Floresa.co – Warga di Poco Leok, Kabupaten Manggarai menggagalkan upaya pemerintah dan perusahaan yang memanfaatkan aparat keamanan untuk memasang patok di atas tanah ulayat mereka, bagian dari upaya menindaklanjuti proyek geotermal.
Warga dari 10 komunitas adat atau gendang itu melakukan aksi saat sejumlah pejabat dari pemerintah kabupaten dan PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN] Persero mendatangi Poco Leok pada 1 Oktober.
Mereka meninggalkan pekerjaan untuk bisa menduduki dua tanah ulayat atau lingko yang didatangi.
Sehari sebelumnya, warga mendapat informasi bahwa pemerintah dan PT PLN akan mengidentifikasi dan mendata lahan di Lingko Meter dan Dering.
Dua lokasi itu merupakan tanah ulayat Gendang Lungar dan Rebak.
Karena itu, mereka berkoordinasi untuk melakukan aksi “jaga kampung” pada 1 Oktober.
Sama seperti aksi sebelumnya, mereka terbagi dalam dua kelompok. Warga Gendang Lungar, Tere dan Jong menuju Lingko Meter, sementara warga Gendang Rebak, Mucu, Mocok, Mori, Nderu, Ncamar dan Cako menuju Lingko Dering.
Lantaran jarak kedua lingko itu cukup jauh, beberapa warga menumpang mobil pikap dan motor, sementara sebagiannya tetap memilih berjalan kaki.
Lingko Meter merupakan salah satu pintu masuk ke Poco Leok dari arah PLTP Ulumbu serta akses masuk ke titik pengeboran atau Wellpad D di Lingko Tanggong, yang juga menjadi bagian dari tanah ulayat Gendang Lungar.
Sementara Lingko Dering merupakan salah satu pintu masuk dari arah utara, Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai serta akses menuju Wellpad I di Lingko Sano Koe, yang juga menjadi bagian dari tanah ulayat Gendang Rebak.
Sekitar pukul 10.30 Wita, tiga mobil datang dari arah utara, yakni satu mobil Dinas Pertanahan dan dua lainnya yang ditumpangi pegawai PT PLN, tiba di Lingko Dering.
Melihat hal itu, warga yang melakukan aksi “jaga kampung” di Lingko Dering berhamburan ke jalan dan menghentikan mobil yang ditumpangi pegawai PT PLN dan pemerintah.
Beberapa warga berinisiatif berjalan menuju mobil untuk menanyakan tujuan kedatangan mereka.
Tadeus Sukardin, salah satu warga Gendang Lungar berkata, “kalian mau ke mana dan apa tujuannya datang ke Poco Leok?”
Salah satu pegawai Dinas Pertanahan menjawab, “kami mau menemui kepala desa.”
Merespons jawaban itu, Tadeus berkata, “boleh menemui kepala desa, tetapi tidak boleh ke lokasi,” merujuk pada Lingko Meter dan Dering.
Pegawai itu tidak menggubris Tadeus, lalu “masuk ke dalam mobil dan balik lagi ke arah menuju Ruteng.”
Warga menduga mereka langsung balik ke Ruteng, tetapi “ternyata mereka putar arah dan masuk ke Poco Leok dari arah Ulumbu.”
Salah satu pemuda yang datang dari kedua lingko itu memberitahu warga bahwa “PT PLN dan pemerintah dikawal ketat ratusan aparat keamanan gabungan polisi, TNI, dan Polisi Pamong Praja.”
Mendengar informasi itu, warga yang melakukan aksi di Lingko Dering langsung bergegas menuju Lingko Meter menggunakan sepeda motor dan dua mobil pikap.
Mereka bergabung bersama warga lainnya untuk melakukan aksi “jaga kampung” di lingko itu.
Di hadapan pemerintah, PT PLN dan aparat keamanan, ibu-ibu Poco Leok melayangkan protes dan menyanyikan yel-yel “tolak geotermal.” Beberapa di antaranya juga menabuh gong dan gendang.
Sementara itu, pemuda memegang dan merentangkan spanduk yang dibuat dari karung bekas, bertuliskan “Kami Tolak Geotermal Poco Leok.”
Sekitar pukul 12.40 Wita, warga juga membuat ritual adat meminta restu leluhur dalam perjuangan menolak proyek.
Dalam ritual itu, Joniardus Junar, salah satu tetua adat Gendang Tere dipercayakan melantunkan doa secara adat [torok], didampingi oleh perwakilan sembilan tetua adat dari gendang lainnya.
Selama melantunkan torok, mereka mengarahkan muka ke Golo Mompong, yang merupakan tempat tinggal pertama nenek moyang warga Poco Leok.
Usai ritual itu, warga kemudian makan siang bersama. Sebagian ibu-ibu yang belum makan tetap menyanyikan yel-yel “tolak geotermal,” sambil menabuh gong dan gendang.
Sekitar pukul 13.30 Wita, sementara warga sedang makan, tiba-tiba hujan turun.
Beberapa pemuda pun langsung bergegas mengambil dua buah terpal di Kampung Tere, yang berada di dekat Lingko Meter, untuk membangun tenda darurat guna melindungi warga dari hujan deras.
Lantaran tenda itu tidak bisa memuat semua warga, sebagian ibu terpaksa berdiri di luar hingga basah kuyup.
Paulina Ganus, salah satu perempuan dari Gendang Mocok berkata, “biar basah seperti ini, kami tidak akan menyerah.”
“Walaupun kalian [pemerintah dan PT PLN] datang terus ke sini, kami tidak takut. Kami menjaga tanah adat kami. Kami tidak mau tanah kami rusak oleh geotermal,” katanya.
Grilya TNI di Tengah Hujan
Di tengah situasi itu, pemerintah dan PT PLN membuat skenario baru di mana mereka memanfaatkan belasan anggota TNI untuk “membawa sekaligus memasang patok” pada akses jalan menuju Wellpad D.
Aparat itu masuk ke lokasi itu tanpa melawati jalan yang sering dilalui warga, dengan membuat jalan tikus.
Warga mengetahui hal itu karena mendengar suara orang yang sedang berjalan menuju Wellpad D.
Merespons hal itu, warga Gendang Lungar yang memiliki kewenangan atas tanah ulayat Lingko Meter dan Tanggong langsung menyusuri sumber suara itu.
Sementara itu, sebagian besar warga menunggu mereka di Lingko Meter.
Dipandu Frans Dambur, seorang anggota Bintara Pembina Desa Lungar, anggota TNI membawa besi sepanjang kurang lebih 50 sentimeter untuk memasang patok di jalan menuju Wellpad D.
Yuven Heman dan beberapa warga Gendang Lungar lainnya bertanya kepada anggota TNI tersebut, “siapa yang suruh kalian ukur di sini? Apakah ini tanah kalian?”
Salah satu anggota TNI itu menjawab, “bukan kami punya tanah.”
Merespons jawaban itu, Herman berkata, “kalau bukan kalian punya tanah, silakan pulang.”
Setelah dicecar warga, akhirnya para anggota TNI itu “tidak melanjutkan kegiatannya” dan ke Lingko Meter.
Warga kemudian mencabut besi itu serta membawa dan menyimpannya di rumah adat Gendang Lungar.
Ponsianus Noggol, salah satu warga Gendang Tere berkata, “apapun skenario yang dibuat oleh PLN untuk meloloskan proyek ini, kami pasti mengetahuinya.”
“Kami yakin dan percaya setiap kali perusahan datang ke Poco Leok, nenek moyang kami yang selalu memberitahukannya kepada kami,” katanya.
Sekitar pukul 15.30 Wita, pemerintah dan PT PLN yang dikawal ketat aparat keamanan pulang ke Ruteng melalui Ulumbu.
Pemerintah dan PT PLN juga berencana melanjutkan “identifikasi dan pendataan awal lokasi rencana pemgembangan PLTP Ulumbu unit 5-6 lokasi access road ke Wellpad I dan Wellpad D” pada 2 dan 3 Oktober.
Aksi warga ini merupakan rangkaian dari upaya penolakan mereka terhadap proyek geotermal bagian dari proyek strategis nasional di Flores, perluasan PLTP Ulumbu yang sebelumnya telah beroperasi sejak 2011. PLTP Ulumbu berada sekitar tiga kilometer arah barat Poco Leok.
Proyek PLTP Ulumbu Unit 5-6 tersebut, yang masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030 menargetkan energi listrik 2×20 Megawatt, meningkat dari 10 Megawatt yang dihasilkan saat ini.
Berbagai cara telah dilakukan warga dari belasan kampung adat di Poco Leok untuk menyatakan penolakan, termasuk menyurati Bank Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] dari Jerman yang mendanai proyek tersebut.
Pada 3 September, dua orang anggota tim independen yang dibentuk Bank KfW mengunjungi Poco Leok dan beraudiensi dengan warga.
Laporan ini dikerjakan Floresa berkolaborasi dengan Komunitas Pemuda Poco Leok
Editor: Herry Kabut dan Ryan Dagur