Floresa.co – Aktivis dan akademisi menyebut pemerintah dan perusahaan gagal memenuhi asas keadilan sosial dan lingkungan dalam proyek transisi energi di Flores karena menyebabkan konflik sosial, kehilangan akses atas sumber daya alam dan merusak lingkungan.
Hal itu terungkap dalam diskusi publik bertajuk “Transisi Energi dan Keadilan bagi Masyarakat Flores” di Aula Efata, Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai pada 23 Mei.
Diskusi diinisiasi lembaga advokasi Gereja Katolik Justice Peace and Integrity of Creation Serikat Sabda Allah atau JPIC SVD Ruteng.
Nikolaus Loy, akademisi asal Flores yang juga dosen di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta berkata, klaim pemerintah yang gencar mengampanyekan transisi menuju energi hijau penting dievaluasi karena “tidak benar-benar hijau.”
Ia memberi contoh berbagai proyek panas bumi di Flores yang menimbulkan ketidakadilan akses terhadap sumber daya, kehilangan tanah sebagai sumber utama penghidupan warga setempat, hingga ancaman kemiskinan dan kerusakan keanekaragaman hayati.
Niko menganalisis ketidakadilan dalam pelaksanaan proyek tersebut dari empat kategori, yakni keadilan distributif yang berhubungan dengan akses manfaat dan risiko; keadilan restoratif; keadilan prosedur dan informasi; dan keadilan rekognisi atau pengakuan hak warga.
Ia berkata, dalam konteks geotermal, produksi wacana oleh pemerintah menentukan praktiknya di lapangan, termasuk menentukan “siapa yang untung dan siapa yang buntung.”
Menurutnya, ancaman nyata dari proyek geotermal berhubungan dengan kehilangan pekerjaan petani karena “perusahaan butuh waktu 8-10 tahun untuk eksplorasi hingga operasi proyek.”
“Selama periode itu petani kerja di mana?” katanya.
Alih-alih keamanan energi, katanya, kehilangan lahan pertanian menyebabkan “ketidaknyamanan pangan”, terutama karena “tidak banyak lahan subur di Flores.”
Masalah lain yang diangkatnya adalah perpecahan sosial, perubahan budaya hingga ketidakadilan antargenerasi karena tergerusnya lahan produktif.
Keadilan Gender
Siti Maimunah, akademisi dan aktivis perempuan menekankan sisi ekstraktif dari proyek transisi energi yang terutama berdampak bagi kaum perempuan.
Ia menjelaskan, ekstraktivisme transisi energi tampak dalam “pembongkaran dan pemindahan sumber daya alam dalam skala besar.”
Dalam proses itu, selain pengrusakan alam, terdapat praktik-praktik pengorbanan masyarakat, di antaranya seperti penggunaan tenaga kerja murah.
Siti mengangkat contoh industri pertambangan yang tersebar di sebagian besar pulau di Indonesia, terbanyak di Kalimantan Timur berjumlah 44.736 titik dan Maluku Utara 10.684 titik.
Di antara berbagai tambang itu, ia menjelaskan bahwa industri hilirisasi sebagai bagian dari proyek transisi energi menyebabkan berbagai masalah, termasuk kekerasan dan penyakit yang dialami kaum perempuan.
Sementara dalam kasus geotermal di Flores, katanya, klaim transisi energi diprotes dan dilawan kaum perempuan karena dampak-dampaknya terhadap tanah, ruang hidup dan keselarasan hidup dengan lingkungan sekitar.
Siti mengangkat contoh perjuangan kaum perempuan Poco Leok yang menentang proyek geotermal karena “spirit mencintai tanah dan melestarikan ruang hidup.”
Kaum perempuan Poco Leok, sebagaimana masyarakat Manggarai umumnya, menganggap adanya kesatuan tak terpisahkan antara kampung halaman (golo lonto, mbaru kaeng, natas labar), kebun mata pencaharian (uma duat), sumber air (wae teku), pusat kehidupan adat (compang takung, mbaru adat), rumah ibadat (gereja), kuburan (boak), dan hutan (puar).”
Bagi Siti, keyakinan tersebut merupakan bagian dari filosofi kehidupan dan kebudayaan bersama yang menganggap bumi dan alam sebagai bagian tak terpisahkan dari keberlangsungan hidup warga.
Ia mengutip kata-kata warga adat Mollo di Pulau Timor yang menggambarkan alam “seperti tubuh manusia, darah seperti air, daging sebagai tanah, kulit dan rambut seperti hutan, dan batu sebagai tulang.”
“Jika kita menghancurkan alam (tubuh), kita menghancurkan tubuh kita,” katanya.
Kosmologi Manggarai
Sementara Maximilianus ‘Lian’ Jemali, akademisi Unika St. Paulus Ruteng menekankan filosofi Manggarai terkait hubungan tak terpisahkan antara manusia, alam, roh, leluhur dan pencipta.
Ia menggambarkan hubungan itu dengan konsep “jaring laba-laba”.
“Orang Manggarai melihat bahwa alam ini merupakan tubuh utuh seorang manusia yang mesti dirawat atau dijaga,” katanya.
Secara kosmologis, kata Lian, orang Manggarai menganggap diri manusia hanya satu bagian kecil dari jaring laba-laba raksasa, yang konektivitas di antaranya hanya dapat terjalin ketika ada “damai” atau “harmoni”.
Ia berkata, dalam membangun harmoni, masyarakat Manggarai memiliki konsep-konsep kultural yang memungkinkan keadilan dalam distribusi lahan (lingko) dan keselarasan hidup sosial.
Nilai-nilai kultural itulah yang membentuk identitas hidup orang Manggarai.
“Segala sesuatunya terikat dalam jaringan yang kuat,” katanya, “jaring laba-laba adalah simbol keterkaitan dan keteraturan.”
“Oleh karena itu, orang Manggarai membangun rumah adat (mbaru gendang) dengan konstruksi dasar seperti jaring laba-laba. Hal yang sama juga terjadi ketika pembentukan sebuah kampung. Tanah ulayat juga berbentuk jaring laba-laba yang sering disebut dengan lingko,” tambahnya.

Berharap Keterlibatan Aktif Kaum Muda
Pastor Simon Suban Tukan, Direktur JPIC SVD Ruteng memaparkan konteks proyek geotermal di Flores yang mengandung beragam masalah sosial dan ancaman terhadap keutuhan ciptaan.
“Karakter Flores ini sangat khas, penuh bebukitan dan tentu geotermal berdampak besar bagi keutuhan lingkungan,” katanya menyebut hal itu menjadi alasan “gelombang perlawanan di berbagai titik.”
Selain itu, katanya “tata kelola proyek geotermal di Flores juga buruk, misalnya yang terjadi di Mataloko,” di mana proyek yang telah dimulai lebih dari dua dekade silam menyisakan kerusakan lahan pertanian warga.
Sementara terkait energi alternatif bagi Flores, ia merekomendasikan pembangkit listrik tenaga surya yang dikelola secara mandiri oleh warga demi kepentingan dan kebutuhannya sendiri.
Pastor Simon juga berkata, diskusi terkait transisi energi tersebut digagas untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan praktis kepada publik, terutama kaum muda di Ruteng agar lebih aktif terlibat menyebarkan suara-suara kritis warga dari lingkar proyek geotermal.
“Saya lihat mahasiswa kita di sini belum cukup aktif terlibat, sehingga kami berpikir wawasan mereka perlu dibuka,” katanya.
Diskusi tersebut menghadirkan ratusan orang, sebagian besar mahasiswa Unika St. Paulus Ruteng.
Selain itu, hadir juga warga Poco Leok serta aktivis dan jurnalis yang berbasis di Ruteng.
Editor: Anno Susabun