Kantor Redaksi Jubi di Papua Dilempari Bom Molotov, Ancaman Serius Bagi Kebebasan Pers

Jubi dikenal konsisten melaporkan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua di tengah pembatasan akses bagi para jurnalis, terutama jurnalis asing

Floresa.co –  Kantor redaksi media Jubi di Papua mendapat serangan bom molotov pada 16 Oktober dini hari, kasus yang dianggap sebagai ancaman serius bagi kebebasan pers.

Dalam sebuah pernyataan, Jean Bisay, Pemimpin Redaksi Jubi berkata, insiden itu terjadi pada pukul 03.15 dini hari.

Serangan itu membuat dua mobil operasional Jubi yang diparkir di halaman kantor terbakar dan rusak.

Pelemparan bom molotov itu diduga dilakukan oleh dua orang yang berboncengan menggunakan sepeda motor, menurut Bisay.

Bom, katanya, dilempar dari pinggir jalan di depan kantor itu, membuat api berkobar di antara dua mobil operasional, sebelum kemudian dipadamkan dua karyawan Jubi dan sejumlah saksi mata.

“Beruntung ada dua staf Jubi dan warga sekitar sehingga api [yang membakar] kedua mobil itu dapat dipadamkan dengan segera,” kata Bisay.

Sejumlah polisi dari Polsek Kota Heram lalu datang dan mengamankan kantor itu.

Mereka memeriksa dan mendokumentasikan serpihan pecahan botol kaca, bekas keset kain yang diduga dijadikan sumbu bom molotov serta kedua mobil yang terbakar.

Kapolsek Kota Heram, Iptu Bernadus Ick mengonfirmasi bahwa serangan itu memang menggunakan bom molotov.

Sejumlah saksi mata di sekitar kantor Jubi mengatakan, sebelum pelemparan bom molotov terjadi, kedua pelaku beberapa kali melintas di depan kantor redaksi sejak 15 Oktober sekitar pukul 23.00 untuk mengamati lokasi.

Sekitar pukul 03.15, kedua pelaku datang lagi, berhenti di depan pagar dan melemparkan dua benda. Benda pertama meledak dan menimbulkan kobaran api. Api makin membesar saat pelemparan benda kedua.

“Kedua [pelaku] sempat panik dan kesulitan menyalakan sepeda motor. Tapi kami juga takut, jadi kami tidak mendekat. Kami lalu pukul tiang listrik [dan] pagar untuk membangunkan warga,” kata seorang saksi mata, seperti dilansir dari pernyataan pers Jubi.

Jubi, akronim dari jujur bicara, dikenal sebagai media yang konsisten melaporkan berita-berita terkait situasi di Papua, termasuk pelanggaran HAM yang seringkali berseberangan dengan klaim pemerintah.

Pastor Bernard Baru, OSA, seorang aktivis Gereja Katolik menyebut kasus ini menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers.

“Di sisi lain, ini adalah upaya untuk menekan media yang selama ini konsisten meliput masalah-masalah di Papua,” katanya.

Ia menjelaskan, Jubi adalah salah satu dari sedikit media yang selalu berupaya merekam realitas di Papua, di tengah pembatasan akses bagi jurnalis, terutama jurnalis dari media asing.

“Warga Papua mengandalkan media semacam ini untuk menyampaikan suara mereka kepada pihak luar,” katanya kepada Floresa.

“Pihak tertentu pasti terganggu dengan keberadaan media seperti ini. Ini adalah upaya menakut-nakuti media dan jurnalis,” katanya.

Ia menyatakan, peristiwa ini yang terjadi jelang pelantikan Prabowo Subianto pada 20 Oktober menjadi alarm bagi Papua bahwa ke depan situasi bisa jadi makin memburuk, “mengingat rekam jejak kelabunya dalam isu kebebasan sipil.”

Sekretaris Asosiasi Media Siber Indonesia [AMSI] wilayah Papua, Irsul Panca Aditra berharap, alih-alih melakukan kekerasan, pihak-pihak yang merasa dirugikan dalam pemberitaan dapat menggunakan hak jawab atau klarifikasi yang sudah diatur dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.

Sementara itu, Chanry Supripatty, Koordinator Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Papua-Maluku menyebut serangan ini “tidak bisa dipandang remeh.”

“Ini bukan hanya ancaman fisik, tetapi juga serangan langsung terhadap kebebasan pers dan demokrasi di Papua,” katanya.

“Kami menuntut aparat bertindak cepat dan tegas. Pelaku harus segera ditangkap dan motifnya diungkap secara transparan kepada publik,” tambah Suripatty.

Ini bukan serangan pertama terhadap Jubi.

Pada 23 Januari tahun lalu, Victor Mambor, salah satu pendiri media itu mendapat serangan. Rumahnya dilempari bom molotov. Hingga kini polisi belum mengungkap pelakunya.

Data dari Aliansi Jurnalis Independen [AJI] menunjukkan telah terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia selama beberapa tahun terakhir.

Tercatat 41 kasus pada tahun 2021, 61 kasus pada tahun 2022, dan 87 kasus tahun lalu. Tahun ini aliansi tersebut telah mencatat 29 kasus sejauh ini.

Posisi Indonesia dalam indeks kebebasan pers global turun tiga peringkat, dari peringkat 108 pada tahun 2023 menjadi peringkat 111 pada tahun 2024, menurut data dari Reporters Without Borders.

Provinsi Papua memiliki peringkat terendah pada indeks kebebasan pers di Indonesia, yaitu 64.01 pada 2023, turun tajam dari 75,57 persen pada tahun sebelumnya, menurut Dewan Pers. Provinsi tetangga Papua Barat turun dari 69,23 persen menjadi 68,22.

Papua terus menjadi daerah konflik. 

Indonesia melancarkan kampanye bersenjata pada tahun 1961 dan, dengan dukungan Amerika Serikat, mengambil alih kendali atas Papua dua tahun kemudian.

Pada tahun 1969, pemungutan suara yang diamanatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa diadakan dan menuai banyak kritik karena hanya 1.022 pemimpin Papua, yang diawasi oleh Indonesia, diizinkan untuk memberikan suara.

Sejak itu, gerakan pro-kemerdekaan terus hidup, termasuk dengan perlawanan bersenjata.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA