Oleh: Berno Jani
Dalam sejarah panjang Gereja Katolik, pemilihan paus bukan hanya peristiwa seremonial, tetapi juga momen penanda zaman, sebuah jawaban atas kebutuhan spiritual, moral dan sosial yang sedang dihadapi dunia.
Saat asap putih membubung dari cerobong Kapel Sistina pada 8 Mei 2025, langit Vatikan menjadi saksi lahirnya harapan baru: Robert Francis Prevost terpilih sebagai pemimpin Gereja Katolik sedunia ke-267 dalam garis suksesi Santo Petrus.
Memilih nama Paus Leo XIV, ia merupakan paus pertama dari Amerika Serikat dan kedua dari Benua Amerika setelah Paus Fransiskus. Ia juga paus pertama dari Ordo Santo Agustinus yang dikenal dengan Agustinian (OSA).
Di tengah dunia yang terguncang oleh krisis kepercayaan terhadap institusi keagamaan, ketimpangan sosial yang kian dalam, serta ketegangan global yang meruncing, kehadiran Paus Leo XIV dipandang sebagai jawaban atas kebutuhan terhadap kepemimpinan yang membumi, dialogis dan visioner.
Latar belakang hidupnya yang multikultural, keterlibatannya dalam karya misi lintas benua dan pilihannya untuk menghidupkan kembali nama besar Leo dalam sejarah Gereja Katolik menjadi sinyal kuat akan komitmen pada penyembuhan dan pembaruan.
Tulisan ini mengajak kita untuk melihat bagaimana sosok Paus Leo XIV yang bukan hanya simbol kontinuitas tradisi, tetapi juga peluang profetik untuk menjahit luka-luka lama Gereja dan membawanya ke arah masa depan yang lebih inklusif, adil dan setia pada misi evangelisasi di dunia modern.
Siapa Paus Leo XIV?
Robert Francis Prevost lahir pada 14 September 1955 di Chicago, Amerika Serikat dari sebuah keluarga yang multikultural.
Dalam salah satu wawancara dengan radio dan televisi Italia, ia berkata: “Saya lahir di Amerika Serikat, tetapi kakek-nenek saya semuanya imigran, Prancis, Spanyol (…) Saya tumbuh dalam keluarga yang sangat Katolik, kedua orang tua saya sangat berkomitmen pada paroki.”
Prevost masuk seminari menengah Ordo St. Augustinus di St. Louis sebagai novis sebelum lulus dari Universitas Villanova di Philadelphia yang dikelola Augustinian dengan gelar di bidang matematika.
Setelah menerima gelar master dalam bidang teologi dari Persatuan Teologi Katolik Chicago pada 1982 dan gelar doktor dalam hukum kanon dari Universitas Kepausan Santo Thomas Aquinas di Roma, sosok yang dikenal bisa berbicara dalam banyak bahasa itu bergabung dengan para Agustinian di Peru pada 1985 untuk misi pertamanya selama satu dekade di negara itu.
Kembali ke Chicago pada 1999, ia diangkat menjadi Provinsial Agustinian di Midwest, Amerika Serikat dan kemudian menjadi Pior Jenderal atau pemimpin ordo tersebut di seluruh dunia pada 2001-2013. Selama masa kepemimpinannya ini, ia pernah ke Papua pada 2003 mengunjungi sesama anggota ordonya.
Ia kembali ke Peru pada 2014 ketika Paus Fransiskus mengangkatnya sebagai Administrator Apostolik Keuskupan Chiclayo di wilayah utara negara itu.
Hampir satu dekade kemudian, Paus Fransiskus mengangkatnya menjadi kardinal pada 2023. Ia pindah ke Vatikan dan menjadi Prefek Dikasteri untuk Para Uskup-yang bertanggung jawab untuk pemilihan uskup di seluruh dunia-, selain sebagai Presiden Komisi Kepausan untuk Amerika Latin.
Sebagai seorang misionaris di Peru, Prevost memiliki pengalaman mendalam tentang ketimpangan sosial yang membentuk pandangannya tentang gereja yang lebih inklusif dan global.
Prevost juga diyakini memiliki pandangan yang sama dengan Paus Fransiskus tentang migran, kaum miskin, dan lingkungan, terutama terkait dengan latar belakang keduanya sebagai gembala di Amerika Latin.
Ia juga diharapkan menyeimbangkan reformasi dengan tradisi di tengah ketegangan dalam dalam Gereja Katolik, hal yang cukup menguat dalam era Paus Fransiskus, antara mereka yang secara ketat ingin terus kembali pada tradisi, dengan mereka yang mendesak perlunya adaptasi dengan perubahan zaman.
Hal itu juga menjadi harapan para kardinal yang memilihnya.
Sebelum konklaf, Matteo Bruni, juru bicara Vatikan menyatakan bahwa selama pertemuan Dewan Kardinal sebelum konklaf, mereka menekankan perlunya seorang paus dengan “semangat kenabian yang mampu memimpin Gereja yang tidak menutup diri tetapi tahu bagaimana membawa terang bagi dunia yang dirundung keputusasaan”.
Gereja di Tengah Retakan Zaman
Paus Leo XIV terpilih saat dunia menghadapi tantangan besar seperti sekularisasi, krisis moral dalam Gereja dan ketimpangan sosial.
Dunia juga sedang menyaksikan pergulatan institusi-institusi yang selama ini dianggap sebagai penjaga nilai-nilai luhur, termasuk Gereja Katolik.
Pelecehan seksual yang melibatkan sejumlah anggota klerus dan ketidaktransparanan dalam tata kelola institusi telah menempatkan Gereja dalam posisi sulit, menyebabkan jarak yang semakin lebar antara otoritas rohani dan umat yang semula setia.
Fenomena ini membuka ruang bagi pertanyaan mendalam: apakah Gereja masih dapat dianggap sebagai jangkar moral yang dapat dipercaya, ataukah sekadar institusi yang terperangkap dalam kompleksitas internalnya sendiri?
Di sisi lain, ketimpangan sosial yang semakin tajam menambah derita dunia yang tengah terombang-ambing.
Di seluruh dunia, kesenjangan sosial antara kelas kaya dan miskin kian menganga. Perbedaan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi telah menciptakan ketidakadilan struktural yang mendalam, terutama antara negara-negara di wilayah utara atau Global North dan selatan atau Global South.
Ekonomi global kian terpusat dan menguntungkan segelintir pihak, sementara mayoritas umat manusia terjerat dalam lingkaran kemiskinan dan marginalisasi.
Dalam situasi ini, kendati tidak semua, Gereja yang seharusnya menjadi suara bagi mereka yang tertindas dan terpinggirkan, tidak selalu teguh menegaskan posisinya, semakin jauh dari realitas hidup umat yang terus berjuang.
Di luar ketimpangan sosial ini, dunia juga sedang terjebak dalam ketegangan geopolitik yang makin membara. Konflik internasional, pertarungan ideologi, dan polarisasi politik semakin meruncing, sementara krisis iklim yang memicu bencana alam semakin memperburuk keadaan.
Krisis iklim, sebuah isu yang pada awalnya terkesan jauh, menjadi ancaman eksistensial yang tidak hanya mengancam lingkungan tetapi juga kestabilan sosial dan politik global.
Pandemi global, migrasi massal, serta konflik yang tak kunjung selesai menciptakan ketidakpastian di hampir setiap sudut dunia.
Bencana ekologis dan sosial menjadi konvergensi yang tak terhindarkan, dan umat manusia merindukan suara yang dapat mengarahkan mereka ke dalam narasi baru yang berbasis pada keadilan, perdamaian, dan kemanusiaan.
Harapan Baru
Pemilihan Robert Francis Prevost sebagai dengan nama Paus Leo XIV bukan sekadar gestur simbolik, melainkan sebuah pernyataan teologis dan historis yang kuat.
Ada tiga belas paus lain yang bernama Leo sepanjang sejarah, yang pertama pada abad kelima. Ia dikenal sebagai Leo Agung.
Namun, kita tidak perlu melihat kembali enam belas abad untuk memahami pilihan Kardinal Robert Prevost atas Leo sebagai nama barunya.
Paus yang jauh lebih baru, Leo XIII, kemungkinan besar ada dalam pikirannya tersebut ketika ia memilih untuk dipanggil Leo XIV.
Leo XIII, yang menjadi paus dari tahun 1878 hingga 1903, paling terkenal karena menempatkan Gereja di jalur yang menjadikan ajaran sosial dan keadilan sosial sebagai bagian integral dari misi Gereja Katolik.
Ensikliknya tahun 1891 Rerum Novarum menekankan hak pekerja atas upah yang layak dan hak untuk membentuk serikat pekerja. Ia menentang sosialisme dan kapitalisme. Hal ini membuatnya dikenang sebagai Bapak Ajaran Sosial Gereja.
Rerum Novarum menandai tonggak awal keterlibatan moral Gereja dalam isu-isu struktural masyarakat: hak-hak buruh, keadilan ekonomi, dan tanggung jawab negara.
Pilihan Paus Leo XIV punya isyarat profetik: Gereja hendak meneguhkan kembali posisinya sebagai suara moral dalam lanskap dunia yang dilanda ketimpangan sosial.
Ia telah menyatakan hal ini dalam pernyataan pertamanya sebagai paus. Ia berterima kasih kepada para kardinal, “yang telah memilih saya untuk menjadi penerus Petrus dan untuk berjalan bersama kalian sebagai Gereja yang bersatu, selalu mencari kedamaian, keadilan, selalu berusaha untuk bekerja sebagai wanita dan pria yang setia kepada Yesus Kristus, tanpa rasa takut, untuk mewartakan Injil, menjadi misionaris.”
Menegaskan komitmennya untuk melanjutkan warisan Paus Fransiskus dalam menemukan cara baru menghadirkan Injil di tengah dunia, ia berkata, “kita ingin menjadi Gereja sinode, Gereja yang berjalan, Gereja yang selalu mencari kedamaian, selalu mencari kasih, selalu berusaha untuk dekat, terutama dengan mereka yang menderita.”
Dalam Leo XIV, umat Katolik membaca harapan akan kesinambungan tradisi profetik yang mengakar pada bela rasa terhadap kaum kecil dan marginal.
Ia lahir di Amerika Serikat, namun mengabdi lama di Peru, sebuah kombinasi yang menjadikannya simbol globalisasi gerejawi yang semakin nyata. Gereja hari ini tidak lagi dikendalikan dari pusat-pusat lama kekristenan, tetapi juga berakar pada pengalaman gereja di wilayah selatan bumi.
Motonya, “In illo uno unum” (Dalam Dia yang satu, kita satu), mengafirmasi visinya: persatuan dalam keberagaman, dialog antarbudaya, dan pemulihan spiritual di tengah fragmentasi zaman.
Namun, di tengah kegembiraan pasca-konklaf, tantangan besar menanti. Reformasi struktural internal gereja mulai dari tata kelola yang transparan hingga pemulihan integritas moral institusi menjadi agenda yang tak bisa ditunda.
Sekularisasi yang kian agresif, meningkatnya skeptisisme publik terhadap lembaga keagamaan, serta krisis identitas generasi muda terhadap iman menjadi tantangan kultural yang tak kalah serius.
Di ranah global, isu migrasi, krisis iklim, dan konflik geopolitik menempatkan paus sebagai bukan hanya pemimpin spiritual, melainkan diplomat moral dan nabi ekologis. Perannya dalam membentuk narasi etis dunia akan menjadi salah satu ujian terberat dalam kepausannya.
Leo XIV hadir sebagai jembatan antara warisan dan harapan, antara utara dan selatan, antara tradisi dan tuntutan zaman. Dalam dirinya terpantul pergulatan dua dunia utara yang mapan dan selatan yang terpinggirkan yang justru menjadikannya titik temu harapan.
Kini, dunia tidak hanya menunggu langkah Paus Leo XIV, tetapi juga diuji soal kesediaan untuk mendengar dan menjawab suara kenabian baru dari Vatikan.
Berno Jani adalah mahasiswa Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero
Editor: Ryan Dagur