ReportaseMendalamWarga Lembata Protes Kunjungan Tim Investigasi Geotermal yang Dibentuk Gubernur NTT

Warga Lembata Protes Kunjungan Tim Investigasi Geotermal yang Dibentuk Gubernur NTT

Warga menilai tim tersebut tidak independen karena terikat dengan kepentingan pemerintah dan perusahaan

Floresa.coWarga di Kabupaten Lembata menilai kunjungan tim investigasi proyek geotermal ke wilayah mereka mencederai rasa keadilan dan menambah beban psikologi mereka yang sedang berjuang mempertahankan tanah warisan leluhur.

Karena itu, warga Desa Atakore, Kecamatan Atadei tersebut melayangkan protes dengan mengirimkan surat ke Bupati Lembata, Petrus Kanisius Tuaq pada 22 Mei, sehari setelah kunjungan tim investigasi

Tim yang dibentuk oleh Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena itu diberi nama Satuan Tugas (Satgas) Penyelesaian Masalah Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Pulau Flores dan Lembata.

Tim itu terdiri dari utusan beberapa lembaga, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Pemerintah Provinsi NTT, PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Nusa Tenggara (UIP Nusra) dan Pemerintah Kabupaten Lembata.

Dalam kunjungannya, mereka meninjau lokasi titik pengeboran atau wellpad AT-1 di Desa Nubahaeraka dan wellpad AT-2 di Desa Atakore.

Surat itu ditandatangani tokoh adat dari beberapa suku — Wawin, Lejap, Koban dan Lewokoba — tokoh masyarakat, pemilik lahan, warga dan Ketua Forum Komunikasi Pemuda Atakore, Andreas Baha Lejap.

Di dalam surat yang salinannya diperoleh Floresa itu, warga menyebut “kehadiran tim satgas PLTP tanpa persetujuan warga memberi tekanan terselubung kepada pemilik lahan yang tidak bersedia melepaskan haknya.” 

Mereka berkata, kunjungan ini merupakan “bentuk pemaksaan yang melukai rasa keadilan dan menambah beban psikologis bagi warga yang mempertahankan tanah warisan leluhur kami.” 

Hingga saat ini, kata mereka, tidak pernah ada forum terbuka yang melibatkan seluruh warga yang terdampak secara langsung, khususnya di Desa Atakore. 

“Informasi disampaikan secara sepihak tanpa adanya proses musyawarah atau konsultasi yang adil dan inklusif,” kata mereka.

Mereka menilai minimnya sosialisasi dan partisipasi bermakna warga merupakan bentuk pengabaian terhadap prinsip demokrasi dan hak mereka untuk didengar. 

Karena itu, warga menyatakan “tetap menolak segala bentuk kegiatan aktivitas terkait pengembangan PLTP” di wilayah mereka.

Menurut mereka, Atakore merupakan wilayah yang berada di  pegunungan yang rentan terhadap bencana seperti longsor dan kekeringan. 

Karena itu, pengembangan PLTP berisiko mempercepat degradasi lingkungan, meningkatkan risiko bencana alam dan memicu gangguan ekosistem yang sudah rapuh.

“Kami sangat khawatir bahwa pembukaan lahan dan aktivitas pengeboran akan mengganggu keseimbangan alam yang telah dijaga secara turun-temurun,” kata mereka.

Saat ini, sumber air di Atakore dinilai sangat terbatas dan hanya berasal dari sumur bor yang sensitif terhadap perubahan lingkungan.

Apabila aktivitas proyek geotermal tetap dipaksakan, kata mereka, berpotensi mencemari atau mengeringkan sumber-sumber air tersebut yang berdampak langsung pada kesehatan dan ketahanan pangan.

Mereka juga berkata PLTP berpotensi melanggar hak, adat dan nilai kultural warga di sekitar lokasi proyek.

Mereka menegaskan titik pengeboran PLTP merupakan bagian dari tanah ulayat yang memiliki nilai spiritual, kultural dan historis yang tinggi bagi masyarakat. 

“Pembangunan tanpa persetujuan adat adalah bentuk pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat yang dilindungi oleh konstitusi dan berbagai peraturan perundangan nasional dan internasional,” kata mereka.

Klaim Sepihak Satgas

Ketua Forum Komunikasi Pemuda Atakore, Andreas Baha Lejap berkata, surat itu merupakan bagian dari protes terhadap klaim positif oleh tim satgas tentang proyek geotermal di Atadei. 

Dalam pertemuan di lopo atau rumah adat itu, kata dia, “mereka menyebut tempat pengeboran tidak mengganggu dapur alam karena letaknya jauh dari pemukiman warga.”

Dapur alam merujuk pada lokasi eksplorasi geotermal yang berada di dekat Kampung Watuwawer, sekitar 42 kilometer dari Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata. Warga setempat meyakini Ina Kar adalah sosok penjaga dapur alam.

Andre berkata, tim satgas juga mengklaim pembangunan PLTP Atadei akan membawa dampak positif, di antaranya mendatangkan Pendapatan Asli Daerah dan Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan untuk semua warga.

Tim satgas, kata dia, juga menjelaskan tentang standard operating procedure atau prosedur operasional standar perusahaan, ratio dampak negatif dan keberhasilan PLTP.

Namun, menurut Andre, “semua penjelasan itu tidak mendalam dan komplit” sehingga “kami tegas menolak.” 

“Kami menolak mendengarkan penjelasan itu karena memang bukan ruang sosialisasi untuk seluruh warga Atakore, apalagi pemilik ulayat tidak datang. Semua pemilik lahan yang menolak juga tidak hadir,” katanya kepada Floresa pada 23 Mei.

Dalam video yang diterima Floresa pada 22 Mei, salah satu anggota tim itu mengklaim “tim satgas hadir bukan untuk beraudiensi dengan masyarakat dan konsultasi.” 

“Kami tim uji petik, datang mengecek apa yang menjadi keluhan masyarakat,” kata utusan pemerintah provinsi itu. 

Ia mengklaim tim uji petik dibentuk atas rekomendasi Gubernur NTT, para bupati, JPIC-SVD dan para Uskup Bali-Nusra. 

Tim itu ditugaskan untuk meninjau ulang proyek geotermal yang memicu penolakan dari berbagai pihak.

“Kami mau datang untuk itu. Kami datang (juga) mau carikan solusi. Tapi, kalau kami datang tidak ada solusi, itu terserah bapa mama. Pemerintah punya niat baik untuk menyelesaikan masalah ini,” katanya.

Ia mengaku “memiliki keterbatasan ilmu tentang geotermal” sehingga “saya perlu dibantu oleh pakar untuk menjelaskan teknis tentang mekanisme pemboran.”

Andreas Baha Lejap menilai tim pakar dan tim investigasi itu “tidak independen” karena melibatkan perwakilan PT PLN UIP Nusra, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Lembata.

“Mereka menyebut tim independen, tapi yang dibawa pihak PLN UIP Nusra. Mereka klaim sertakan tim investigasi, tapi sosialisasi dampak positif PLTP, harga lahan oleh Kantor Jasa Penilai Publik, transisi energi, dan geotermal,” kata Andre.

Menurut Andre, tim investigasi seharusnya bertugas menyelidiki, mencatat, merekam fakta dan meninjau ulang dampak buruk proyek geotermal “agar warga tidak dibohongi.”

“Setahu saya, tim independen juga harus berdiri sendiri dan tidak terikat dengan kepentingan manapun,” katanya. 

Andre mengaku warga memilih pulang di sela-sela diskusi karena permohonan mereka membacakan poin-poin penolakan tidak dikabulkan oleh tim satgas dengan alasan “waktu terbatas.”

“Kami memilih berhenti berdiskusi menjelang penjelasan dari yang katanya tim teknis itu,” katanya.

Beberapa hari sebelum diskusi itu, kata Andre, “ada tim yang memasang pilar yang hingga ini belum tahu kejelasan dan maksudnya.”

“Saya menanyakan keberadaan pilar itu ke pihak PLN UIP Nusra, tapi mereka tidak membalas pesan Whatsapp,” kata Andre.

Pilar “ilegal” yang ditancapkan di perkebunan warga Desa Atakore beberapa hari sebelum kunjungan tim investigasi geotermal. (Dokumentasi Romo Firminus Doi Koban)

Polemik di Mana-Mana

Pembangunan proyek geotermal Atadei muncul dalam rencana  pemerintah pusat melalui Surat Direktur Jenderal Mineral, Batu Bara dan Panas Bumi Nomor 1580/06/DJB/2008.

Pada 30 Desember 2008, Kementerian ESDM lalu menetapkan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Atadei dalam Keputusan Nomor 2966/K/30/MEM/2008. 

Pengerjaan proyek itu terus digenjot menyusul langkah pemerintah yang berupaya memaksimalkan potensi geotermal di Flores hingga Lembata. 

Hal itu tampak dalam penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi pada 2017.

PT PLN telah mendapat izin prinsip dari Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur pada 27 November 2020, dengan luas lahan yang menjadi lokasi proyek 31.200 hektare.

Wilayah itu mencakup tiga desa di Kecamatan Atadei yaitu Desa Atakore, Desa Nubahaeraka dan Desa Ile Kimok.

Proyek ini menargetkan energi listrik dengan kapasitas 10 megawatt yang direncanakan mulai beroperasi pada 2027.

Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Pulau Flores, Lembata dan Alor memiliki potensi panas bumi 902 Megawatt atau 65% dari potensi panas bumi di NTT. Potensi tersebut tersebar di 16 titik.

Selain di Atadei, polemik geotermal juga mencuat di sejumlah lokasi di Flores.

Di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, warga terus melakukan perlawanan, dengan menolak ikut dalam pertemuan pada 21 Mei dengan Kreditanstalt für Wiederaufbau, bank asal Jerman yang mendanai proyek geotermal.

Dalam surat yang dikirimkan warga 10 gendang atau kampung adat kepada KfW dan PT PLN, mereka menyebut pertemuan itu adalah “siasat licik agar syarat administrasi pendanaan terpenuhi, agar kalian bisa mengklaim bahwa masyarakat telah ‘dilibatkan’ dan ‘didengar’.”

Polemik lainnya terjadi di Wae Sano, Manggarai Barat. Penolakan warga membuat Bank Dunia membatalkan pendanaan proyek itu, yang kini dialihkan ke pemerintah Indonesia.

Sementara di Mataloko, Kabupaten Ngada, proyek geotermal yang mulai dikerjakan pada 1998 berulang kali gagal, menyisakan berbagai lubang bekas pengeboran yang mengeluarkan lumpur panas dan merusak kebun-kebun warga.

Editor: Herry Kabut

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA