Dinilai Kriminalisasi Pemuda Poco Leok dalam Proses Hukum Kasus Kerusakan Pagar Kantor Bupati, Polres Manggarai Diadukan ke Komnas HAM 

Koalisi Advokasi Poco Leok menyampaikan pengaduan pada 25 Maret

Floresa.co – Koalisi Advokasi Poco Leok mengadukan Polres Manggarai ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia [Komnas HAM] di Jakarta terkait dugaan kriminalisasi dalam proses hukum terhadap Pemuda Poco Leok karena insiden kerusakan pagar kantor bupati saat unjuk rasa menolak proyek geotermal.

Pengaduan itu disampaikan pada 25 Maret, menurut keterangan pers koalisi yang diterima Floresa.

Judianto Simanjuntak, kuasa hukum Pemuda Adat Poco Leok yang ikut bergabung dalam koalisi itu berkata, penanganan kasus kerusakan pagar ini oleh polisi adalah “keliru dan menyesatkan.”

“Tidak ada indikasi dugaan tindak pidana pengrusakan,” katanya, merujuk pada pasal 170 ayat [1] KUHP Sub Pasal 406 KUHP Pasal 55 ayat [1] ke-1 KUHP yang dipakai polisi.

Fakta yang sebenarnya, jelas dia, “adalah terjadi saling dorong gerbang kantor Bupati Manggarai” yang juga melibatkan polisi dan Satpol PP.

“Akibatnya, gerbang kantor bupati tersebut jatuh ke arah massa aksi, bahkan hampir mengenai mereka,” katanya.

Ia juga menekankan bahwa unjuk rasa warga menolak proyek geotermal Poco Leok “merupakan hak atas kebebasan mengeluarkan dan menyampaikan pendapat di muka umum.”

Hak itu, katanya, dijamin dalam UUD 1945, Undang-Undang HAM Nomor 39 Tahun 1999, dan instrumen hukum lainnya.

“Aksi tersebut merupakan upaya mempertahankan wilayah adat yang dijamin dalam instrumen hukum nasional dan hukum internasional, yang mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat,” kata Judianto.

Pemuda Poco Leok melakukan aksi unjuk rasa di Ruteng pada 3 Maret, yang menyasar kantor DPRD dan Bupati Manggarai.

Di kantor bupati, mereka meminta Bupati Herybertus GL Nabit mencabut Surat Keputusan Penetapan Lokasi proyek itu yang dikeluarkan pada Desember 2022.

Kerusakan pagar terjadi setelah audiensi dengan Nabit, di mana dia menolak tuntutan warga.

Pada hari yang sama, Pemerintah Kabupaten Manggarai melapor ke polisi, yang direspons cepat dengan pemasangan garis polisi di lokasi dan pemanggilan warga koordinator aksi beberapa hari kemudian.

Empat pemuda telah diminta keterangannya oleh polisi sebagai saksi kasus itu, dua orang koordinator aksi pada 17 Maret dan dua lainnya pada 24 Maret. 

Yulianto Behar Nggali Mara, staf Divisi Hukum dan Advokasi Kebijakan Jaringan Advokasi Tambang menyatakan, pemanggilan terhadap pemuda Poco Leok “merupakan kriminalisasi.”

Ia menjelaskan, kriminalisasi itu juga terjadi sebelumnya ketika pada 2023 beberapa warga dipanggil karena melakukan pengadangan terhadap perwakilan perusahaan dan pemerintah.

“Kriminalisasi berulang menunjukkan Polres Manggarai tidak memahami posisinya sebagai penegak hukum yang seharusnya memberikan perlindungan dan pengayoman kepada warga negara sebagaimana mandat Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002,” katanya.

Sementara itu, Ermelina Singereta, kuasa hukum lainnya menyatakan “sangat menyayangkan dan menyesalkan” upaya Polres Manggarai menindaklanjuti laporan.

“Ini menunjukkan ketidakpekaan Polres Manggarai atas perjuangan masyarakat adat Poco Leok, khususnya kaum perempuan dalam rangka mempertahankan wilayah adatnya, yang selain merupakan sumber mata pencaharian juga merupakan identitas dan budaya mereka,” katanya.

Ermelina berkata, pengaduan ke Komnas HAM dalam rangka permohonan agar lembaga negara itu menjalankan mandat memberikan perlindungan HAM kepada Pemuda Adat Poco Leok.

Dalam pengaduan ini, katanya, mereka memohon kepada Komnas HAM “meminta keterangan Polres Manggarai terkait dengan kriminalisasi kepada Pemuda Adat Poco Leok.”

Selain itu adalah menerbitkan surat perlindungan hukum kepada kepada Pemuda Adat Poco Leok sebagai pejuang HAM yang layak mendapatkan perlindungan hukum.

Mereka juga meminta Komnas HAM memberikan rekomendasi kepada Kapolri, Kapolda NTT dan Kapolres Manggarai agar menghentikan proses hukum.

Judianto Simanjuntak berkata, mereka diterima oleh bagian pengaduan Komnas HAM, yang berjanji akan menindaklanjutinya.

Ini bukan merupakan pengaduan pertama ke Komnas HAM terkait polemik proyek geotermal Poco Leok.

Warga Poco Leok, dibantu koalisi, telah menyampaikan pengaduan ke Komnas HAM pada 20 Oktober 2023.

Dalam pengaduan itu mereka menyebut Polres Manggarai telah melakukan “intimidasi dan kriminalisasi” terhadap warga yang sedang mempertahankan tanah mereka.

Selain itu, Jaringan Advokasi Tambang melayangkan pengaduan pada 10 Agustus 2023, sementara lembaga Gereja Katolik JPIC SVD Ruteng melayangkan surat pengaduannya pada 29 Agustus 2023.

Sebagai tindak lanjut, pada akhir Oktober 2023 Komnas HAM melayangkan surat permintaan klarifikasi kepada sejumlah pihak, yakni PT Perusahaan Listrik Negara atau PT PLN, Badan Pertanahan Nasional dan Gubernur NTT. 

Pada 3 Maret tahun lalu, Komnas HAM juga telah berkunjung ke Poco Leok.

Dalam laporan bertajuk “Dampak Proyek Strategis Nasional terhadap Hak Asasi Manusia” itu yang dirilis awal Desember tahun lalu, Komnas HAM ikut menyoroti polemik proyek ini. Laporan itu terkait sejumlah masalah-masalah yang muncul dalam implementasi Proyek Strategis Nasional [PSN] di seluruh Indonesia.

Menurut Komnas HAM, selain khawatir dengan potensi kerusakan lingkungan, warga Poco Leok juga melaporkan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan yang dimobilisasi oleh pemerintah daerah dan PT PLN.

“Dalam keterangannya kepada Komnas HAM, pengadu menyampaikan berbagai tindakan represif dan kekerasan berupa dikeroyok, diinjak, dan dijatuhkan hingga ke selokan. Selain itu, dua perempuan diduga mengalami pelecehan seksual oleh anggota Polres Manggarai,” tulis Komnas HAM dalam laporan itu.

Komnas HAM juga mengaku mendapat laporan soal jurnalis yang meliput aksi warga pada 2 Oktober yang juga menjadi korban kekerasan aparat kepolisian.

Insiden itu terkait kekerasan oleh Polres Manggarai yang menangkap warga dan Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut saat meliput aksi protes warga. Kasus ini kemudian berujung pada putusan adanya pelanggaran etik oleh anggota Polres Manggarai, Aipda Hendrikus Hanu.

Proyek geotermal Poco Leok merupakan perluasan dari Pembangkit Listrik Panas Bumi Ulumbu, dengan target penambahan kapasitas 2×20 Megawatt.

Warga telah menempuh berbagai cara untuk menyatakan penolakan karena titik-titik pengeboran yang dekat dengan pemukiman dan lahan mereka.

Mereka telah bersurat kepada lembaga-lembaga negara dan kepada Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] sebagai pendana proyek. 

Tim Independen yang diutus Bank KfW juga telah melaporkan temuan lapangannya terkait proyek tersebut. 

Menurut tim tersebut, proyek ini tidak memenuhi standar-standar sosial internasional, termasuk menghormati hak dan budaya, menghindari dampak buruk pada masyarakat adat dan persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan.

Karena itu, tim tersebut merekomendasikan penghentian sementara proyek tersebut.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA