di pedalaman untuk mengakses infrastruktur dasar dipenuhi, sebagaimana “orang-orang di kota.”
Namun, melihat kondisi desanya, kata dia, hal itu masih jadi utopi.
Ia menyoroti ketimpangan pembangunan di kabupatennya, di mana wilayah-wilayah pedalaman masih terisolir, kontras dengan ibu kota Labuan Bajo yang mendapat gelontoran dana trilunan untuk infrastruktur dan berulang kali dikunjungi Jokowi.
“Kami masih terisolir dari segala bentuk kebijakan pemerintah,” katanya.
Muhammad menyebut beberapa persoalan infrastruktur yang semestinya menjadi prioritas di desanya, seperti lanjutan pembangunan jalan dari Werang, ibu kota kecamatan menuju Kampung Paku, Desa Golo Manting.
Selain itu adalah jembatan di Kali Wae Ose yang menghubungkan Golo Manting dan Golo Sengang karena “kali itu sering meluap saat musim hujan.”
Pemerintah, katanya, juga mesti segera membangun jalan dan menyediakan air minum bersih di SMP Negeri 1 Sano Nggoang dan Kampung Cowang Anak, Desa Sano Nggoang.
“Selama ini, pemerintah hanya mengumbar janji-janji manis, namun realisasinya tidak ada. DPRD sebagai representasi masyarakat pun seolah-olah tutup mata dan tutup telinga. Janji-janji manis waktu kampanye hilang entah ke mana,” katanya.
Ia menambahkan, “kami hanya pasrah pada sebuah keajaiban yang mungkin suatu waktu akan tiba untuk melihat penderitaan kami warga pelosok negeri ini.”
Korban TPPO Belum Merdeka
Sementara di Kabupaten Sikka, seorang warga korban Tindak pidana Perdagangan Orang [TPPO] berkata, ia belum merasakan merdeka seutuhnya karena proses penegakan hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Petrus Arifin, merupakan korban TPPO yang direkrut dan ditelantarkan pada awal Maret 2024 oleh Yuvinus Solo atau Joker, seorang politisi Partai Demokrat. Salah satu korban kemudian meninggal di lokasi kerja di Kalimantan karena kelaparan.
Hingga kini, Yuvinus yang sejak Mei jadi tersangka tidak kunjung ditahan polisi.
Petrus mempertanyakan komitmen aparat di bawah era Jokowi untuk penanganan kasus TPPO.
Proses hukum yang tidak tuntas, kata Arifin, menunjukan ketidakberpihakan pemerintah dan aparat penegak hukum terhadap orang kecil.
“Merdeka bagaimana? Kami dikekang dengan proses hukum yang tidak tahu sampai kapan,” katanya kepada Floresa.
“Tersangka yang belum ditahan membuat kami bingung, apakah kami yang salah karena tidak melalui prosedur ataukah dia yang merekrut kami secara ilegal?” tambahnya.
Ia menambahkan, “atau apa karena dia memiliki uang sehingga belum ditahan? Ini fakta yang terjadi di Kabupaten Sikka.”
“Apalagi korbannya adalah orang kecil yang tidak punya banyak pengetahuan seperti kami ini,” katanya.
“Sampai kapan kami harus menantikan keadilan itu nyata?”
Korban Kekerasan: Keadilan Milik Siapa? “
Sementara itu, seorang perempuan asal Kabupaten Ende yang bekerja di Labuan Bajo berkata, “merdeka tidak bermakna bagi setiap korban yang tidak mendapat keadilan.”
Perempuan itu merupakan korban dugaan penganiayaan oleh orang dekat. Ia sudah melaporkan kasus ini di Polres Manggarai Barat pada 18 Juni 2024.
“Pada saat melapor, polisi tahu keadaan saya yang dianiaya sangat parah. Tapi, kok lama sekali mereka proses kasus itu,” katanya.
Hingga kini ia belum mengetahui perkembangannya, kendati beberapa kali berupaya menghubungi pihak kepolisian.
“Saya harus mengemis kesana kemari untuk mendapatkan informasi terkait perkembangan kasus yang saya laporkan, sementara pelaku berkeliaran dan terus mengancam saya,” katanya.
Di sisi lain ia juga mengaku dimintai oleh oknum polisi untuk mencabut laporan, beralasan pelaku dekat dengan salah satu petinggi di Polres Manggarai Barat.
Dengan pengalaman ini, ia merasakan sendiri sulitnya mencari keadilan, hal yang dulu ia hanya dengar dari cerita orang-orang.
“Keadilan hanya bisa didapatkan oleh orang yang memiliki kekuasaan dan uang.”
Karena itu, soal kemerdekaan hari ini, katanya, “itu hanya milik orang yang memiliki kekuasaan seperti polisi dan pelaku yang mereka lindungi.”
Ia pun hanya berharap polisi “adil dalam menyelesaikan kasus yang sudah dilaporkan pada mereka,” sehingga korban kemudian bisa merasakan betul substansi dari kemerdekaan.
Laporan dikerjakan oleh Herry Kabut, Mikael Jonaldi, Anjany Podangsa dan Maria Margaretha Holo
Editor: Ryan Dagur