Floresa.co – Bank KfW yang mendanai proyek geotermal Poco Leok sedang berada di Manggarai untuk bertemu dengan sejumlah pihak.
Menegaskan sikap penolakan mereka terhadap proyek itu, warga telah menyatakan menolak ikut dalam pertemuan dengan bank tersebut yang dijadwalkan pada 21 Mei.
Pada tahun lalu, bank asal Jerman itu telah mengirim tim independen untuk mengkaji polemik proyek ini.
Tim ini telah merekomendasikan penghentian sementara, karena menilainya tidak memenuhi standar-standar sosial dan ekologi internasional. Usulan mereka agar proses proyek diulang dari awal juga ditolak warga yang menuntut penghentian permanen.
Apa saja yang perlu diketahui bank tersebut terkait proyek ini?
Floresa merangkum sejumlah soal, mengacu pada beberapa laporan yang dipublikasi pada beberapa tahun terakhir.
Warga Terus Melawan
Salah satu poin yang diutarakan warga dalam suratnya kepada KfW pada 18 Mei adalah mereka telah menyuarakan penolakan “berulang kali melalui surat resmi, aksi damai hingga audiensi langsung dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai, Pemerintah Provinsi NTT, Pemerintah Pusat di Jakarta, serta PT PLN.”
Berbagai upaya itu melibatkan warga dari sepuluh gendang atau kampung adat. Kelompok perempuan termasuk yang berada di garis depan dalam aksi-aksi itu.
Dalam catatan Floresa, mereka telah hampir 30 kali melakukan “aksi jaga kampung” untuk mengadang aktivitas pemerintah, PT PLN dan Badan Pertanahan di lahan ulayat sejak tahun 2023. Aksi itu salah satunya menyasar Bupati Manggarai Herybertus GL Nabit saat dirinya berkunjung ke Poco Leok pada 27 Februari 2023.
Kendati terus mengalami intimidasi, bahkan menjadi korban tindak kekerasan aparat polisi, TNI dan Satpol PP dalam beberapa aksi, warga terus mengadang hingga aktivitas lapangan yang terakhir pada 2 Oktober 2024, di mana Pimred Floresa Herry Kabut ikut jadi sasaran penganiayaan.
Dalam aksi-aksi itu, juga surat-surat yang dikirimkan ke berbagai lembaga negara, termasuk KfW, mereka menyatakan penolakan tegas karena kekhawatiran dampak proyek terhadap tanah ulayat dan kesatuan ruang hidup sosial-budaya serta keselamatan lingkungan dengan kontur berbukit-bukit.
Selain itu, pengalaman proyek serupa di tempat-tempat lain, misalnya Dieng di Jawa Tengah, Mandailing Natal di Sumatera Utara, termasuk yang terdekat Mataloko di Kabupaten Ngada dan Ulumbu yang berjarak 3 kilometer di sebelah barat Poco Leok memperkuat keyakinan mereka akan dampak buruk geotermal.
Bupati Nabit Tetap Ngotot
Sementara perlawanan warga terus menguat, Bupati Nabit ngotot proyek itu membawa kemajuan, terutama untuk kebutuhan listrik di Kabupaten Manggarai dan wilayah lainnya di Flores.
Dalam audiensi dengan massa saat aksi Aliansi Pemuda Poco Leok di Ruteng pada 3 Maret, Nabit mengklaim tidak bermaksud mengorbankan keselamatan warga dan lingkungan, tetapi karena tuntutan kebutuhan energi listrik yang makin besar, termasuk untuk industri pariwisata di kota pariwisata super premium Labuan Bajo, Manggarai Barat.
Pada 26 Maret, Nabit juga berkata dalam Musrenbang Penyusunan Rencana Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Manggarai Tahun 2026 bahwa geotermal Poco Leok diperlukan untuk industrialisasi karena “tidak ada negara maju karena pertanian.” Kendati pada saat yang sama dia juga menyatakan wilayahnya adalah kawasan pangan yang fokus pada pertanian, peternakan dan perikanan.
Sikap ngotot Nabit juga tampak saat dia menolak mencabut SK Penetapan Lokasi proyek itu, yang ditekennya tanpa sepengetahuan warga pada Desember 2022.
Salah satu alasan yang sempat diutarakannya saat audiensi pada 3 Maret adalah takut karena “kepala-kepala daerah yang tidak menjalankan proyek strategis nasional itu bisa diberhentikan.”
Disinformasi Meluas via Media Sosial dan Media Siber
Penyebaran disinformasi telah mewarnai upaya meloloskan proyek ini. Disinformasi itu menyasar lembaga-lembaga yang selama ini berupaya melakukan pendampingan terhadap warga.
Terbaru adalah munculnya akun anonim Reba Pitak di media sosial Facebook yang secara rutin menyebar fitnah terhadap lembaga-lembaga Gereja Katolik dan lembaga swadaya masyarakat.
Akun itu secara serampangan menyebut bahwa lembaga-lembaga tersebut mendapat aliran dana dari sejumlah lembaga asing.
Sayangnya, nama-nama lembaga yang dicatut tidak eksis, sebagian diduga sengaja ditulis secara keliru.
Pada tahun lalu, sejumlah media yang diduga berafiliasi dengan PT PLN juga secara masif melakukan serangan terhadap Floresa, dengan tudingan melakukan provokasi.
Dewan Pers telah memutuskan Pijarflores.com-salah satu dari media tersebut-melanggar kode etik jurnalistik dan harus menjalankan sanksi meminta maaf.
Kekerasan dan Kriminalisasi terhadap Warga
Pemaksaan proyek ini telah membuat warga berada dalam posisi rentan dikriminalisasi.
Kehadiran aparat keamanan setiap kali perusahaan dan pemerintah mendatangi lokasi merupakan praktik lazim.
Pada 2 Oktober 2024, sejumlah warga menjadi korban kekerasan aparat saat mereka melakukan aksi protes, yang mereka sebut “aksi jaga kampung.” Kasus ini sempat dilaporkan ke Polda NTT di Kupang, namun dihentikan karena alasan tidak cukup bukti.
Peristiwa itu hanyalah salah satu bentuk tekanan terhadap warga. Pada Juni 2023, sejumlah warga juga dipukul aparat, hingga ada yang dirawat di rumah sakit.
Selain itu, saat ini, warga juga menghadapi proses hukum karena dituding merusak pagar kantor bupati saat unjuk rasa pada 3 Maret.
Laporan itu yang diadukan Pemerintah Kabupaten Manggarai, menurut warga dan kelompok advokasi adalah bentuk kriminalisasi. Selain karena sebetulnya tidak jelas siapa yang memicu robohnya pagar itu, kasus ini juga direspons cepat oleh polisi, sebuah perlakuan berbeda ketika yang melapor adalah warga.
Gereja Katolik Kompak Melawan
Institusi Gereja Katolik di Flores telah kompak menentang proyek geotermal di seluruh pulau dalam sebuah surat pernyataan bersama pada Maret tahun ini.
Bagi mereka, kendati geotermal diklaim sebagai energi yang ramah lingkungan, namun fakta di lapangan menunjukkan munculnya berbagai soal.
Salah satu yang meneken pernyataan itu adalah Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat yang wilayahnya mencakup Poco Leok.
Para uskup menyatakan, “eksploitasi sumber daya alam, termasuk energi geotermal di Flores dan Lembata, menimbulkan pertanyaan: Apakah kita membangun masa depan yang lebih baik atau justru merusaknya?”
Menurut mereka, Flores dan pulau-pulau kecil lainnya memiliki ekosistem yang rapuh dan berisiko besar, sehingga eksploitasi yang tidak bijaksana, termasuk proyek geotermal berdampak pada lingkungan, ketahanan pangan, keseimbangan sosial dan keberlanjutan kebudayaan.
Penolakan terhadap geotermal, kata mereka, berangkat dari sejumlah persoalan yang muncul dari rencana eksplorasi dan eksploitasi geotermal di Flores dan Lembata, “dengan topografinya yang dipenuhi gunung dan bukit dan sumber mata air permukaan yang amat terbatas.”
Selain itu, mereka menilai proyek geotermal bertentangan dengan arah utama pembangunan di wilayah itu “yang menjadikan wilayah ini sebagai daerah pariwisata, pertanian, perkebunan, peternakan unggulan serta pertanian dan kelautan.”
Secara pribadi, dua uskup di Floresa, Mgr Maksimus Regus di Labuan Bajo dan Mgr Paulus Budi Kleden, SVD di Ende juga telah menyatakan secara terbuka sikap menolak proyek geotermal di wilayah kegembalaan mereka, yakni Wae Sano di Manggarai Barat dan Mataloko, Sokoria, Lesugolo dan beberapa lainnya di Kabupaten Ngada dan Ende.
Alasan Warga: Tanah Tidak Sekedar Sarana Produksi
Dalam sejumlah argumentasi penolakan proyek ini, warga tidak hanya bicara soal mempertahankan tanah yang terancam diambil untuk menjadi lokasi proyek.
Namun, mereka juga selalu menekankan makna tanah secara sosiologis, kultural dan religi yang membentuk dan memengaruhi kehidupan mereka sebagai masyarakat adat.
Jadi, soalnya tidak sekedar pemberian ganti rugi atas tanah untuk proyek ini, tetapi pada kekhawatiran terganggunya ruang hidup, istilah yang menggambarkan kesatuan antara tempat tinggal, kampung, lahan ulayat, mata air hingga situs kuburan leluhur mereka.
Karena itu, kendati geotermal diklaim sebagai energi hijau, mereka berharap pemerintah dan perusahaan tidak membuat mereka dipaksa mengorbankan ruang hidup mereka.
Di sisi lain, mereka juga melihat situasi tetangga mereka di sekitar PLTP Ulumbu yang tidak merasakan manfaat dari proyek itu. Dalam salah satu pertemuan sosialisasi proyek Poco Leok pada Juni 2024, peserta menegaskan realisasi janji-janji pemerintah terkait manfaat PLTP itu adalah nol.
Editor: Ryan Dagur