Floresa.co – Warga adat Poco Leok di Kabupaten Manggarai menolak ikut dalam pertemuan pekan ini bersama bank asal Jerman yang mendanai proyek geotermal, menegaskan bahwa sikap mereka tetap menentang proyek tersebut.
Dalam surat yang dikirimkan warga 10 gendang atau kampung adat kepada Bank Pembangunan Jerman atau Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] dan kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), mereka menyebut pertemuan itu adalah “siasat licik agar syarat administrasi pendanaan terpenuhi, agar kalian bisa mengklaim bahwa masyarakat telah ‘dilibatkan’ dan ‘didengar’.”
“Sejak awal, sikap kami jelas; menolak proyek geotermal ini,” kata mereka dalam surat itu yang salinannya diperoleh Floresa
Warga menyatakan, mereka telah menyuarakan penolakan “berulang kali melalui surat resmi, aksi damai hingga audiensi langsung dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai, Pemerintah Provinsi NTT, Pemerintah Pusat di Jakarta, serta PT PLN.”
Mereka juga mengingatkan KfW, “kami juga telah menyampaikan penolakan tersebut kepada pihak Anda, baik lewat surat maupun saat kalian mengirim tim independen ke Poco Leok pada tahun lalu.”
Surat tersebut, yang ditandatangani sepuluh perwakilan gendang pada 18 Mei 2025 merespons surat Bank KfW pada 8 Mei yang ditandatangani Burkhard Hinz, Direktur KfW Indonesia.
Bank tersebut menjadwalkan pertemuan di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai pada 22 Mei.
Burkhard menyatakan agenda pertemuan tersebut berdasarkan permintaan warga pada 8 Desember 2024.
Ia meminta maksimal 15 perwakilan warga hadir dalam pertemuan itu, yang diklaimnya akan menjadi diskusi yang “saling percaya dan bermakna.”
“Tujuan pertemuan ini untuk terlibat dan mendengarkan kekhawatiran Anda,” tulis Burkhard, “termasuk kekhawatiran terkait PLTP Ulumbu.”
Ia juga menyatakan jika warga bersedia, KfW akan mengundang perwakilan PT PLN sebagai pengembang proyek.
Selain warga, surat undangan lainnya juga dilayangkan KfW kepada beberapa lembaga advokasi, seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Walhi NTT dan Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) SVD Ruteng.
Warga berkata, mereka telah “menyampaikan dengan jujur dan lantang” penolakan terhadap proyek itu saat kunjungan tim independen utusan KfW pada September tahun lalu.
Proyek itu, kata mereka, “mengancam ruang hidup, tanah adat, keselamatan ekologis dan masa depan generasi penerus kami.”
Hasil pemantauan lapangan tim tersebut telah dipresentasikan di hadapan warga pada 14 November 2024.
Salah satu rekomendasinya adalah penghentian sementara proyek karena tidak sesuai standar sosial dan lingkungan internasional.
“Kini sembilan bulan telah berlalu, KfW Bank kembali mengundang kami untuk pertemuan baru pada 22 Mei 2025 mendatang. Kami bertanya, untuk apa lagi pertemuan ini?” kata warga.
Mereka juga menyoroti sikap bank itu yang “terus mengulur waktu dan bersilat lidah,” sementara “kekerasan terhadap kami tidak pernah berhenti.”
“Warga terus diintimidasi, direpresi, dikriminalisasi, dilecehkan, diadu domba, bahkan saat ini warga dilaporkan ke polisi hanya karena mempertahankan tanah dan haknya sebagai masyarakat adat,” ungkap mereka.
Mereka juga memperingatkan KfW bahwa keterlibatannya sebagai pendana proyek berpotensi menyeret lembaga tersebut ke dalam tindakan kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia.
“Jika kalian sungguh lembaga pembangunan yang menghormati hak asasi, keadilan sosial, masyarakat adat dan kelestarian hidup, maka kalian tidak akan terus memaksa masuk ke tanah yang ditolak oleh pemiliknya, masyarakat adat di Poco Leok,” tulis mereka.
Pada bagian akhir surat itu, warga menegaskan, “wilayah adat kami bukan zona investasi, bukan juga ruang kosong.”
“Di sini kami hidup, beranak, berdoa dan menyatu dengan leluhur serta alam. Hentikan pendanaan. Hentikan keterlibatan kalian dalam kekerasan. Hentikan proyek geotermal di tanah adat Poco Leok,” kata warga.

Protes Massif di Flores
Proyek geotermal Poco Leok merupakan perluasan dari PLTP Ulumbu yang telah beroperasi sejak 2011.
Para era Presiden Joko Widodo, proyek ini masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional.
Masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030, proyek itu menargetkan energi listrik 2×20 megawatt, meningkat dari 10 megawatt yang dihasilkan saat ini.
Warga telah melakukan berbagai aksi penolakan, yang beberapa kali direspons dengan tindak kekerasan oleh aparat keamanan.
Dalam peristiwa pada 2 Oktober, beberapa warga mengalami penganiayaan saat melakukan aksi protes terhadap pemerintah dan PT PLN yang mendatangi lokasi proyek.
Herry Kabut, Pemimpin Redaksi Floresa juga ikut dianiaya saat meliput aksi yang warga sebut sebagai bagian dari upaya “ jaga kampung” itu.
Tak lama setelah Bupati Manggarai, Heribertus G. L. Nabit dilantik untuk periode kedua, pada 3 Maret, ratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Pemuda Poco Leok menggelar aksi demonstrasi untuk mendesaknya mencabut Surat Keputusan terkait penetapan lokasi proyek ini.
Mereka mendesak pemerintah agar menghentikan seluruh aktivitas, termasuk pengerahan aparat keamanan untuk mengawal perusahaan.
Selain aksi di lapangan, warga juga telah mengirimkan surat kepada berbagai lembaga negara, di antaranya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ombudsman dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Penolakan terhadap proyek panas bumi di Flores ini tidak hanya terjadi di Poco Leok.
Gelombang protes juga muncul di berbagai lokasi lain di tengah masifnya upaya pemerintah setelah penetapannya sebagai Pulau Panas Bumi pada 2017.
Selain warga lingkar lokasi proyek, otoritas Gereja Katolik yang diwakili oleh enam uskup dari wilayah Nusa Tenggara dan Bali juga telah menyatakan sikap penolakan terhadap proyek ini.
Dalam pernyataan pada Maret lalu, mereka menyatakan, sikap itu berdasarkan keluhan warga dan mempertimbangkan kondisi Pulau Flores yang kecil dengan topografi berbukit-bukit.
Editor: Anno Susabun