Ini Baru Gembala yang Baik. Kami Tunggu Tindak Lanjut; Warga Flores-Lembata Bicara Surat Gembala Para Uskup yang Tolak Proyek Geotermal

Tanpa langkah konkret, surat gembala itu sama dengan propaganda omong kosong, kata warga

Floresa.co – Warga lingkar proyek geotermal di Flores dan Lembata, NTT mengapresiasi pernyataan bersama para uskup dari wilayah Nusa Tenggara-Bali yang satu kata menolak proyek geotermal.

Namun, mereka menanti tindak lanjut surat itu, mengingat ada uskup yang sebelumnya menyatakan mendukung, sementara uskup lain yang di wilayahnya terdapat proyek geotermal belum menyatakan sikap pribadi.

Yosef Erwin Rahmat, warga Desa Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat yang berbicara kepada Floresa pada 28 Maret berkata “saya dan warga Wae Sano menyampaikan puji dan syukur yang setinggi-tingginya kepada Tuhan pencipta semesta alam dengan pernyataan bersama para uskup itu.”

Desa Wae Sano terletak di Paroki Santu Mikhael Nunang, bagian dari Keuskupan Labuan Bajo yang pada tahun lalu mekar dari Keuskupan Ruteng. Mgr. Maksimus Regus menjadi uskup pertama di wilayah itu.

Pernyataan bersama para uskup, kata Yosef, adalah hal yang “sudah sekian lama ditunggu umat dan masyarakat yang berjuang dengan segala keterbatasannya.”

“Roh Tuhan telah merasuki seluruh jiwa dan pikiran para uskup” di tengah kondisi warga yang terus-menerus “dimanfaatkan oleh perusahaan dan pemerintah untuk meloloskan rencana eksplorasi geotermal di Flores dan Lembata,” katanya.

Andreas Baha Ledjap, warga dari lingkar proyek geotermal Atadei, Lembata menilai pernyataan bersama para uskup menjadi bukti para gembala mendengarkan keluhan, ketakutan dan kekhawatiran umat atas ancaman nyata kerusakan dari proyek itu di berbagai tempat.

“Sangat penting peran para Uskup sebagai gembala untuk menopang dan membimbing kami umat yang digembalai demi menjaga keutuhan alam ciptaan dengan keanekaragaman adat dan suku sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,” kata Ance, sapaannya.

Apa Kata Para Uskup?

‘Surat Gembala Pra-Paskah Para Uskup Provinsi Gerejawi Ende’ diteken dalam dalam ‘Sidang Tahunan Para Uskup Provinsi Gereja Ende’ di Seminari Tinggi Santu Petrus Ritapiret, Maumere pada 10—13 Maret 2025.

Para uskup yang meneken surat itu adalah Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD; Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung; Uskup Maumere, Mgr. Martinus Ewaldus Sedu; Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat; Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus dan Uskup Denpasar, Mgr. Silvester San.

Pernyataan menolak proyek geotermal muncul dalam poin pertama surat itu, dengan ajakan untuk “memilih masa depan secara bijaksana.”

“Eksploitasi sumber daya alam, termasuk energi geotermal di Flores dan Lembata, menimbulkan pertanyaan: Apakah kita membangun masa depan yang lebih baik atau justru merusaknya?”

Menurut mereka, Flores dan pulau-pulau kecil lainnya memiliki ekosistem yang rapuh dan berisiko besar, sehingga eksploitasi yang tidak bijaksana, termasuk proyek geotermal berdampak pada lingkungan, ketahanan pangan, keseimbangan sosial dan keberlanjutan kebudayaan.

Penolakan terhadap geotermal, kata mereka, berangkat dari sejumlah persoalan yang muncul dari rencana eksplorasi dan eksploitasi geotermal di Flores dan Lembata, “dengan topografinya yang dipenuhi gunung dan bukit dan sumber mata air permukaan yang amat terbatas.”

Selain itu, mereka menilai proyek geotermal bertentangan dengan arah utama pembangunan di wilayah itu “yang menjadikan wilayah ini sebagai daerah pariwisata, pertanian, perkebunan, peternakan unggulan serta pertanian dan kelautan.”

Andreas Baha Ledjap mendukung pernyataan para uskup itu, menyebut adanya “ancaman nyata akan kepunahan ritus adat masyarakat yakni Ploe Kwar yang selalu dibuat di Dapur Alam atau Kar.

Di dapur alam yang menjadi titik yang ditargetkan PT PLN di Atadei, terdapat lokasi ritus Ploe Kwar, yaitu pemberian makan kepada Ina Kar sebagai simbol syukur atas hasil panen, dan sebagai syarat awal dilakukannya upacara bakar jagung atau Tun Kwar bagi suku-suku yang ada di Desa Atakore. 

Kecemasan lainnya warga Atadei disampaikan Nikodemus N. Ledjap, terutama terkait sumber air Wai Kating [Air Panas] di Desa Lewogroma yang dimanfaatkan baik untuk kebutuhan harian maupun ritus-ritus adat.

Sementara warga lainnya, Konstantinus Kelopok, mengkritisi upaya identifikasi lahan di Desa Atakore oleh PT PLN yang “mengabaikan hak masyarakat adat dan tidak melalui proses yang benar.”

Perlu Langkah Konkret

Kendati bersyukur atas pernyataan demikian, Yosef mengingatkan “perlu langkah-langkah konkret sebagai perwujudan yang nyata keberpihakannya bagi keselamatan manusia dan alam lingkungan.”

“Tanpa langkah konkret surat gembala itu sama dengan propaganda omong kosong,” katanya.

Di Keuskupan Labuan Bajo, selain dibacakan di gereja-gereja, Uskup Maksimus juga membacakannya dalam video yang ditayangkan di kanal Youtube Komisi Komunikasi Sosial.

Yosef berharap, “semoga mimbar suci dan podium megah Gereja tempat dibacakan surat gembala ini tidak tercemar oleh kemunafikan dan tipu-tapu.” 

Ia menambahkan, semoga “suara para gembala mencerminkan ketaatan yang penuh ketulusan dalam memaknai misi Gereja untuk menjaga keutuhan ciptaan untuk keadilan dan perdamaian.”

Harapan yang sama disampaikan Tadeus Sukardin, petani asal Lungar, salah satu dari 14 kampung adat di lokasi geotermal Poco Leok, Kabupaten Manggarai.

Ia “menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya” kepada para uskup tersebut.

Menurutnya, langkah yang diambil para uskup adalah perwujudan salah satu visi dan misi utama kehadiran Gereja, yakni “menjaga alam.”

“Sebagai masyarakat sekaligus umat Katolik, kami sangat merindukan tanggapan ini dari Gereja yang merupakan penggembala domba,” katanya.

“Selama ini domba mencari gembalanya yang baik dan saat ini kami telah mendapatkan gembala yg bisa melindungi kami sebagai domba-dombanya.”

Namun, kata Tadeus, umat di wilayahnya, yang termasuk dalam Paroki Santu Arnoldus Jansen Ponggeok berharap Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat “juga bisa menyampaikan pernyataan serupa supaya umatnya bisa meyakinkan bagaimana isi hati dari bapak uskup kita ini.”

Hal itu karena Siprianus sejauh ini belum menyatakan pernyataan dukungan bagi warga Poco Leok, hal yang menjadikannya sasaran kritik umat.

Pada Juni 2024, saat warga Poco Leok mengalami represi aparat keamanan selama beberapa hari karena menolak aktivitas pemerintah dan PT PLN di tanah adat mereka, Siprianus menyatakan dukungan terhadap proyek geotermal, meyakininya sebagai energi bersih yang ramah lingkungan, dan mengklaimnya sejalan dengan Ensiklik Laudato Si dari Paus Fransiskus.

Ia juga menulis surat kepada Presiden Jokowi pada 2020, merekomendasikan kelanjutan proyek geotermal di Wae Sano.

KWI Juga Perlu Bersikap

Tony Anu, pemuda dari Mataloko, Kabupaten Ngada berharap sikap para uskup tidak berhenti pada pernyataan bersama, tetapi “konsistensi dari sikap itu akan terus ada seiring berjalannya waktu.”

Proyek geotermal Mataloko yang kini tengah dikerjakan oleh BUMN PT Perusahaan Listrik Negara [PLN] adalah bagian dari Proyek Strategis Nasional yang menargetkan energi listrik sebesar 2×10 Megawatt.

Proyek tersebut, yang berlokasi di Kecamatan Golewa, sekitar 15 kilometer arah timur dari Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada gagal berulang, yang berujung kemunculan lumpur dan uap panas di kebun milik warga sejak 2006.

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dan PT PLN mengakui kegagalan itu, menyebut dua sumur pengeboran awal “tidak memenuhi syarat sebagai pemasok uap PLTP Mataloko yang menargetkan pasokan uap sekitar 40 ton/jam untuk kapasitas listrik 2,5 MW.”

Arifin Kana, Pelaksana Harian PLTP Mataloko berkata “kondisi uap yang tidak sesuai maka sumur MT-1 ditutup kembali oleh pihak pengebor.”

Sementara Rina Wahyuningsih dan Kastiman Sitorus,  peneliti dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menyebut sumur MTL-01 dan MT-1 di proyek itu ditutup dengan semen “karena adanya semburan liar uap panas dan gas.”

Kerusakan tersebut, kemudian diperbaiki, yang membuat PLTP Mataloko bisa beroperasi pada 2010. Namun, hal itu tidak berlangsung lama, karena pada tahun berikutnya terjadi kerusakan pada sistem pembangkit.

Pada 2013 hingga 2015, PLTP kemudian kembali beroperasi, sebelum kemudian tidak berfungsi lagi karena uap berkapasitas 5 Megawatt tidak dapat menggerakkan turbin.

Setelah kegagalan itu, pada 2019, pengerjaannya dimulai kembali. Namun, target operasi dari proyek di lokasi yang menyimpan potensi panas bumi 60 Megawatt cadangan terduga tersebut dihentikan pada tahun berikutnya karena kembali memunculkan belerang.

Menurutnya, Konferensi Waligereja Indonesia [KWI] sebagai wadah perkumpulan para uskup se-Indonesia juga perlu ikut bersuara “agar sikap Gereja jelas terhadap proyek geotermal.”

KWI memiliki Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran-Perantau, yang kini diketuai Uskup Siprianus Hormat, dengan sekretaris eksekutif Romo Marthen Jenarut-keduanya dari Keuskupan Ruteng.

Harapan yang sama disampaikan Angelina Mogi, perempuan asal Mataloko yang meminta KWI “mendukung keputusan enam uskup di Nusa Tenggara dan Bali.”

“Kalau perlu, KWI bertemu dengan Presiden Prabowo dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] untuk menyuarakan penolakan geotermal di Mataloko dan Flores umunya,” kata Mogi.

Ia juga berharap KWI dapat mendesak pemerintah untuk mencabut kembali keputusan tentang Flores sebagai Pulau Panas Bumi, yang ditetapkan pada 2017 melalui SK Menteri ESDM Nomor 2268 K/MEM/2017.

Gereja dan Pemerintah Harus Satu Suara

Angelina Mogi berkata, langkah para uskup merupakan salah satu jawaban institusi itu atas keluhan mereka selama ini yang seringkali tidak didengar pemerintah dan perusahaan.

“Gereja di Flores sedang membantu pemerintah dengan menyuarakan keluhan masyarakatnya,” kata Mogi pada 28 Maret.

Ia juga berkata “suara enam uskup itu sudah mewakili suara kami” dan mereka sudah “memilih menjadi sandaran umat.”

Karena itu, ia berharap pernyataan sikap para uskup tidak menjadi pemicu “benturan” antarinstitusi itu, yang menurutnya sama-sama berperan penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat.

“Karena masyarakat adalah umat dalam Gereja, begitu juga umat adalah masyarakatnya pemerintah,” ungkapnya.

“Gereja tidak punya kepentingan apa-apa selain menyelamatkan umat dan memperjuangkan hak-hak masyarakat.”

Ia berharap pemerintah menjalin kerjasama yang baik dengan Gereja, “untuk sama-sama berpihak dan bertindak”, termasuk “memberi pemahaman bagi masyarakat terkait dampak-dampak geotermal terhadap alam, udara, hingga potensi keracunan gas berbahaya dan relokasi dari kampung halaman.”

“Saya berharap surat gembala itu juga menyadarkan masyarakat bahwa dampak geotermal sangat buruk untuk kita, baik lingkungan, ekonomi, udara, dan lain-lain,” lanjutnya.

Tony Anu berkata, langkah para uskup menjadi “tanda bahaya” ketika ada gejala pemerintah dan perusahaan tidak menghiraukan suara kegembalaan mereka.

Sebagai umat, kata Tony, dia “yakin seratus persen bahwa surat gembala itu dikeluarkan atas dasar yang kuat dan jauh dari tekanan apapun.”

“Memang banyak pro dan kontra terkait sikap uskup yang kompak menolak geotermal. Pemerintah dan perusahaan harus bisa buka diri untuk dievaluasi, jangan karena PSN [proyek strategis nasional] lalu beranggapan benar semua,” katanya.

Andreas Baha Ledjap berharap suara para uskup mendorong pemerintah daerah itu mencabut penetapan lokasi geotermal, yang menurutnya diputuskan tanpa partisipasi bermakna dari warga setempat.

“Pemda Lembata sedapat mungkin menghibahkan lahan yang telah dibebaskan [aset kementerian ESDM] untuk diberikan kepada komunitas masyarakat adat setempat sebagai upaya dalam mendukung keberlangsungan budaya di Desa Atakore,” kata Ance, sapaannya.

Ia juga berharap pemerintah menjadi fasilitator yang memastikan segala proses yang berkaitan dengan upaya pembangunan PLTP diketahui masyarakat, dan menghindari terjadinya upaya pembatasan akses informasi untuk semua komponen masyarakat.

“Kami melihat bahwa telah terjadi dugaan penyimpangan pengetahuan dan informasi publik atas berbagai kegiatan yang dilakukan oleh staf PT PLN yang difasilitasi oleh oknum-oknum pemerintah daerah hingga tingkat desa,” ungkapnya.

Karena itu, kata dia, pemerintah harus tetap memegang komitmen dan mengawal “kesepakatan bersama” untuk melawan represi terhadap warga, pendistribusian informasi publik yang jujur dan benar, serta pernyataan untuk menghargai keputusan warga sebagai keputusan bersama terhadap terlaksana atau tidaknya proyek itu.

Sementara itu, Yosef Erwin berharap para uskup dan pemerintah dapat mengupayakan persatuan kembali umat di Flores yang “tercerai-berai karena perbedaan pandangan terhadap rencana eksplorasi dan eksploitasi geothermal.”

Proyek geotermal untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi [PLTP] di Flores adalah bagian dari proyek strategis nasional dalam rangka pemenuhan target 35.000 MW infrastruktur kelistrikan di Indonesia.

Kementerian ESDM telah menetapkan puluhan titik eksplorasi dan eksploitasi di sepanjang Flores dan Lembata, kendati menghadapi perlawanan warga di hampir semua lokasi.

Berbagai upaya dilakukan oleh warga di lokasi-lokasi itu. Warga di Poco Leok, misalnya melakukan pengadangan aktivitas lapangan pemerintah dan PT PLN, demonstrasi hingga bersurat kepada berbagai lembaga negara dan pendana proyek yakni Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW].

Pengadangan lapangan juga dilakukan warga di Atadei dan Wae Sano, sementara warga Mataloko melakukan unjuk rasa besar-besaran yang melibatkan rohaniwan pada 12 Maret.

Laporan ini dikerjakan oleh Adrian Naur dan Anno Susabun

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

iklanspot_img

BACA JUGA

BANYAK DIBACA