Gubernur NTT Bentuk Tim Investigasi Geotermal di Flores, Mulai Bekerja Usai Paskah dan Datangi Setiap Lokasi Proyek

Tim itu akan meninjau ulang sejumlah titik proyek yang memicu perlawanan warga dan Gereja Katolik

Floresa.co – Gubernur NTT, Melkiades Laka Lena, menyatakan akan membentuk tim investigasi khusus untuk meninjau ulang proyek geotermal yang memicu penolakan dari berbagai pihak, yang semuanya berlokasi di Pulau Flores. 

Melki menyatakan, pembentukan tim itu penting “supaya tidak saling klaim benar sendiri.”

Semua pihak yang terlibat, baik perusahaan, pemerintah, tokoh adat, tokoh agama, maupun ahli lingkungan-akan “turun langsung ke lapangan.”

Tim itu, kata dia, akan mulai bekerja usai Paskah pada 20 April, di mana mereka akan mendatangi setiap lokasi proyek.

Pernyataan Melki menjadi kesimpulan rapat koordinasi yang digelar pada 9 April di Kupang bersama perwakilan kepala daerah se-NTT.

Rapat itu berlangsung beberapa hari usai Melki menemui Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD.

Dalam pertemuan di Ende pada 4 April itu, Uskup Budi menyatakan sikap Gereja Katolik sudah jelas, yakni menolak proyek geotermal, seperti yang tercantum dalam surat pernyataan bersama para uskup se-Nusa Tenggara-Bali pada bulan lalu.

Pernyataan uskup itu membuat Melki menjanjikan menghentikan sementara seluruh proyek, lalu merencanakan pertemuan yang melibatkan semua pihak untuk melakukan evaluasi.

Floresa menyaksikan langsung rapat pada 9 April itu, yang juga dihadiri perwakilan perusahaan pelaksana proyek geotermal.

Selain PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mengerjakan sejumlah proyek geotermal seperti di Poco Leok Kabupaten Manggarai dan di Mataloko, Kabupaten Ngada, hadir juga PT Daya Mas Nage Geotermal yang memenangi lelang proyek baru di Nage, Kabupaten Ngada dan PT Sokoria Geothermal Indonesia, pelaksana proyek di Sokoria, Ende.

Melki dan wakilnya Johanis Asadoma memimpin rapat itu, dengan moderator Sekretaris Daerah NTT, Kosmas Damianus Lana.

Saat memulai rapat, Melki menyatakan, “pemerintah pada dasarnya menginginkan yang terbaik bagi masyarakat dalam setiap pelaksanaan proyek, termasuk proyek geotermal.”

Karena itu, ia meminta para bupati dan wakil bupati lebih aktif merespons berbagai persoalan yang muncul di tengah masyarakat.

“Perlu dipikirkan lagi soal isu ini yang memang sedang sensitif,” katanya.

Perusahaan Bantah Kerusakan Lingkungan

Eko Sulistyo, Manajer PLN Unit Induk Wilayah NTT yang hadir dalam rapat itu menekankan pentingnya proyek geotermal karena “kondisi kelistrikan di Flores yang saat ini masih sangat bergantung pada energi fosil, dengan porsi mencapai 85 persen dari total kapasitas daya sebesar 104,2 megawatt.”

Karena itu “diperlukan adanya pemanfaatan energi baru terbarukan yang baru sekitar 15 persen.”

Dengan beban puncak listrik yang sudah mencapai 99,14 megawatt, Eko menyebut kondisi ini cukup rawan, ”apalagi kebutuhan listrik di Flores diprediksi terus meningkat hingga 86 persen per tahun.”

Jika tidak ada penambahan sumber energi baru, ia memperkirakan pada 2026 “Flores bisa mengalami defisit listrik, yang berpotensi menyebabkan pemadaman bergilir.”

Selama ini, untuk memenuhi kebutuhan listrik, “Flores harus mendatangkan bahan bakar fosil dari luar.” 

Ia menyebut setiap tahun PLN mengimpor sekitar 186.000 ton batubara dan 92,6 juta liter solar.

Padahal, “biaya produksi listrik dari energi fosil sangat mahal, mencapai Rp1,2 triliun per tahun.” 

Biaya itu tidak bisa dipenuhi dari tarif dasar listrik yang “hanya Rp1.200 per kilowatt hour (kwh), jauh lebih rendah dari biaya produksi Rp2.656 per kwh.

Hal ini membuat pemerintah menutupi selisihnya lewat subsidi sekitar Rp790,3 miliar per tahun.

Karena itulah, kata Eko, pihaknya mendorong pemanfaatan potensi energi panas bumi di Flores yang potensinya mencapai 377 megawatt. 

Potensi itu tersebar di sejumlah titik. Di PLTP Ulumbu, Kabupaten Manggarai yang dikerjakan PT PLN, potensinya hingga 100 megawatt dan PLTP Mataloko, Ngada sekitar 65 megawatt.

Menanggapi kekhawatiran warga soal dampak proyek-proyek ini, Eko mengklaim “prosesnya menggunakan sistem siklus tertutup” di mana “uap air yang digunakan untuk memutar turbin akan didinginkan dan dikembalikan lagi ke dalam tanah.”

“Jadi, tidak benar kalau eksplorasi panas bumi membuat air di sekitar menjadi habis,” klaimnya.

Ia juga menyebut, sejak PLTP Ulumbu beroperasi pada 2012, pihaknya “belum pernah menemukan persoalan serius terkait kesehatan warga, lingkungan sekitar, maupun ketersediaan air.”

Selain itu, “keberadaan PLTP Ulumbu juga memberi kontribusi bagi daerah.” 

Setiap tahun, kata Eko, Kabupaten Manggarai menerima iuran operasi dan produksi sekitar Rp8 miliar. 

PLTP Ulumbu juga menyerap tenaga kerja lokal, di mana dari total 87 pekerja, 84 orang berasal dari NTT.

Ke depan, ia mengklaim pihaknya menambah kapasitas PLTP Ulumbu sebesar 2×20 megawatt lewat proyek perluasan di Poco Leok dan PLTP Mataloko menjadi 2×10 megawatt. 

Saat ini, “prosesnya masih dalam tahap pengurusan izin dan pembebasan lahan,” kata Eko.

Sementara itu, Adi Prasetyo dari PT Daya Mas Nage Geothermal yang memenangkan lelang pengelolaan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Nage di Kabupaten Ngada, mengklaim hingga saat ini belum melakukan aktivitas fisik. 

Pihaknya baru memenangi  lelang WKP Nage pada September 2024, menyusul izin dari pemerintah pada 6 Februari 2025.

“Kami masih dalam tahap awal,” kata Adi, “yang kami lakukan saat ini sebatas memproses semua perizinan yang diperlukan, seperti dokumen Amda-Analisis Mengenai Dampak Lingkunga- serta melakukan studi ulang dan survei di lokasi.”

Ia menyatakan, sejak pengeboran terakhir untuk eksplorasi oleh pemerintah pada 2021, “tidak ada lagi kegiatan apapun di WKP Nage.”

WKP Nage memiliki luas sekitar 10.410 hektare. Namun, Adi mengklaim, area yang akan digunakan hanya “sekitar 30 hektare atau sekitar 0,3 persen dari total luas WKP.”

Ia berkata, pihaknya akan memperkecil luas WKP tersebut menjadi sekitar 1.500 hektare, sementara sisanya “akan dikembalikan ke pemerintah.”

Terkait rencana ke depan, aktivitas fisik eksplorasi, seperti pengeboran, akan dilakukan sekitar Juni 2025, dengan target operasi dan penjualan listrik kepada PLN diproyeksikan dimulai pada 2028, dengan kapasitas maksimal mencapai 40 megawatt.

Saat pemaparan Adi, Gubernur Melki sempat menanyakan “apakah ada persoalan terkait sumur bor lama yang belum tertutup di area WKP Nage?”

Adi merespons bahwa kondisi di lapangan aman, mengklaim “sumur yang pernah dibor oleh pemerintah sudah ditutup semua.” 

Sementara itu perusahaan pengelola panas bumi di Sokoria, PT Sokoria Geotermal Indonesia (SGI), menyatakan operasinya sudah sesuai dengan aturan pemerintah dan tidak merusak lingkungan, termasuk tidak mencemari sumber air warga.

Kepala Teknis Panas Bumi SGI, Donimas Dito berkata, pengeboran di Sokoria dilakukan hingga kedalaman 2500-4000 meter di bawah tanah dan “tidak sampai mengganggu cadangan air tanah milik warga.”

Saat ini, kata dia, SGI telah menghasilkan listrik 8 megawatt dari dua unit pembangkit dengan luas lahan yang digunakan 5,46 hektare atau sekitar 0,01 persen dari total WKP 42.570 hektare.

Ia menambahkan, SGI menggunakan teknologi binary cycle power plant–sistem pembangkit listrik dengan dua jalur panas, satu bersuhu tinggi dan satu lebih rendah-, cocok dengan karakteristik panas bumi di Flores yang memiliki suhu dan tekanan rendah.

Soal kontribusi ke daerah, ia menyebut SGI sudah membayar pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sejak 2019, dengan total setoran mencapai Rp 26,7 miliar.

Menanggapi keluhan terkait proyek ini, Dito berkata, SGI sudah menjalankan semua prosedur, termasuk sosialisasi kepada warga sejak awal.

Sosialisasi juga sudah dilakukan pada 2023, dengan melibatkan perwakilan dari pemerintah provinsi, katanya.

Sementara terkait dokumen lingkungan, ia mengakui bahwa pada tahap awal pihaknya hanya menggunakan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan sesuai regulasi saat itu – merujuk pada pasal 34 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Namun, setelah terbitnya aturan baru pada 2021 yang mewajibkan penyusunan dokumen Amdal berdasarkan Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, kata dia, SGI langsung melakukan penyesuaian untuk pengembangan berikutnya.

Perihal informasi pencemaran sumber air yang muncul pada 2018, Dito menyebut hasil pemeriksaan Pemerintah Kabupaten Ende menunjukkan tidak ada bukti pencemaran dari aktivitas SGI.

Ia juga membantah tudingan bahwa pipa milik perusahaan yang melewati rumah warga tidak aman, mengklaim sudah ada pengaman berupa isolator dan telah mendapatkan izin resmi dari Bupati Ende.

Pipa panas PLTP Sokoria yang dipasang di bahu jalan dan sangat dekat dengan rumah warga. (Dokumentasi Floresa)

Ia juga menyebut SGI telah membantu warga menyediakan pipa air alternatif setelah ada keluhan soal sumber air, meski “bantuan itu tidak dikerjakan oleh warga sendiri.”

Menanggapi pertanyaan Melki soal adanya konflik sosial dengan tokoh adat atau mosalaki, Dito mengatakan, “sejauh ini tidak pernah terjadi aksi demonstrasi atau penolakan terbuka dari masyarakat.”

Ia mengklaim menjalin komunikasi dengan tokoh adat dan mempekerjakan sekitar 78 persen warga lokal di proyek ini.

Dito juga membantah tuduhan bahwa ganti rugi tanah oleh perusahaan tidak layak.

Kompensasi lahan oleh SGI, kata dia, mencapai Rp 115.000 per meter persegi, jauh lebih tinggi dibandingkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di lokasi itu yang hanya Rp 5.000 per meter persegi.

Perhatian Pada Klaim Berbeda

Dalam rapat itu, Melki menekankan pentingnya merespons pengakuan berbeda dari pihak lain, termasuk Gereja Katolik.

Ia menyebutkan bahwa perusahaan hanya berbicara secara teknis, sementara  persoalan utama yang muncul menyangkut “dinamika sosial di masyarakat, terutama penolakan dari tokoh adat dan tokoh agama.”

Karena itu, katanya, pembentukan tim investigasi bersama menjadi perlu “yang melibatkan semua pihak, baik yang mendukung maupun yang menolak proyek.”

Tim itu, katanya. “turun langsung ke lapangan mengidentifikasi masalah dan mencari solusi.”

“Bagi perusahaan yang proyeknya masih bermasalah, mungkin perlu kita catat satu per satu dan kita coba bereskan,” katanya.

Melki menambahkan, transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan pasti menimbulkan tantangan, “tapi kita harus pastikan prosesnya tidak merugikan masyarakat lokal.”

Bupati Manggarai, Herybertus G.L. Nabit yang hadir via Zoom dalam rapat menyambut rencana pembentukan tim ini.

“Kehadiran tim itu penting agar berbagai persoalan yang muncul di lapangan bisa dibicarakan dan dicarikan solusi bersama,” katanya.

Nabit mengklaim, di wilayah Manggarai tidak ada masalah teknis terkait pengeboran, namun kemungkinan ada persoalan lain yang juga perlu mendapat perhatian.

“Hal-hal teknis lainnya akan kami sampaikan ketika tim sudah dibentuk,” katanya. 

Sementara Bupati Lembata, Petrus Kanisius Tuaq menyampaikan perkembangan terbaru proyek di daerahnya di Atadei.

Ia berkata, proyek tersebut sudah sampai pada tahap eksplorasi dan pembebasan lahan, namun muncul penolakan dari sebagian warga.

Menurut Petrus, di salah satu lokasi eksplorasi, ada tiga warga yang menolak menyerahkan lahan, sementara di lokasi lain yang tidak terlalu jauh, proses pembebasan lahan belum dilakukan meskipun sosialisasi sudah berjalan.

“Pada prinsipnya kami menunggu berita dari gubernur. Kalau mau stop, kami ikuti. Kalau mau lanjutkan, kita akan lakukan,” katanya.

Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi juga ikut menyinggung proyek geotermal di Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang yang selama ini mendapat penolakan warga dan menjadi perhatian Gereja Katolik.

Ia bercerita pernah bertemu langsung dengan Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat  membahas proyek tersebut. 

Dalam pertemuan itu, katanya,  ia menegaskan bahwa “pemerintah tetap melanjutkan proyek, meski ada seruan penolakan dari pihak gereja.”

“‘Bapa uskup, kami tidak pusing dengan bapak punya surat gembala,’” ujar Endi menirukan pernyataannya kepada Siprianus.

Menurutnya, proyek itu tidak boleh terhambat, “apalagi jika penolakan lebih dipengaruhi oleh informasi yang tidak benar.”

Melki menyatakan, semua klaim berbeda itu akan diverifikasi oleh tim.

Ia berharap, setelah tim itu turun dan semua persoalan dicatat serta disepakati solusinya, tidak ada lagi pihak-pihak yang mempersoalkannya.

“Nanti setelah Paskah, kita kasih waktu seminggu untuk turun di setiap titik yang bermasalah. Setelah itu, kita putuskan secara proporsional, per kasus, per catatan, per solusi dan per rekomendasi,” ujarnya.

Ia menambahkan, selama proses investigasi masalah berlangsung, aktivitas proyek dihentikan sementara untuk meredam ketegangan di masyarakat.

“Setelah semua fakta di lapangan beres, kita jalan terus. Jangan ada lagi yang mundur-mundur ke belakang,” katanya.

Usai rapat pada 9 April 2025, Gubernur dan Wakil Gubernur NTT bersalaman dengan pimpinan perusahaanl. (Dokumentasi Floresa)

Sejumlah Soal versi Warga dan Gereja Katolik

Pemerintah telah menetapkan Flores sebagai Pulau Geotermal pada 2017, dengan 21 titik yang tersebar di sepanjang pulau hingga Lembata di sebelah timur.

Proyek-proyek ini memicu perlawanan dari warga setempat, selain karena dekat dengan pemukiman dan lahan mereka, juga setelah melihat sejumlah persoalan lingkungan yang mencuat.

Gerakan penolakan telah muncul di berbagai lokasi, seperti di Poco Leok, Wae Sano, Mataloko, Sokoria hingga Atadei.

Berbeda dari klaim perwakilan perusahaan yang disampaikan dalam pertemuan pada 9 April, warga dan elemen lain seperti Gereja Katolik menyatakan ada sejumlah masalah lingkungan yang muncul di setiap lokasi proyek.

Salah satu yang terus menjadi sorotan adalah proyek di Mataloko yang gagal berulang sejak mulai dikerjakan pada lebih dari dua dekade lalu dan kini terus memunculkan lubang semburan lumpur di lokasi sekitar.

Sejumlah soal ini mendorong Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden menyatakan penolakan terbuka pada Januari, yang ia sebut setelah “mendengar berbagai kesaksian dari sejumlah orang di Sokoria dan Mataloko serta usai berdiskusi dengan sejumlah imam.”

Ia juga mendorong resistensi umat dan masyarakat dengan memberikan perhatian dan informasi, baik yang “ilmiah maupun (mendengarkan) kesaksian dari orang-orang di Sokoria dan Mataloko.”

Suara penolakan kemudian disampaikan enam uskup di Provinsi Gerejawi Ende dalam pernyataan bersama pada bulan lalu. Selain Uskup Budi, lima uskup lain yang meneken surat itu adalah Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung; Uskup Maumere, Mgr. Martinus Ewaldus Sedu; Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat; Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus dan Uskup Denpasar, Mgr. Silvester San.

Dalam surat itu, para uskup menyatakan, “eksploitasi sumber daya alam, termasuk energi geotermal di Flores dan Lembata, menimbulkan pertanyaan: Apakah kita membangun masa depan yang lebih baik atau justru merusaknya?”

