ReportaseMendalamRapat dengan Lembaga Advokasi, Bank KfW Klaim Hormati Hak Asasi Warga Poco Leok

Rapat dengan Lembaga Advokasi, Bank KfW Klaim Hormati Hak Asasi Warga Poco Leok

Bank internasional itu juga menyatakan tidak akan menoleransi segala bentuk intimidasi dan pemaksaan

Floresa.co – Bank Pembangunan Jerman atau Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) menyatakan komitmennya menghormati hak-hak asasi manusia dalam proyek perluasan geotermal Poco Leok, Kabupaten Manggarai. 

Penegasan itu disampaikan dalam pertemuan dengan jejaring advokasi masyarakat adat pada 22 Mei yang digelar di Aula Niang St. Yosef Ruteng.

Pertemuan itu dihadiri oleh perwakilan KfW dari kantor Jakarta, yakni Diana Arango, koordinator sektor energi; Marco Leidel, spesialis lingkungan hidup;  Ady Prasetyo dan Achsani Takwim. 

Mereka berdialog dengan perwakilan jejaring lembaga advokasi, terdiri dari Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) SVD Ruteng, JPIC-OFM, Rumah Baca Aksara, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Nusa Bunga, Teranusa Indonesia dan Tim Hukum Masyarakat Adat Poco Leok.

Diana, selaku manajer proyek KfW menyatakan, kehadiran mereka di Ruteng merupakan bagian dari keseriusan menindaklanjuti rekomendasi tim independen.

Tim bentukan KfW itu telah mendatangi Poco Leok pada tahun lalu, yang salah satu temuannya menyatakan ada pelanggaran terhadap sejumlah standar internasional dalam proyek itu. 

“KfW ingin mendengar langsung suara masyarakat, termasuk kelompok yang menolak proyek geotermal,” kata Diana.

Menanggapi pernyataan itu, Valentinus Dulmin pengacara dari JPIC-OFM menyatakan warga masih bersikap tegas menolak proyek ini dan meminta KfW menghentikan pendanaan secara permanen. 

Ia juga mempertanyakan niat kedatangan KfW ke Ruteng, sebab sebelumnya sudah ada dua pertemuan daring. 

“Pertemuan kali ini pun tidak digelar langsung di Poco Leok. Apa artinya jika suara masyarakat tak didengar di kampung mereka sendiri?” tanyanya.

Valens juga menyinggung soal kemungkinan keterlibatan KfW lebih dari sekadar pemberi dana “tetapi masuk dalam bagian kontrak proyek ini.”

“Masyarakat bahkan beberapa kali mengirim surat penolakan langsung ke KfW,” katanya.

Ia juga mempertanyakan apakah suara masyarakat adat yang menolak proyek didengar atau diabaikan dan menyesalkan jika kedatangan tim justru menjadi alat untuk “memperlancar proyek, bukan mendengar dengan tulus.”

Jimmy Z Ginting pengacara sekaligus peneliti dari Teranusa Indonesia juga menyatakan warga Poco Leok menolak proyek geotermal secara permanen karena kekerasan yang terus terjadi dan keretakan sosial di tengah masyarakat.

“Saya mulai riset sejak Oktober 2020, dan sejak itu kami menemukan 34 korban pelanggaran HAM, termasuk 11 perempuan dan 12 orang mengalami kekerasan berulang,” katanya.

“Bahkan, ada saudara yang saling melapor ke polisi. Ada keluarga yang dulunya harmonis, sekarang tidak saling berbicara,” tambahnya.

Warga Poco Leok, kata Jimmy, tak ingin menjadi “korban terus-menerus.”

“Kami menyaksikan sendiri bagaimana mereka berjuang mempertahankan tanah, dan justru karena itu ada yang ditangkap, hidup dalam ketakutan,” katanya.

Sementara, Maximilianus Herson Loi, pengacara dari AMAN Nusa Bunga berharap tim KfW mengunjungi langsung lokasi proyek, agar dapat melihat kedekatannya dengan rumah, kebun, kuburan dan sumber air masyarakat.

“Melihat kondisi topografi dan konteks sosial di Poco Leok penting, sebab tak bisa disamakan dengan proyek geotermal lain yang jauh dari pemukiman,” katanya.

Ia mencontohkan proyek geotermal di Wae Sano, Kabupaten Manggarai barat di mana tim dari Bank Dunia yang mendanainya dua kali turun langsung ke lapangan sebelum mengambil keputusan.

Warga Wae Sano, kata Herson, menolak proyek tersebut, dan Bank Dunia akhirnya memutuskan untuk “tidak melanjutkan pendanaan.”

“Kami harap KfW juga bersikap serupa, demi menjunjung prinsip kehati-hatian dan penghormatan terhadap HAM,” katanya.

Merespons sejumlah pernyataan itu, Diana dari KfW menyatakan pihaknya sangat menghargai sikap dan keputusan masyarakat adat Poco Leok.

“Kami serius menangani setiap komplain serta masukan,” katanya.

Ia menjelaskan, pihaknya tidak diperbolehkan mengadakan pertemuan di lokasi yang dianggap berpihak pada salah satu pihak. 

“Maka, pertemuan digelar di tempat yang dinilai netral,” jelasnya, menjawab pertanyaan Valens soal alasan pertemuan tidak dilakukan langsung di Poco Leok.

Diana menekankan kehadiran pihaknya bukan untuk memaksakan proyek, melainkan untuk mendengarkan langsung suara masyarakat. 

“Kami datang bukan membawa keputusan. Tujuan kami adalah untuk memahami kekhawatiran masyarakat secara langsung,” ujarnya.

Ia menjelaskan, beberapa bulan terakhir, KfW telah menjalin komunikasi dengan berbagai masyarakat terdampak untuk mendengar dan memahami beragam pandangan yang berkembang. 

“Kami berusaha menanggapi semua suara dengan serius,” katanya.

Sementara itu, Marko dari bagian Spesialis Lingkungan KfW menyatakan, kekhawatiran masyarakat merupakan hal serius yang harus direspons secara cepat. 

“Kekhawatiran warga harus dijawab melalui kajian dampak lingkungan dan sosial yang lebih baik,” ujarnya.

Ia menjelaskan, di Indonesia maupun di negara lain terdapat proyek geotermal yang dapat berjalan tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan. 

Karena itu, penting untuk menganalisis apakah proyek baru seperti di Poco Leok  “benar-benar memiliki risiko lingkungan atau tidak.” 

Pelaksana proyek, kata Marko, telah menyatakan kesediaan untuk memperbaiki dokumen kajian dampak lingkungan agar kekhawatiran masyarakat bisa tertampung secara menyeluruh. 

“Kalau memang ada dampak, maka pemerintah dan pelaksana proyek wajib mengatasinya,” katanya.

Sebagai lembaga pendana pembangunan, Diana juga menegaskan bahwa KfW menjunjung tinggi hak asasi manusia, hak masyarakat adat, dan prinsip-prinsip internasional. 

“Kami tidak akan menoleransi segala bentuk intimidasi, pemaksaan, ataupun pelanggaran hak dalam pelaksanaan proyek ini,” katanya.

Diana juga menjelaskan mediasi adalah salah satu mekanisme penting dalam standar internasional yang diterapkan KfW. 

“Mediasi bukan berarti kami berpihak pada masyarakat Poco Leok yang menolak. Ini adalah cara kami untuk mendapatkan informasi langsung tentang situasi di lapangan dan menjamin semua suara warga bisa didengar,” ujarnya.

Namun, kata dia, jika dalam proses mediasi masyarakat tetap menyatakan penolakan, KfW tetap menghargai keputusan tersebut. 

”Itu adalah hak mereka yang harus dihormati,” kata Diana.

Pada akhir pertemuan, Pastor Simon Suban Tukan dari JPIC-SVD Ruteng secara resmi menyerahkan surat penolakan proyek geotermal di Flores kepada pihak KfW. 

Surat tersebut berasal dari Aliansi Terlibat Bersama Korban Geotermal Flores.

Selain bertemu dengan aliansi advokasi, dalam kunjungan ke Ruteng, KfW juga bertemu dengan pihak pemerintah, PT PLN yang mengerjakan proyek dan kelompok masyarakat yang mendukung.

Sementara itu, warga Poco Leok menolak menemui Bank KfW.

Mereka menyatakan, pertemuan itu yang rencananya digelar pada 21 Mei adalah “siasat licik agar syarat administrasi pendanaan terpenuhi, agar kalian bisa mengklaim bahwa masyarakat telah ‘dilibatkan’ dan ‘didengar.’”

“Sejak awal, sikap kami jelas; menolak proyek geotermal ini,” kata mereka dalam surat yang dikirimkan ke KfW.

Informasi yang diperoleh Floresa, utusan KfW juga melanjutkan kunjungan ke wilayah lain di Flores, termasuk menemui Uskup Agung Ende, Paulus Budi Kleden yang “memimpin” gerakan penolakan oleh Gereja Katolik sedaratan Flores.

Proyek geotermal Poco Leok merupakan perluasan dari PLTP Ulumbu yang telah beroperasi sejak 2011.

Para era Presiden Joko Widodo, proyek ini masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional.

Bagian dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030, proyek itu menargetkan energi listrik 2×20 megawatt, meningkat dari 10 megawatt yang dihasilkan saat ini.

Warga telah melakukan berbagai aksi penolakan, yang beberapa kali direspons dengan tindak kekerasan oleh aparat keamanan.

Dalam peristiwa pada 2 Oktober tahun lalu, beberapa warga mengalami penganiayaan saat melakukan aksi protes terhadap pemerintah dan PT PLN yang mendatangi lokasi proyek.

Herry Kabut, Pemimpin Redaksi Floresa juga ikut dianiaya saat meliput aksi yang warga sebut sebagai bagian dari upaya “ jaga kampung” itu.

Tak lama setelah Bupati Manggarai, Heribertus G. L. Nabit dilantik untuk periode kedua, pada 3 Maret, ratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Pemuda Poco Leok menggelar aksi demonstrasi untuk mendesaknya mencabut Surat Keputusan terkait penetapan lokasi proyek ini.

Mereka juga meminta pemerintah agar menghentikan seluruh aktivitas,  termasuk pengerahan aparat keamanan untuk mengawal perusahaan.

Selain aksi di lapangan, warga juga telah mengirimkan surat kepada berbagai lembaga negara, di antaranya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ombudsman dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

Penolakan terhadap proyek panas bumi di Flores ini tidak hanya terjadi di Poco Leok. 

Gelombang protes juga muncul di berbagai lokasi lain di tengah masifnya upaya pemerintah setelah penetapannya sebagai Pulau Panas Bumi pada 2017.

Selain warga lingkar lokasi proyek, otoritas Gereja Katolik yang diwakili oleh enam uskup dari wilayah Nusa Tenggara dan Bali juga telah menyatakan sikap penolakan terhadap proyek ini.

Dalam pernyataan pada Maret lalu, mereka menyatakan, sikap itu berdasarkan keluhan warga dan mempertimbangkan kondisi Pulau Flores yang kecil dengan topografi berbukit-bukit.

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA