Dalam setiap pemilihan umum atau pemilu, menebar janji adalah sebuah keniscayaan.
Para calon pemimpin, baik eksekutif maupun legislatif selalu menawarkan janji-janji politik demi menarik simpati pemilih.
Salah satu target setiap janji tersebut adalah guru.
Sepengamatan saya, tak satu pun calon pemimpin yang tidak membahas nasib guru dalam setiap kampanye. Mereka memposisikan diri sebagai orang yang sangat peduli terhadap nasib guru, lalu mengklaim sebagai pembawa solusi.
Ada guru yang secara personal dijanjikan jabatan bila mampu mengantar calon pemimpin meraih kekuasaan.
Misalnya, dijanjikan akan diberi jabatan struktural, seperti menjadi kepala bagian, kepala seksi, hingga kepala dinas. Atau, jabatan fungsional seperti dipromosikan menjadi kepala sekolah dan pengawas sekolah.
Sementara untuk profesi, ada beragam janji, seperti memberi kepastian jenjang dan jalur pengembangan karir, peningkatan kualitas dan kesejahteraan dan menaikkan gaji.
Mengapa Guru Jadi Sasaran?
Tebaran janji untuk guru tentu tidak kebetulan.
Dalam politik elektoral yang mensyaratkan dukungan suara terbanyak,ada dua alasan mengapa guru selalu dijadikan alat politik.
Pertama, dari sisi kuantitas, guru merupakan kelompok pemilih yang banyak dan persebarannya merata di seluruh daerah, baik di kota maupun di desa.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, total guru di Indonesia adalah 3.433.123 orang.
Bila ditambah dengan keluarga guru, maka jumlah ini akan bisa dua sampai tiga kali lipat.
Jumlah yang besar ini membuat guru dianggap sebagai salah satu lumbung suara bagi calon pemimpin.
Kedua, dalam kehidupan sosial, guru dianggap sebagai kelompok terpandang.
Suara guru selalu didengar oleh masyarakat umum. Guru memiliki modal sosial berupa kepercayaan [trust], yang kemudian menjadi kekuatan untuk mempengaruhi masyarakat.
Tekanan Ekonomi Guru; Terjerat Pinjol Hingga Stres
Kendati merupakan salah satu profesi yang vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, guru masih terus dilanda beragam masalah pelik.
Salah satunya adalah soal kesejahteraan yang menjadi problem klasik kendati rezim pemerintah terus berganti.
Selain ASN, guru di tanah air banyak yang tidak mendapat upah layak – sering kali di bawah UMR -, di samping masalah lain seperti status kerja yang tidak pasti, minimnya fasilitas kerja, ketiadaan tunjangan kesehatan atau pensiun.
Tekanan ekonomi yang tinggi, seperti untuk membiayai pendidikan anak, kebutuhan komunikasi, kesehatan, dan bahan-bahan pokok memaksa banyak guru mencari pekerjaan sampingan. Apa saja akan dilakoni, demi menyambung hidup.
Rekan kerja saya, seorang guru honorer, memanfaatkan waktu luang dengan menjual rumput laut.
Kondisi kesejahteraan yang buruk ini terkonfirmasi dari Survei Kesejahteraan Guru oleh Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies [Ideas] dan GREAT Edunesia Dompet Dhuafa pada pekan pertama Mei 2024.
Survei itu menunjukkan 42 persen guru berpenghasilan di bawah dua juta per bulan dan 13 persen di antaranya berpenghasilan di bawah lima ratus ribu per bulan. [Kompas.id, 29 November 2024).
Yang lebih disayangkan lagi, kondisi ini membuat guru menjadi profesi yang paling banyak terjerat dan menjadi korban pinjaman online atau pinjol.
Guru yang terjerat pinjol ilegal sebanyak 42 persen, menurut riset lembaga No Limit Indonesia, seperti dikutip Otoritas Jasa Keuangan [OJK] pada 2021.
Angka ini jauh di atas korban pemutusan hubungan kerja yang menempati urutan kedua dengan persentase 21 persen. [Kompas.id, 07 Oktober 2022]
Kesejahteraan yang memprihatinkan juga membuat guru memiliki tingkat stres lebih tinggi dari profesi lain, sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada perayaan Hari Guru Nasional 2023.
Berita pilu satu keluarga guru di Malang yang memilih bunuh diri karena terjerat utang membuat kita tertegun bahwa tekanan ekonomi guru membawa dampak yang sangat serius. [Kompas.id, 12 Desember 2023].
Janji Manis Prabowo-Gibran
Pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang kini menjadi presiden dan wakil presiden juga tak lepas dari janji politik peningkatkan kesejahteraan guru.
Dalam berbagai kesempatan kampanye, tim sukses pasangan ini melontarkan janji untuk memberi tambahan gaji dua juta rupiah bagi guru.
Di tengah kesulitan ekonomi yang dihadapi guru, janji itu amat manis.
Prabowo-Gibran tampaknya tahu, sebagaimana menurut psikolog Abraham Maslow, bahwa secara hirarkis, kebutuhan manusia yang paling dasar adalah fisiologis, yaitu pemenuhan kebutuhan fisik – sandang, pangan dan papan.
Terpenuhinya kebutuhan dasar adalah prasyarat pemenuhan kebutuhan lain, seperti aktualisasi atau pengembangan diri.
Merujuk pada pendapat Maslow, guru akan fokus mengembangkan diri dan menjalankan profesi apabila kebutuhan dasar yang berkaitan dengan kesejahteraan hidupnya terpenuhi.
Janji itu seakan jadi nyata ketika dalam pidato pada Hari Guru Nasional 2024, dengan linangan air mata, Prabowo menyampaikan bahwa pemerintah akan memberikan tunjangan bagi guru ASN satu kali gaji pokok; sementara guru honorer sebesar dua juta rupiah.
Para guru, terutama yang hadir dalam acara tersebut, bertepuk tangan meriah.
Sayangnya, tak butuh waktu lama harapan itu sirna.
Dalam pernyataan pers usai upacara peringatan Hari Guru Nasional 2024 di Kantor Kemendikdasmen, Jakarta Pusat pada hari yang sama, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menyatakan, pemberian tunjangan kesejahteraan guru menggunakan skema sertifikasi.
Artinya, tunjangan kesejahteraan hanya dinikmati oleh guru yang telah bersertifikasi. Pernyataan menteri itu membuat janji kampanye Prabowo Gibran untuk mensejahterakan guru hanya buaian semata.
Lagi-lagi, guru harus gigit jari.
Problem Sertifikasi Guru
Penting dicatat bahwa program sertifikasi guru bukan hal baru.
Manfaat dari program itu, berupa tunjangan, sudah dinikmati guru yang bersertifikasi sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Besarannya adalah satu kali gaji pokok bagi guru ASN dan 1,5 juta bagi guru honorer.
Dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa guru adalah sebuah profesi yang dibuktikan dengan sertifikat profesi dan berhak mendapat tunjangan profesi.
Namun fakta yang terjadi, pemberian tunjangan sertifikasi bagi guru sangat rumit.
Meskipun sudah mengantongi sertifikat pendidik, realisasi tunjangan tidaklah mudah.
Ada persyaratan lain yang harus dipenuhi, seperti jumlah jam mengajar. Dampaknya, guru yang memiliki sertifikat pendidik tidak serta merta mendapat tunjangan karena bisa saja kekurangan jam mengajar.
Ke depan, problem baru akan muncul ketika guru yang mengikuti Pendidikan Profesi Guru [PPG] dalam jabatan dan memperoleh sertifikat pendidik semakin banyak.
Imbasnya pada pemenuhan tuntutan jumlah jam pelajaran.
Peluang untuk menerima tunjangan kesejahteraan semakin kecil karena jumlah guru bersertifikasi di suatu sekolah semakin banyak, sementara jam pelajaran tidak bertambah.
Permudah Persyaratan
Pernyataan pemerintahan Prabowo-Gibran yang kini berbeda dengan saat kampanye lagi-lagi menodai janji politik mereka. Janji itu, meminjam kata-kata Prabowo, hanya ”omon-omon” saja. Cuma kata-kata kosong.
Namun, ada jalan yang bisa diambil jika Prabowo-Gibran ingin agar janji itu jangan hanya jadi omon-omon, yaitu permudah persyaratan penerimaan tunjangan sertifikasi.
Semua guru yang memiliki sertifikat pendidik, asalkan terdata di Data Pokok Pendidikan atau Dapodik dan mengajar di sekolah, berhak mendapat tunjangan sertifikasi.
Prinsipnya, kalau bisa dipermudah, jangan dipersulit.
Dengan demikian, guru yang memiliki tugas mulia melukis wajah masa depan bangsa, tidak lagi menjadi korban janji yang terus didaur ulang setiap pemilu , lalu dilupakan.
Gerardus Kuma adalah guru SMPN 3 Wulanggitang, Hewa, Flores Timur, NTT
Editor: Ryan Dagur