Para uskup menilai Flores dan pulau-pulau kecil lainnya memiliki ekosistem yang rapuh dan berisiko besar, sehingga eksploitasi yang tidak bijaksana, termasuk proyek geotermal berdampak pada lingkungan, ketahanan pangan, keseimbangan sosial dan keberlanjutan kebudayaan.

Selain itu mereka menilai proyek geotermal di kawasan itu bertentangan dengan arah utama pembangunan “yang menjadikan wilayah ini sebagai daerah pariwisata, pertanian, perkebunan, peternakan unggulan serta pertanian dan kelautan.”

Sementara itu, dalam sebuah surat yang dikirim kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 9 Maret, Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (Justice, Peace and Integrity of Creation, JPIC) SVD Provinsi Ende, juga mengungkap sejumlah persoalan dalam proyek geotermal, khususnya di Mataloko dan Sokoria.

Anak-anak Kampung Turetogo, Desa Wogo, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada berdiri di dekat sebuah lubang yang terus menyemburkan lumpur dan uap panas. Lubang yang berada di lahan warga itu muncul setelah kegagalan pengeboran PLTP Mataloko. Dulunya berupa sawah, lahan ini tidak lagi dimanfaatkan. (Dokumentasi Floresa)

JPIC-SVD Ende mencatat “sosialisasi terkait dampak proyek-proyek ini sangat tidak memadai,” menyalahi prinsip “masyarakat sebagai pemangku hak”  yang harus menjadi subjek pertama yang menikmati hasil proyek.

Untuk proyek geotermal Mataloko, tulis mereka, sosialisasi “tidak cukup untuk membuat mereka mengerti dan menentukan sikap.” 

“Artinya, ada pengabaian hak masyarakat atas kebebasan, didahulukan dan diinformasikan (right to free, prior and informed concent).”

Hal yang sama, kata mereka, terjadi dengan proyek geotermal di Sokoria, di mana “sosialisasi awal tidak melibatkan masyarakat secara umum, melainkan hanya memilih orang-orang tertentu seperti mosalaki dan pemilik tanah, dengan janji bahwa masa kontrak antara PT SGI dan mosalaki adalah 30 tahun.”

Dalam perjalanan, menurut lembaga itu, “PT SGI justru menggunakan tentara untuk mengintimidasi para mosalaki agar menghibahkan tanah itu kepada perusahaan.”

“Pada 13 Oktober 2020, empat mosalaki dijemput paksa secara terpisah, masing-masing satu mobil dengan kawalan tentara ke Ende. Setibanya di Kodim 1602 Ende, masing-masing mosalaki diinterogasi secara terpisah dan harus melewati tiga ruangan yang berbeda,” tulis JPIC-SVD Ende.

“Dengan cara ini, para mosalaki ditekan untuk segera menandatangani surat persetujuan hibah tanah kepada PT SGI tanpa membaca isi surat tersebut. Masing-masing mereka ditipu bahwa mosalaki lain sudah menandatangani surat tersebut.”

Pengalaman hampir sama, kata JPIC-SVD Ende, disampaikan oleh masyarakat di Dusun Kopoone, Desa Sokoria Selatan.

“Menurut mereka, sosialisasi awal dan seluruh rencana kegiatan PT SGI tidak melibatkan semua masyarakat, tetapi hanya melibatkan orang-orang tertentu. Hal ini cukup mengecewakan karena dampak-dampak negatif kemudian dialami oleh banyak orang.”

Informasi-informasi ini, kata JPIC-SVD “sekali lagi menggambarkan bahwa masyarakat sebagai pemangku hak cenderung diabaikan oleh perusahaan dan para pihak yang berkewajiban memberikan informasi yang lengkap dan benar sejak awal agar mereka membuat keputusan secara sadar dan bebas.”

JPIC-SVD Ende juga mencatat bahwa sekitar tahun 2018 masyarakat melakukan protes kepada PT SGI karena mata air Lowo Tonggo tercemar akibat air limbah yang dibiarkan mengalir dari Well Pad A. Mata air itu dipakai oleh masyarakat Dusun Kopo One di Desa Sokoria Selatan dan Dusun Detu Boti di Desa Sokoria.

“Akibatnya mata air Lowo Tonggo tidak bisa lagi dimanfaatkan sebagai sumber air minum bersih dan sehat.”

Warga sempat membuat pengaduan ke PT SGI yang menghasilkan nota kesepakatan dengan perusahaan. Salah satu poinnya adalah PT SGI menginstalasi pipa air dari mata air Wolo Koro dan selama prosesnya belum selesai, perusahaan menyediakan air bersih bagi masyarakat selama tiga bulan.

“Namun, instalasi pipa air sampai sekarang tidak diselesaikan dan air bersih hanya disediakan PT SGI selama satu setengah bulan,” tulis lembaga tersebut.

Dari temuan lapangan tersebut, menurut JPIC-SVD, proyek di Mataloko dan Sokoria telah menyalahi prinsip-prinsip HAM.

Kedua perusahaan, kata lembaga itu, melakukan pelanggaran terhadap hak hidup, hak atas kesehatan, hak atas air dan sanitasi, hak atas makanan, hak atas tanah dan hak kontrol atas sumber-sumber daya produktif, hak atas pekerjaan, hak penentuan nasib sendiri atau hak budaya masyarakat.

Laporan Floresa pada Desember 2023 juga mengungkap cerita kegetiran warga di sekitar lokasi proyek Mataloko, yang telah merasakan dampak, seperti rusaknya lahan pertanian, keroposnya atap rumah dan munculnya penyakit. Dampak lainnya adalah rasa takut munculnya lubang-lubang semburan lumpur bercampur uap panas di pemukiman mereka.

Sementara di Sokoria, laporan Floresa pada Desember 2023, mengungkap  sejumlah dugaan praktik manipulatif perusahaan ini, termasuk soal pelibatan tentara untuk memperdaya mosalaki agar menghibahkan lahan – sebagaimana yang disinggung dalam surat JPIC-SVD Ende.  

Laporan itu juga menyoroti dampak lingkungan, seperti hilangnya mata air dan ingkar janji perusahaan untuk menyediakan akses air bersih bagi warga.

Dalam jawaban tertulis terhadap pertanyaan Floresa kala itu, Yan Tang, direktur utama PT SGI membantah semua cerita warga, mengklaim tidak ada masalah sejak proyek itu mulai digarap. 

Namun, ia tidak merespons semua pertanyaan, termasuk soal dugaan pelibatan tentara yang menekan mosalaki.

Sementara di Ulumbu, dalam catatan Floresa, dalam salah satu sosialisasi proyek Poco Leok oleh PLN, warga di lingkar PLTP mempertanyakan sejumlah janji perusahaan dan pemerintah yang mereka sebut tidak pernah direalisasikan, mengklaim tidak mendapat manfaat yang signifikan.

Dalam sosialisasi pada 24 Juni 2024 itu, mereka menyebut realisasi sejumlah janji sejak tiga dekade lalu itu nol, termasuk soal penyerapan tenaga kerja dan janji memberi beasiswa terhadap warga.

Petrus Mada Ragat, warga Desa Wewo, berkata, ketika pertama kali disosialisasikan pada 1990, PT PLN mengklaim PLTP Ulumbu “akan membawa keberuntungan bagi warga.”

Pada 11 November 2011 ketika PLTP itu diresmikan, kata dia, Menteri Badan Usaha Milik Negara kala itu, Dahlan Iskan juga mempertegas klaim itu dengan berkata, “kehadiran geotermal akan mengurangi angka pengangguran di Desa Wewo.” 

“Tapi, buktinya, sekarang yang bekerja di sana adalah orang dari luar yang berasal dari Ende, Kupang, Bima, dan Jawa. Kami hanya jadi penonton,” katanya di hadapan pemerintah dan perwakilan PT PLN.

Petrus yang pernah menjabat Kepala Desa Wewo periode 2016-2022 mengaku juga pernah menyampaikan ke PLN agar “membantu anak-anak kami untuk mendapatkan beasiswa.”

Merespons hal itu, PLN memintanya menulis semua nama para pelajar di desanya. Ia pun mengusulkan nama 565 anak calon penerima beasiswa. 

“Sampai detik ini, nol. Tidak ada sama sekali yang dapat beasiswa,” katanya.

Bondan Gustaman, Manajer Perizinan dan Komunikasi PT PLN UIP Nusra, merespons protes warga, dengan berkata  proses penyerapan tenaga kerja tidak lagi berbasis pada klaim sebelumnya saat melakukan sosialisasi PLTP Ulumbu tahap satu. 

Perekrutan tenaga kerja untuk selanjutnya, kata dia, akan disesuaikan dengan keahlian di bidangnya, sementara “untuk program beasiswa, kami akan mengusulkannya ke PLN pusat.” 

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, Anda bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA