ReportasePeristiwaPenolakan Geotermal Tiga Paroki di Nagekeo Berkaca pada Masalah di Lokasi Proyek Mataloko dan Sokoria

Penolakan Geotermal Tiga Paroki di Nagekeo Berkaca pada Masalah di Lokasi Proyek Mataloko dan Sokoria

Kalau setiap proyek dipaksakan dari atas, lantas apa fungsinya musyawarah perencanaan pembangunan dari desa hingga tingkat provinsi? kata seorang pastor

Floresa.co – Umat Katolik di Nagekeo yang kompak menolak rencana proyek geotermal menjadikan masalah di lokasi proyek Mataloko dan Sokoria sebagai salah satu alasan mereka.

Dua bulan terakhir, umat dari tiga paroki itu – Kristus Raja Jawakisa, Yesus Kerahiman Ilahi Aeramo dan St. Joane Babtista Wolosambi – yang tercakup dalam wilayah Kevikepan Mbay, Keuskupan Agung Ende melakukan deklarasi penolakan di wilayah masing-masing.

Rangkaian deklarasi itu merespons hasil survei Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menyebut terdapat tiga kelompok lokasi pemunculan manifestasi panas bumi di Nagekeo.

Ketiga lokasi tersebut berada di Desa Marapokot, Kecamatan Aesesa; Desa Renduteno, Kecamatan Aesesa Selatan dan Kampung Wisata Pajoreja di Desa Ululoga, Kecamatan Mauponggo.

Pastor Felix Bhaghi, SVD, Ketua Aliansi Terlibat Bersama Korban Geotermal Flores yang ikut memimpin aksi di Paroki Wolosambi meminta umat agar belajar dari pengalaman eksplorasi geotermal di Mataloko dan Sokoria yang dokumen Amdalnya tidak pernah disosialisasikan.

Kedua wilayah itu masing-masing tercakup dalam wilayah Kabupaten Ngada dan Ende.

Di Mataloko, kata Felix, setelah gagal berulang sejak 1998 terjadi pemboran di lokasi baru yang membuat lingkungan rusak.

Salah satu lubang lumpur dan uap panas yang menurut warga muncul baru-baru ini. Lubang ini terletak persis di dekat kebun yang ditanami jagung. Foto diambil tanggal 9 September 2023. (Dokumentasi Floresa)

Sementara di Sokoria, laporan Floresa pada 2023 mengungkap dampak pencemaran air hingga penurunan produktivitas tanaman warga sekitar.

Selain itu, proses pembebasan lahan proyek tersebut disebut sarat manipulasi karena para pemimpin adat atau Mosalaki diminta menandatangani dokumen, yang ternyata berisi pernyataan menghibahkan tanah kepada perusahaan.

Pastor Kamilius Ndona, CP dari Paroki Kristus Raja Jawakisa juga mengakui penolakan mereka berkaca pada pengalaman buruk di Mataloko dan Sokoria.

Ia berkata, pemboran yang tidak profesional di Mataloko mengakibatkan munculnya masalah baru.

“Sawah juga tidak bisa dikelola lagi karena air sudah tercemar. Bahkan air sudah tidak bisa diminum lagi oleh hewan dan manusia. Ini kerusakan ekologis yang terjadi,” katanya.

Ia menyebut klaim PT PLN yang menyatakan “semua hal itu terjadi karena fenomena alam” adalah “narasi bodoh dan tidak rasional.”

“Sejak zaman dahulu kala tidak pernah ada gejala seperti ini, aman-aman saja. Air panas keluar begitu saja, alami,” katanya.

Jadi, kata Kamilus, “ini bukan fenomena alam.”

Ia juga menyinggung pemboran yang memicu penurunan tanah di perkampungan sehingga rumah warga rusak, rumah adat dibongkar dan kampung dipindahkan ke tempat lain.

Ia merujuk pada bencana tanah bergerak di Kampung Adat Nua Olo, Desa Bowaru, Kecamatan Jerebu’u, Kabupaten Ngada yang dihuni oleh 16 kepala keluarga dan 92 jiwa. 

Sejak Februari, tanah di tengah kampung itu retak sehingga warga terpaksa mengungsi ke kampung tetangga, Malabowaru dan dua rumah adat telah dibongkar.

Warga menduga pengeboran geotermal untuk Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Nage di Kecamatan Jerebu’u yang dilakukan sejak 2021 menjadi pemicunya.

WKP Nage dengan kapasitas pengembangan 40 megawatt dari cadangan terduga 46 megawatt ekuivalen terletak di kawasan hutan yang memiliki luas 10.410 hektare. 

Kontradiksi Kebijakan

Bagi Pastor Kamilius, terdapat kontradiksi kebijakan karena pemerintah pusat terlebih dahulu sudah menetapkan Flores sebagai destinasi wisata alam.

“Jadi, ada kontradiksi besar antara Flores sebagai destinasi wisata alam dan Flores sebagai pulau geotermal,” katanya.

Ia pun meminta “pemerintah pusat jangan ngotot dan memaksakan kehendak menjadikan Flores sebagai pusat geotermal dan “mengobrak-abrik keindahan pulau ini.”

“Kami biarkan Flores menjadi destinasi wisata karena itu juga mendatangkan pendapatan bagi negara. Mengapa harus ngotot pakai geotermal?” katanya.

“Kalau setiap proyek dipaksakan dari atas, lantas apa fungsinya musyawarah perencanaan pembangunan dari desa hingga tingkat provinsi?” katanya 

Kamilius berkata, pembangunan mesti berdasarkan ide dan permohonan dari bawah, bukan ditetapkan dari atas seperti Proyek Strategis Nasional yang berbenturan dengan kepentingan masyarakat. 

Geotermal, kata dia, adalah proyek pembangunan yang menggunakan pendekatan top down.

“Kalau proyek tersebut tidak berdampak negatif bagi ekologi dan kemanusiaan, boleh-boleh saja seperti itu. Tetapi, geotermal sudah terbukti di mana-mana merusak alam, bahkan mengakibatkan kematian manusia,” katanya.

Kamilius mengaku heran dengan pemerintah yang tidak memanfaatkan sumber listrik dari matahari, angin dan arus laut, tetapi “ngotot menggunakan geotermal.” 

“Ada apa di balik ini? Apakah ada keuntungan dan materi lain yang bisa diambil dari situ? Ada penolakan tetapi pemerintah masih ngotot, ada apa di balik ini semua?” katanya.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA