ReportasePeristiwaKritik Proyek Geotermal Poco Leok yang Abaikan Partisipasi, Menteri HAM Sebut Keputusan Bupati Tak Bisa Dianggap Persetujuan Warga Adat

Kritik Proyek Geotermal Poco Leok yang Abaikan Partisipasi, Menteri HAM Sebut Keputusan Bupati Tak Bisa Dianggap Persetujuan Warga Adat

“Kalau hanya bertemu camat dan bupati lalu itu dianggap sebagai persetujuan warga, tidak bisa. Itu menentang prinsip partisipasi,” kata Natalius Pigai

Floresa.co – Menteri Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Natalius Pigai, menyoroti pelanggaran terkait prinsip partisipasi warga dalam proyek geotermal di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang menuai gelombang penolakan dari masyarakat adat.

“Kalau hanya bertemu camat dan bupati lalu itu dianggap sebagai persetujuan warga, tidak bisa. Itu menentang prinsip partisipasi yang mana dalam HAM partisipasi itu adalah sangat penting dan nomor satu,” kata Pigai dalam sebuah kuliah umum bertajuk “Pembangunan HAM di Indonesia,” yang digelar di Universitas Katolik Indonesia (Unika) Santu Paulus Ruteng pada 21 Mei.

“Ada delapan prinsip yang wajib dipenuhi oleh setiap investor agar tidak melanggar hak-hak dasar manusia dalam pelaksanaan investasi,” katanya menjawab pertanyaan Ayentoinia Indra Kurnia, mahasiswa D3 Kebidanan Unika Santu Paulus Ruteng, yang menyinggung konflik sosial akibat polemik proyek geotermal di Poco Leok.

Salah satu prinsip yang ia kemukakan adalah Right to Know atau hak masyarakat untuk mengetahui dan terlibat sejak awal dalam proyek yang menyangkut wilayah mereka. 

Prinsip ini menurutnya menjadi menjadi penting dari “keterbukaan informasi yang menjadi salah satu aspek penting untuk dipenuhi oleh investor maupun pemerintah.

Lebih lanjut, Pigai menekankan bahwa investasi di wilayah adat tak boleh merusak nilai budaya dan lingkungan hidup. Ia menyinggung pentingnya menjaga warisan budaya seperti compang daring, gendang one, dan lingko peang—yang menjadi identitas masyarakat Manggarai.

“Kalau perusahaan datang, bukan untuk menggantikan usaha-usaha lokal yang sudah eksis. Mereka harus memperkuat ekonomi yang sudah ada secara turun-temurun,” katanya.

Pigai juga menegaskan bahwa investasi seharusnya membawa manfaat konkret bagi masyarakat, termasuk peningkatan mutu pendidikan, layanan kesehatan, dan pendapatan ekonomi warga.

Sejumlah Soal Versi Warga dan Gereja 

Pemerintah telah menetapkan Flores sebagai Pulau Geotermal pada 2017, dengan 21 titik yang tersebar di sepanjang pulau hingga Lembata di sebelah timur.

Proyek-proyek ini memicu perlawanan dari warga setempat, selain karena dekat dengan pemukiman dan lahan mereka, juga setelah melihat sejumlah persoalan lingkungan yang mencuat.

Gerakan penolakan telah muncul di berbagai lokasi, seperti di Poco Leok, Wae Sano, Mataloko, Sokoria hingga Atadei.

Berbeda dari klaim perwakilan perusahaan yang disampaikan dalam pertemuan pada 9 April, warga dan elemen lain seperti Gereja Katolik menyatakan ada sejumlah masalah lingkungan yang muncul di setiap lokasi proyek.

Salah satu yang terus menjadi sorotan adalah proyek di Mataloko yang gagal berulang sejak mulai dikerjakan pada lebih dari dua dekade lalu dan kini terus memunculkan lubang semburan lumpur di lokasi sekitar.

Sejumlah soal ini mendorong Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden menyatakan penolakan terbuka pada Januari, yang ia sebut setelah “mendengar berbagai kesaksian dari sejumlah orang di Sokoria dan Mataloko serta usai berdiskusi dengan sejumlah imam.”

Ia juga mendorong resistensi umat dan masyarakat dengan memberikan perhatian dan informasi, baik yang “ilmiah maupun (mendengarkan) kesaksian dari orang-orang di Sokoria dan Mataloko.”

Suara penolakan kemudian disampaikan enam uskup di Provinsi Gerejawi Ende dalam pernyataan bersama pada bulan lalu. Selain Uskup Budi, lima uskup lain yang meneken surat itu adalah Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung; Uskup Maumere, Mgr. Martinus Ewaldus Sedu; Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat; Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus dan Uskup Denpasar, Mgr. Silvester San.

Dalam surat itu, para uskup menyatakan, “eksploitasi sumber daya alam, termasuk energi geotermal di Flores dan Lembata, menimbulkan pertanyaan: Apakah kita membangun masa depan yang lebih baik atau justru merusaknya?”

Para uskup menilai Flores dan pulau-pulau kecil lainnya memiliki ekosistem yang rapuh dan berisiko besar, sehingga eksploitasi yang tidak bijaksana, termasuk proyek geotermal berdampak pada lingkungan, ketahanan pangan, keseimbangan sosial dan keberlanjutan kebudayaan.

Selain itu mereka menilai proyek geotermal di kawasan itu bertentangan dengan arah utama pembangunan “yang menjadikan wilayah ini sebagai daerah pariwisata, pertanian, perkebunan, peternakan unggulan serta pertanian dan kelautan.”

