Floresa.co – Lima hari pasca kejadian, Polres Manggarai Timur belum menetapkan status hukum seorang istri yang memukul suaminya hingga tewas, mengklaim prosesnya masih pada tahap penyelidikan.
“Proses penanganan kasus ini dilakukan secara profesional dan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku,” kata Kapolres, AKBP Suryanto kepada Floresa.
“Kami akan memastikan bahwa setiap langkah diambil berdasarkan fakta-fakta yang ada, baik dari hasil visum maupun keterangan para saksi,” tambahnya.
Marta Semung, warga Kampung Golontoung, Kelurahan Rana Loba di Kecamatan Borong memukul suaminya Yohanes Burfolmon hingga tewas pada 12 Desember malam.
Perempuan 38 tahun itu tak secara tiba-tiba menganiaya suaminya yang berusia 47 tahun tersebut.
Berdasarkan keterangan Polres, penganiayaan terjadi sesudah Jon, panggilan Yohanes, pulang ke rumah dalam kondisi mabuk lalu “memaki dan menendang” Marta yang sedang memasak di dapur.
Merespons tindakan suaminya yang terjadi pada sekitar pukul 19.30 Wita itu, Marta membalas dengan pukulan di kaki Jon sehingga terjatuh.
Jon yang mampu berdiri kembali kemudian mengambil sebongkah kayu menyala di tungku, berancang-ancang menyerang Marta.
Mengetahui bongkaha kayu panas sedang diarahkan kepadanya, Marta kembali memukul kepala Jon menggunakan sebatang kayu yang tergeletak di dekat tungku.
Pukulan kedua Marta, menurut keterangan Polres, membuat Jon “mengalami luka parah pada kepala bagian belakang.”
Jon jatuh tak sadarkan diri bersamaan darah mengalir keluar dari lubang telinganya.
Melihat kondisi Jon, Marta bergegas pergi ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu [SPKT] Polres Manggarai Timur.
Ia membawa serta sebatang kayu yang digunakan untuk memukul suaminya.
Sesudah mendengar pengakuan Marta, petugas jaga SPKT segera mendatangi rumah mereka.
Di pekarangan depan rumah, polisi mendapati Jon tertelungkup tidak sadarkan diri dengan tubuh bersimbah darah.
Jon lalu dibawa ke RSUD Manggarai Timur di Lehong.
“Penanganan dan pertolongan medis telah dilakukan secara maksimal, tetapi korban tidak bisa diselamatkan karena mengalami luka parah pada bagian kepalanya,” tulis Polres dalam keterangan kepada media.
Jon meninggal pada pukul 23.55 Wita di Unit Gawat Darurat RSUD Manggarai Timur.
Berbicara dengan Floresa pada 16 Desember, Suryanto berkata, penetapan status hukum Marta masih menunggu hasil visum, keterangan saksi-saksi, termasuk psikiater.
“Saat ini masih proses penyelidikan. Kami sedang memeriksa saksi-saksi, termasuk anak dan keluarga korban,” ujarnya.
Hingga 16 Desember sore, kepolisian juga masih menunggu hasil visum Jon, kata Suryanto.
Kepolisian juga melibatkan psikiater pada tahap penyelidikan.
Suryanto mengatakan, pemeriksaan psikiater yang dilakukan pada 16 Desember, “untuk mendapatkan gambaran kondisi” Marta.
Gelar perkara untuk menganalisis kesesuaian antara keterangan Marta dengan hasil visum, jelasnya, dilakukan pada 17 Desember sore.
Hingga kini Marta masih berada di Polres Manggarai Timur.
“Penyidik telah menanyakan apakah ia ingin kembali ke rumah selama proses penyelidikan, tetapi yang bersangkutan menolak dan memilih tetap tinggal di Polres,” kata Suryanto.
“Tak Punya Niat Jahat”
Sebelumnya, praktisi hukum menilai Marta Semung mestinya bebas dari jeratan pidana lantaran “pengaruh daya paksa [overmacht]” dan “membela diri” yang melandasi tindakannya.
“Ia dalam keadaan ‘terjepit.’ Tak bisa lari. Bila tak memukul suaminya, ia yang meninggal,” kata Siprianus Edi Hardum, pakar hukum asal Reok, Kabupaten Manggarai.
Pernyataan Edi menanggapi informasi kronologi oleh Polres Manggarai Timur.
Selagi kasusnya memasuki tahap pemeriksaan, Edi menilai polisi perlu mempertimbangkan “alasan pembenar dan pemaaf dalam hukum pidana” sebagai “penghapus pidana.”
Dalam kasus tersebut, kata Edi, yang menjadi alasan pembenar adalah sebongkah kayu menyala diayunkan Jon ke arah tubuh Marta yang memaksanya membela diri.
Sementara alasan pemaaf dalam peristiwa itu adalah “Marta merasa nyawanya terancam.”
“Polisi,” kata Edi, “bisa saja menghukum Marta, tetapi mesti mempertimbangkan alasan pemaafnya.”
Edi meminta Polres tidak menjerat Marta dengan pasal penganiayaan, misalnya Pasal 351 ayat [2] dan Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [KUHP].
Sebaliknya, ia mendesak penanganan kasus tersebut mengacu pada Pasal 48 KUHP, yang intinya berbunyi “seseorang yang melakukan perbuatan pidana karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.”
Selain itu, kata Edi, pengusutan juga dapat merujuk pada Pasal 49 KUHP yang intinya mengatur “seseorang tidak dapat dipidana jika melakukan pembelaan diri atau pembelaan terpaksa untuk diri sendiri, orang lain, kehormatan, atau harta benda.”
“Marta tak punya niat jahat,” katanya, “kalaupun polisi mau menghukum, tolong hukum seringan-ringannya.”
Editor: Petrus Dabu