Floresa.co – Aktivis dan mahasiswa di Kupang menggelar unjuk rasa pada 11 Oktober, mengecam aksi represif aparat keamanan terhadap warga dan jurnalis dalam polemik geotermal di Poco Leok, Kabupaten Manggarai.
Dalam aksi yang dimulai sejak pagi itu, Aliansi Penolakan Geotermal Poco Leok – yang mencakup 16 elemen gerakan – mendatangi DPRD NTT dan selanjutnya ke Polda NTT.
Febri Bintara, koordinator umum aliansi berkata, aksi ini merupakan tindak lanjut dari aksi pada 3 Oktober, sehari setelah aparat melakukan kekerasan terhadap warga Poco Leok dan Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut.
Target aksi di depan DPR, katanya, adalah “meminta pernyataan sikap mereka terhadap situasi yang terjadi di Poco Leok saat ini.”
Aksi, jelasnya, dilanjutkan ke Polda NTT bersamaan dengan langkah melaporkan secara resmi kekerasan terhadap Herry dan warga Poco Leok.
Herry bersama warga Poco Leok datang dari Ruteng ke Kupang pada 11 Oktober pagi. Mereka didampingi kuasa hukum untuk melapor kasus ini ke Polda NTT.
Dalam orasi di depan kantor DPRD, salah satu orator mengingatkan bahwa “akhir-akhir ini kita menyaksikan bagaimana negara melalui PT PLN, pemerintah dan aparat hadir di Poco Leok dan terus memaksakan kehendak saat masyarakat adat terus mempertahankan tanah.”
Ia menjelaskan, negara secara terang-terangan menindas rakyat, termasuk dengan menghadirkan aparat yang melakukan kekerasan terhadap warga dan jurnalis.
Massa aksi juga menyoroti kehadiran Presiden Joko Widodo ke NTT pada 2 Oktober, saat kekerasan terjadi.
“Saat masyarakat adat Poco Leok ditindas, diintimidasi, dikriminalisasi oleh aparat kepolisian, di saat yang sama Presiden Jokowi datang ke NTT dan menikmati Mie Gacoan di Kupang,” kata orator lainnya.
“Ini menegaskan bahwa Jokowi pun tidak peduli dengan kondisi memprihatinkan yang dialami masyarakat adat di Poco Leok.”
Aliansi pun meminta DPRD NTT membuka mata dan telinga tentang apa yang sedang dialami oleh masyarakat adat di Poco Leok saat ini.
“DPRD buka mata dan telinga kalian! Ada warga dan wartawan yang saat ini sedang mendapatkan penindasan, diintimidasi dan jadi korban kekerasan dari aparat, di mana kalian. Kalian jangan diam. Rakyat sedang membutuhkan kalian,” kata salah satu orator.
Seorang orator perempuan menyebut DPRD gagal menjalankan fungsinya sebagai perwakilan rakyat, sehingga memplesetkannya sebagai Dewan Pengkhianat Rakyat Daerah.
“Mereka bukan lagi sebagai Dewan Perwakilan Rakyat tetapi sudah berubah menjadi Dewan Pengkhianat rakyat karena mereka tidak bisa mewakili aspirasi masyarakat. Mereka hadir di tengah masyarakat hanya saat membutuhkan suara dari masyarakat,” ujarnya.
Dia menegaskan dari dulu hingga sekarang, perilaku DPRD tidak pernah berubah. Hanya untuk rakyat bertemu saja, katanya, butuh persyaratan administrasi yang rumit.
Aksi di depan DPRD hampir ricuh karena massa aksi tidak diperkenankan untuk bertemu anggota dewan yang sedang menjalani sidang paripurna.
Di pintu masuk, massa dihadang aparat gabungan Pol PP dan Polri.
Setelah terlibat perdebatan, massa aksi langsung meninggalkan DPRD dan melanjutkan aksi ke Polda NTT.
Febri Bintara menyatakan, mereka mendukung langkah Floresa dan warga yang melapor kasus kekerasan aparat dan seorang jurnalis ke Polda NTT. Jurnali berinisial TJ itu terlibat dalam aksi penganiayaan terhadap Herry.
“Sebagai jurnalis, yang bersangkutan mestinya harus saling melindungi dan tidak mudah diadu domba, menyerang sesama jurnalis secara fisik,” kata Febri,
“Itu tindakan yang sangat tidak terpuji dan sebaliknya yang bersangkutan stop menjadi jurnalis. Pelaku kekerasan tidak layak berada di dunia pers,” tambahnya.
Saat laporan ini dipublikasi, massa sedang berorasi di luar Polda NTT, sementara Herry bersama warga sedang menyampaikan laporan.
Laporan oleh kontributor Boni Jehadin