Sementara itu, dalam sebuah surat yang dikirim kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 9 Maret, Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (Justice, Peace and Integrity of Creation, JPIC) SVD Provinsi Ende, juga mengungkap sejumlah persoalan dalam proyek geotermal, khususnya di Mataloko dan Sokoria.

JPIC-SVD Ende mencatat “sosialisasi terkait dampak proyek-proyek ini sangat tidak memadai,” menyalahi prinsip “masyarakat sebagai pemangku hak”  yang harus menjadi subjek pertama yang menikmati hasil proyek.

Untuk proyek geotermal Mataloko, tulis mereka, sosialisasi “tidak cukup untuk membuat mereka mengerti dan menentukan sikap.” 

“Artinya, ada pengabaian hak masyarakat atas kebebasan, didahulukan dan diinformasikan (right to free, prior and informed concent).”

Hal yang sama, kata mereka, terjadi dengan proyek geotermal di Sokoria, di mana “sosialisasi awal tidak melibatkan masyarakat secara umum, melainkan hanya memilih orang-orang tertentu seperti mosalaki dan pemilik tanah, dengan janji bahwa masa kontrak antara PT SGI dan mosalaki adalah 30 tahun.”

Dalam perjalanan, menurut lembaga itu, “PT SGI justru menggunakan tentara untuk mengintimidasi para mosalaki agar menghibahkan tanah itu kepada perusahaan.”

“Pada 13 Oktober 2020, empat mosalaki dijemput paksa secara terpisah, masing-masing satu mobil dengan kawalan tentara ke Ende. Setibanya di Kodim 1602 Ende, masing-masing mosalaki diinterogasi secara terpisah dan harus melewati tiga ruangan yang berbeda,” tulis JPIC-SVD Ende.

“Dengan cara ini, para mosalaki ditekan untuk segera menandatangani surat persetujuan hibah tanah kepada PT SGI tanpa membaca isi surat tersebut. Masing-masing mereka ditipu bahwa mosalaki lain sudah menandatangani surat tersebut.”

Pengalaman hampir sama, kata JPIC-SVD Ende, disampaikan oleh masyarakat di Dusun Kopoone, Desa Sokoria Selatan.

“Menurut mereka, sosialisasi awal dan seluruh rencana kegiatan PT SGI tidak melibatkan semua masyarakat, tetapi hanya melibatkan orang-orang tertentu. Hal ini cukup mengecewakan karena dampak-dampak negatif kemudian dialami oleh banyak orang.”

Informasi-informasi ini, kata JPIC-SVD “sekali lagi menggambarkan bahwa masyarakat sebagai pemangku hak cenderung diabaikan oleh perusahaan dan para pihak yang berkewajiban memberikan informasi yang lengkap dan benar sejak awal agar mereka membuat keputusan secara sadar dan bebas.”

JPIC-SVD Ende juga mencatat bahwa sekitar tahun 2018 masyarakat melakukan protes kepada PT SGI karena mata air Lowo Tonggo tercemar akibat air limbah yang dibiarkan mengalir dari Well Pad A. Mata air itu dipakai oleh masyarakat Dusun Kopo One di Desa Sokoria Selatan dan Dusun Detu Boti di Desa Sokoria.

“Akibatnya mata air Lowo Tonggo tidak bisa lagi dimanfaatkan sebagai sumber air minum bersih dan sehat.”

Warga sempat membuat pengaduan ke PT SGI yang menghasilkan nota kesepakatan dengan perusahaan. Salah satu poinnya adalah PT SGI menginstalasi pipa air dari mata air Wolo Koro dan selama prosesnya belum selesai, perusahaan menyediakan air bersih bagi masyarakat selama tiga bulan.

“Namun, instalasi pipa air sampai sekarang tidak diselesaikan dan air bersih hanya disediakan PT SGI selama satu setengah bulan,” tulis lembaga tersebut.

Dari temuan lapangan tersebut, menurut JPIC-SVD, proyek di Mataloko dan Sokoria telah menyalahi prinsip-prinsip HAM.

Kedua perusahaan, kata lembaga itu, melakukan pelanggaran terhadap hak hidup, hak atas kesehatan, hak atas air dan sanitasi, hak atas makanan, hak atas tanah dan hak kontrol atas sumber-sumber daya produktif, hak atas pekerjaan, hak penentuan nasib sendiri atau hak budaya masyarakat.

Laporan Floresa pada Desember 2023 juga mengungkap cerita kegetiran warga di sekitar lokasi proyek Mataloko, yang telah merasakan dampak, seperti rusaknya lahan pertanian, keroposnya atap rumah dan munculnya penyakit. Dampak lainnya adalah rasa takut munculnya lubang-lubang semburan lumpur bercampur uap panas di pemukiman mereka.

Sementara di Sokoria, laporan Floresa pada Desember 2023, mengungkap  sejumlah dugaan praktik manipulatif perusahaan ini, termasuk soal pelibatan tentara untuk memperdaya mosalaki agar menghibahkan lahan – sebagaimana yang disinggung dalam surat JPIC-SVD Ende.  

Laporan itu juga menyoroti dampak lingkungan, seperti hilangnya mata air dan ingkar janji perusahaan untuk menyediakan akses air bersih bagi warga.

Sementara di Ulumbu, dalam catatan Floresa, dalam salah satu sosialisasi proyek Poco Leok oleh PLN, warga di lingkar PLTP mempertanyakan sejumlah janji perusahaan dan pemerintah yang mereka sebut tidak pernah direalisasikan, mengklaim tidak mendapat manfaat yang signifikan.

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA