Floresa.co – Lembaga Gereja Katolik di Flores mengirim surat resmi kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM], Bahlil Lahadalia yang mengungkap sejumlah persoalan dalam proyek geotermal di Mataloko dan Sokoria.
Dalam surat itu yang dikirim pada 9 Maret, Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan [Justice, Peace and Integrity of Creation, JPIC] SVD Provinsi Ende juga meminta pencabutan izin geotermal di Mataloko dan Sokoria – yang masing-masing berlokasi di Kabupaten Ngada dan Ende.
JPIC-SVD menyatakan pelaksanaan proyek di dua wilayah tersebut melanggar Hak Asasi Manusia [HAM] warga sekitar.
Kesimpulan itu diperoleh setelah mengumpulkan sejumlah data “untuk mengukur entahkah dibangun secara baik dan benar sesuai prinsip-prinsip HAM.”
Alat ukur yang dipakai adalah Tes Litmus, yang memiliki empat prinsip, yakni tidak membahayakan (do no harm), mengentaskan akar kemiskinan, menghomati masyarakat sebagai pemangku hak (people as rights holder), dan keberlanjutan (sustainability).
Dalam surat tersebut yang juga ditujukan untuk Bupati Ngada dan Ende, mereka menyatakan telah terjadi pelanggaran pada setiap prinsip itu.
Sosialisasi Tidak Memadai, Libatkan Tentara untuk Mengintimidasi
JPIC-SVD Ende mencatat “sosialisasi terkait dampak proyek-proyek ini sangat tidak memadai,” menyalahi prinsip “masyarakat sebagai pemangku hak” yang harus menjadi subjek pertama yang menikmati hasil proyek.
Untuk proyek geotermal Mataloko, tulis mereka, survei awal oleh Direktorat Vulkanologi sudah dimulai pada 1984 dan pada 1997 kegiatan eksplorasi mulai berjalan.
Pada 2000, pemboran dua sumur pertama dilakukan, dilanjutkan dengan pemboran dua sumur berikutnya pada 2003, lalu dua sumur lain lagi pada 2005.
Namun, “sosialisasi pertama baru dibuat pada tahun 2000.”
“Sebagian warga setuju, yang akhirnya menjual tanah mereka dengan harga murah, cuma Rp35.000.000 untuk tanah seluas 1,5 hektare,” tulis JPIC-SVD Ende.
Sosialisasi lain dibuat pada 28 Mei 2021 di Bajawa oleh Pemda Ngada, dihadiri Camat Golewa, para kepala desa, tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda.
“Namun menurut warga, sosialisasi ini tidak cukup untuk membuat mereka mengerti dan menentukan sikap. Artinya, ada pengabaian hak masyarakat atas kebebasan, didahulukan dan diinformasikan (right to free, prior and informed concent).”
Hal yang sama, kata mereka, terjadi dengan proyek geotermal di Sokoria, yang dikerjakan oleh PT Sokoria Geothermal Indonesia [SGI].
Mereka mengutip Adi Gunawan selaku Official Manager perusahaan itu bahwa setiap tahap eksplorasi selalu didahului sosialisasi yang melibatkan pemerintah kabupaten, kecamatan dan desa. PT SGI juga mengklaim melibatkan tokoh adat, para pewaris tanah dan masyarakat.
JPIC SVD Ende juga mengutip HSE Coordinator PT SGI, Douglas Gregor Hutauruk yang mengatakan bahwa salah satu kelemahan mereka hanyalah kurangnya pemberitaan kegiatan perusahaan untuk publik melalui jaringan wartawan.
Padahal, menurut JPIC-SVD Ende, merujuk pada pengakuan warga di Dusun Kewole [meliputi 3 kampung – Kenaguka, Wololele dan Lele Dala], “sosialisasi awal tidak melibatkan masyarakat secara umum, melainkan hanya memilih orang-orang tertentu seperti mosalaki [tokoh adat] dan pemilik tanah, dengan janji bahwa masa kontrak antara PT SGI dan mosalaki adalah 30 tahun.”
Dalam perjalanan, “PT SGI justru menggunakan tentara untuk mengintimidasi para mosalaki agar menghibahkan tanah itu kepada perusahaan.”
“Pada 13 Oktober 2020, empat mosalaki dijemput paksa secara terpisah, masing-masing satu mobil dengan kawalan tentara ke Ende. Setibanya di Kodim 1602 Ende, masing-masing mosalaki diinterogasi secara terpisah dan harus melewati tiga ruangan yang berbeda,” tulis JPIC-SVD Ende.
“Dengan cara ini, para mosalaki ditekan untuk segera menandatangani surat persetujuan hibah tanah kepada PT SGI tanpa membaca isi surat tersebut. Masing-masing mereka ditipu bahwa mosalaki lain sudah menandatangani surat tersebut.”
Pengalaman hampir sama, kata JPIC-SVD Ende, disampaikan oleh masyarakat di Dusun Kopoone, Desa Sokoria Selatan.
“Menurut mereka, sosialisasi awal dan seluruh rencana kegiatan PT SGI tidak melibatkan semua masyarakat, tetapi hanya melibatkan orang-orang tertentu. Hal ini cukup mengecewakan karena dampak-dampak negatif kemudian dialami oleh banyak orang.”
Informasi-informasi ini, “sekali lagi menggambarkan bahwa masyarakat sebagai pemangku hak cenderung diabaikan oleh perusahaan dan para pihak yang berkewajiban memberikan informasi yang lengkap dan benar sejak awal agar mereka membuat keputusan secara sadar dan bebas.”
Dampak Buruk untuk Warga
Surat itu juga menyotori soal dokumen AMDAL kedua wilayah proyek.
“Dalam kasus proyek geotermal Mataloko, setelah sekian lama berjalan, AMDAL baru dikerjakan pada 2021, sementara di Sokoria AMDAL baru mulai dikerjakan pada 2022,” tulis JPIC-SVD Ende.
Lembaga itu menyinggung penjelasan David Adi Wicaksono, Site Environment Engineer, dan Douglas Gregor Hutauruk, HSE Coordinator, bahwa PT SGI tidak membuat AMDAL karena mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2012 yang tidak mewajibkan AMDAL untuk proyek geotermal dengan kapasitas energi di bawah 55 Megawatt. Peraturan itu hanya mewajibkan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup [UKL-UPL].
Perusahan itu, kata JPIC-SVD Ende, baru mengurus AMDAL setelah muncul PP Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup [PPLH], yang mewajibkan AMDAL untuk semua kegiatan geotermal, berapapun kapasitasnya.
“Sejak akhir tahun 2022 Amdal PT SGI mulai diproses,” tulis JPIC-SVD Ende.
Padahal, kata mereka, kedua proyek ini membawa sejumlah dampak negatif.
Lembaga itu merinci bahwa di Mataloko terjadi penurunan mutu kehidupan warga, yang terlihat antara lain pada gangguan kesehatan.
Selain itu adalah “menurunnya daya dukung lingkungan terhadap kehidupan yang bermartabat.”
JPIC-SVD Ende menyebut rusaknya rumah [terutama atap], lahan/kebun, hilangnya lahan garapan, rusaknya mutu air minum dan udara, menurun dan/atau tidak menghasilkannya tanaman penduduk, seperti kopi, cengkeh, alpukat, dan sayur.
“Selain itu adalah rusaknya tatanan komunal dan berkembangnya konflik sosial di tengah masyarakat,” tulis JPIC-SVD Ende.
“Dampak-dampak negatif ini bisa ditemukan bukan hanya di desa yang menjadi lokasi langsung instalasi geotermal, melainkan juga di satu desa dan dua kelurahan di sekitar proyek ini.”
Sementara di Sokoria, JPIC-SVD Ende mencatat bahwa sekitar tahun 2018 masyarakat melakukan protes kepada PT SGI karena mata air Lowo Tonggo tercemar akibat air limbah yang dibiarkan mengalir dari Well Pad A. Mata air itu dipakai oleh masyarakat Dusun Kopo One di Desa Sokoria Selatan dan Dusun Detu Boti di Desa Sokoria.
“Akibatnya mata air Lowo Tonggo tidak bisa lagi dimanfaatkan sebagai sumber air minum bersih dan sehat.”
Warga sempat membuat pengaduan ke PT SGI yang menghasilkan nota kesepakatan dengan perusahaan. Salah satu poinnya adalah PT SGI menginstalasi pipa air dari mata air Wolo Koro dan selama prosesnya belum selesai, perusahaan menyediakan air bersih bagi masyarakat selama tiga bulan.
“Namun, instalasi pipa air sampai sekarang tidak diselesaikan dan air bersih hanya disediakan PT SGI selama satu setengah bulan,” tulis lembaga tersebut.
JPIC-SVD Ende juga menyinggung soal masyarakat Sokoria yang hingga kini belum menikmati listrik dari proyek PT SGI.
Di sisi lain, lembaga gereja itu menyoroti soal konflik sosial antara para mosalaki, antara para mosalaki dan masyarakat, dan antarwarga.
Sementara itu, “pipa panas yang menghubungkan Wel Pad A dan Well Pad C melewati beberapa halaman rumah warga dan tidak dipasang pagar pengaman.”

Gagal Memenuhi Standar HAM
Dari temuan lapangan tersebut, menurut JPIC-SVD, proyek di Mataloko dan Sokoria telah menyalahi prinsip-prinsip HAM.
Kedua perusahaan, kata mereka, melakukan pelanggaran terhadap hak hidup, hak atas kesehatan, hak atas air dan sanitasi, hak atas makanan, hak atas tanah dan hak kontrol atas sumber-sumber daya produktif, hak atas pekerjaan, hak penentuan nasip sendiri atau hak budaya masyarakat.
Sementara itu, “sejauh ini perusahaan hanya memberikan ganti rugi tanah yang digunakan perusahaan, sedangkan ganti rugi kerusakaan yang dialami semua warga di sekitar lokasi proyek tidak diperhatikan.”
“Ganti rugi tersebut juga menjadi sumber konflik di masyarakat dan menghancurkan bukan saja sistem kepemilikan tanah komunal, melainkan juga sistem kekerabatan. Tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat sangat tidak memadai,” menurut JPIC-SVD Ende.
Dengan adanya perampasan lahan seperti di Sokoria, dan tidak adanya perjanjian ganti rugi atas dampak negatif salah-kelola yang dilakukan perusahaan, menurut lembaga itu, “masyarakat setempat dipermiskin dan dimarginalkan dari hak ekonomi serta hak atas kesejahteraan sosial yang berkelanjutan, baik untuk generasi sekarang maupun untuk generasi mendatang.”
“Selain itu, hancurnya tatanan sosial masyarakat adat dan munculnya konflik horizontal di antara mereka sendiri mengancam keutuhan, persatuan dan keberlanjutan entitas mereka sebagai masyarakat.”
Dalam kesimpulan surat itu, JPIC-SVD Ende menegaskan bahwa proyek-proyek ini telah gagal memenuhi stándar-stándar HAM, yang juga diatur dalam sejumlah instrumen HAM di Indonesia.
Instrumen itu di antaranya tercantum dalam Pasal 28 A-I UUD 1945, UU HAM No 39 tahun 1999, UU No 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi dan beberapa peraturan turunannya.
JPIC-SVD Ende pun menyatakan satu suara dengan Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD yang pada Januari lalu telah secara terbuka menolak proyek geotermal di wilayahny.
“Kami menolak dengan tegas proyek geotermal di Mataloko dan Sokoria dan mendesak pembatalan izin oleh Menteri ESDM.”
Sikap itu, kata mereka, bagian dari panggilan “untuk solider dengan orang miskin dan terpinggirkan karena Gereja harus mewartakan kabar baik kepada orang miskin.”
Tentang Proyek Geotermal Mataloko dan Sokoria
Proyek Mataloko dan Sokoria adalah bagian dari sejumlah proyek geotermal yang kian gencar dikerjakan di Flores pasca penetapannya sebagai Pulau Geotermal oleh Menteri ESDM pada 2017.
Proyek di Mataloko yang mulai dikerjakan pada 1998 mengalami kegagalan berulang, yang berujung kemunculan lumpur dan uap panas di kebun milik warga sejak 2006.
Pada 2020, PLTP Mataloko sempat beroperasi. Namun, hal itu tidak berlangsung lama, karena pada tahun berikutnya terjadi kerusakan pada sistem pembangkit.
Pada 2013 hingga 2015, PLTP kemudian kembali beroperasi, sebelum kemudian tidak berfungsi lagi karena uap berkapasitas 5 Megawatt tidak dapat menggerakkan turbin.
Setelah kegagalan itu, pada 2019, pengerjaannya dimulai kembali. Namun, target operasi dari proyek di lokasi yang menyimpan potensi panas bumi 60 Megawatt cadangan terduga tersebut dihentikan pada tahun berikutnya karena kembali memunculkan belerang
Kini proyek ini dikerjakan lagi PT PLN dan menargetkan energi listrik sebesar 2×10 Megawatt.
Dalam laman resmi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi energi [EBTKE] dijelaskan bahwa pengembangan PLTP Mataloko masuk dalam program 35 ribu Megawatt, bagian dari prioritas pemerintah dalam bidang infrastruktur kelistrikan”.
Tahap awal proyek di atas lahan seluas 210.700 meter persegi itu dikerjakan PT Cipta Bangun Nusantara [PT CBN] yang mendapatkan kontrak pengerjaan infrastruktur dari PT PLN. Lokasi pengeboran terdiri atas masing-masing satu titik di Desa Radabata dan Desa Dadawea, dan dua titik di Desa Ulubelu.
Laporan Floresa pada Desember 2023 mengungkap cerita kegetiran warga di sekitar lokasi tersebut, yang telah merasakan dampak, seperti rusaknya lahan pertanian, keroposnya atap rumah dan munculnya penyakit. Dampak lainnya adalah rasa takut munculnya lubang-lubang semburan lumpur bercampur uap panas di pemukiman mereka.
Pada Desember 2024, sebagaimana dilaporkan Floresa, muncul lagi semburan baru di lahan sekitar proyek Mataloko, yang membuat warga kian takut.
Sementara proyek di Sokoria sudah mulai beroperasi pada tahun 2022, meski target awalnya pada 2020.
Pembangunan PLTP Sokoria dimulai sejak 2010 oleh PT Bakrie Power Corp. Pada 2016, proyek tersebut kemudian diakuisisi oleh KS Orka Renewables Pte. Ltd, yang berbasis di Singapura, induk dari PT SGI.
KS Orka adalah juga pemilik 95 persen saham PT Sorik Marapi Geothermal Power [SMGP] di Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara yang memiliki rekam jejak beberapa kali mengalami kecelakaan karena kebocoran gas beracun H2S dan menelan korban nyawa.
PLTP Sokoria mulai dikembangkan sejak 2016, setahun setelah PT SGI mendapat izin dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk wilayah kerja panas bumi seluas 42.570 hektare. Perusahaan menggelontorkan dana 212,85 juta dolar Amerika Serikat untuk pengerjaanya, setara dengan sekitar Rp3,3 triliun.

Unit 1 PLTP Sokoria terealisasi pada Maret 2022 untuk energi berkapasitas 5 Megawatt dan unit 2 pada pada 28 Juli 2023, dengan kapasitas 3 Megawatt. Totalnya kini 8 Megawatt dari target 30 Megawatt. PT SGI mengklaim akan terus melakukan pengembangan PLTP Sokoria, dengan membangun unit 3. Target daya terpasang adalah 11 Megawatt.
Laporan investigasi yang dirilis Floresa pada Desember 2023 mengungkap sejumlah dugaan praktik manipulatif perusahaan ini, termasuk soal pelibatan tentara untuk memperdaya mosalaki agar menghibahkan lahan – sebagaimana yang disinggung dalam surat JPIC-SVD Ende. Laporan itu juga menyoroti soal dampak lingkungan, seperti hilangnya mata air, dan ingkar janji perusahaan untuk menyediakan akses air bersih bagi warga.
Dalam jawaban tertulis terhadap pertanyaan Floresa kala itu, Yan Tang, direktur utama PT SGI membantah semua cerita warga, mengklaim tidak ada masalah sejak proyek itu mulai digarap. Namun, ia tidak merespons semua pertanyaan, termasuk soal dugaan pelibatan tentara yang menekan mosalaki.
Editor: Ryan Dagur