Oleh: Martin Dennise Silaban
Proyek cetak sawah besar [food estate] di Merauke, Papua, yang digagas pemerintah pusat sebagai upaya meningkatkan ketahanan pangan nasional, menuai penolakan dari masyarakat adat.
Di bawah payung Proyek Strategis Nasional atau PSN, pemerintah hendak membuka lahan sawah baru seluas dua juta hektare, yang mengalihfungsikan kawasan hutan di wilayah Papua Selatan.
Solidaritas Merauke, yang mewakili masyarakat adat Malind, Makleuw, Yei, dan Khimaima secara tegas menolak proyek ini.
Mereka menganggap proyek ini bukan hanya mengabaikan hak-hak mereka atas tanah, tetapi juga merusak kearifan lokal dalam mengelola alam.
Karena itu, bagi masyarakat adat, termasuk di dalamnya perempuan adat yang berperan penting sebagai penjaga tradisi dan pengelola sumber daya alam, proyek ini merusak keberlanjutan lingkungan yang telah mereka jaga selama ini.
Bentuk Penyederhanaan Persoalan
Dalam pandangan masyarakat adat di Papua, lewat proyek ini, negara sekali lagi “menyederhanakan” permasalahan ketahanan pangan dengan cara yang tidak memadai, bahkan merugikan.
Mengacu pada pemikiran James C. Scott dalam bukunya Seeing Like a State [1998], negara memang seringkali merasa perlu untuk menyederhanakan tatanan sosial yang kompleks agar mudah dikelola.
Dalam konteks ini, proyek food estate di Merauke adalah contoh konkret dari penyederhanaan tersebut.
Negara menilai bahwa pembangunan sawah skala besar sebagai solusi tunggal untuk ketahanan pangan adalah langkah rasional.
Namun, upaya ini tidak hanya mengabaikan keanekaragaman ekologi dan sosial di kawasan tersebut, tetapi juga melupakan sistem pengelolaan alam yang telah dijalankan oleh masyarakat adat selama berabad-abad.
Seperti yang tercermin dari suara perempuan adat yang menolak proyek ini, mereka merasa hak atas tanah dan cara hidup mereka telah terancam: “Kami mau makan darimana? Alam kami sudah rusak habis.”
Pernyataan itu menggambarkan rasa kehilangan dan ketakutan mereka terhadap kerusakan alam yang sudah terjadi akibat pembangunan yang tidak memperhitungkan kearifan lokal.
Masyarakat adat memiliki pengetahuan yang dalam tentang ekosistem lokal, tentang cara-cara bertani dan mengelola pangan yang ramah lingkungan.
Pengetahuan ini, yang disebut oleh Scott sebagai “metis,” adalah pengetahuan praktis yang berkembang melalui pengalaman langsung dan interaksi dengan alam.
Berbeda dengan pengetahuan formal yang sering dipaksakan oleh negara dalam bentuk proyek besar, pengetahuan lokal ini berakar pada kearifan ekologis yang telah terbukti berkelanjutan dan adaptif.
Namun, negara lebih memilih pendekatan “techne,” atau pengetahuan teknokratis yang disusun oleh birokrasi negara berdasarkan model pembangunan besar yang terpusat, yang sering kali meniadakan nilai-nilai lokal.
Fabiana Li [2015] menyebut bahwa proyek besar sering kali didorong oleh pengetahuan teknokratik dari para ahli yang jarang mempertimbangkan pengetahuan lokal.
Hal ini seolah menegaskan bahwa hanya pengetahuan yang diakui secara ilmiah yang valid untuk perencanaan pembangunan.
Ideologi Modernisme dan Sentralisasi Pembangunan
Pendekatan negara yang berlandaskan pada ideologi modernisme tinggi, yang menganggap pengetahuan ilmiah dan teknis sebagai kunci untuk merencanakan pembangunan, telah membuahkan banyak kegagalan di berbagai proyek serupa.
Proyek food estate di Kalimantan yang digagas dengan semangat yang sama, misalnya, gagal karena tidak mempertimbangkan cara-cara masyarakat lokal mengelola sumber daya alam.
Ketergantungan pada pengetahuan teknokratik yang didorong oleh para perencana negara, ahli, dan akademisi sering kali mengabaikan realitas sosial dan ekologi lokal.
Dalam konteks food estate, ini mengarah pada kebijakan yang mendasarkan diri pada pandangan sempit tentang bagaimana ketahanan pangan seharusnya terwujud, tanpa melihat cara-cara yang lebih berkelanjutan yang telah diterapkan oleh masyarakat adat.
Proyek food estate bukan hanya tentang pengelolaan pangan, tetapi juga tentang pengelolaan tanah. Bagi masyarakat adat, tanah bukan sekadar sumber daya yang bisa dieksploitasi; tanah adalah bagian dari identitas, kehidupan, dan budaya mereka.
Pengabaian hak-hak tanah masyarakat adat dalam kebijakan-kebijakan pembangunan ini menciptakan ketegangan yang lebih besar, baik secara sosial maupun ekologis.
Tanah yang direncanakan untuk dialihkan menjadi sawah besar untuk produksi pangan industrial ini, sebenarnya adalah ruang hidup bagi masyarakat adat yang selama ini bertahan dengan cara bertani, berburu, dan memelihara hutan dengan prinsip keberlanjutan.
Perlawanan terhadap proyek food estate ini juga merupakan cerminan dari penolakan terhadap pendekatan negara yang selalu mengutamakan perencanaan terpusat.
Proyek besar ini, yang dirancang di pusat-pusat pemerintahan tanpa dialog yang substansial dengan masyarakat lokal, menggambarkan betapa sedikitnya ruang bagi masyarakat adat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan mereka.
Negara seharusnya bisa belajar dari keberhasilan keberlanjutan yang telah dibangun oleh masyarakat adat dalam mengelola tanah dan pangan secara organik dan alami, bukan memaksakan model pembangunan yang bersifat top-down dan teknokratis.
Dari Tanah Adat ke Lumbung Pangan: Ekologi Moral di Indonesia
Dalam setiap model pembangunan, masyarakat adat seharusnya menjadi subjek karena mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman berharga.
Karena itu, negara harus membuka ruang bagi mereka untuk menjadi bagian integral dalam perencanaan pembangunan, terutama dalam hal ketahanan pangan.
Salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah pengesahan undang-undang yang mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah mereka, seperti yang diusulkan oleh banyak aktivis dan tokoh adat.
Pengakuan hukum ini akan memberikan perlindungan terhadap hak atas tanah dan memungkinkan masyarakat adat terus menjalankan tradisi mereka dalam mengelola sumber daya alam dengan cara yang berkelanjutan.
Pembangunan ketahanan pangan nasional yang inklusif dan berkelanjutan juga memerlukan integrasi pengetahuan lokal sebagai bagian tak terpisahkan dari kebijakan pembangunan.
Indonesia, dengan keragaman sosial dan ekologi yang luar biasa, harus segera mengubah paradigma kebijakan pembangunan agar lebih responsif terhadap keberagaman tersebut.
Pengabaian terhadap kearifan lokal yang telah terbukti menjaga keseimbangan alam dan ketahanan sosial hanya akan memperburuk ketimpangan dan kerusakan lingkungan.
Dalam konteks ini, konsep ekologi moral Indonesia yang diperkenalkan oleh Reuter dan Macrae [2024] menjadi landasan yang sangat relevan.
Konsep ini menggarisbawahi pentingnya kesadaran moral dalam pengelolaan sumber daya alam, dengan perhatian yang mendalam terhadap dampak jangka panjang, kesejahteraan bersama, kelestarian lingkungan, dan hak-hak generasi mendatang.
Negara harus mengadopsi kebijakan pembangunan yang tidak hanya mengejar efisiensi ekonomi, tetapi juga memastikan keberlanjutan sosial dan ekologis.
Dialog yang lebih intens dengan masyarakat adat, yang telah lama mengembangkan pengetahuan dan praktik yang berlandaskan pada hubungan harmonis dengan alam, menjadi kunci untuk merancang kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Kearifan lokal mereka harus dihargai dan dimasukkan dalam setiap tahap perencanaan pembangunan, sehingga ketahanan pangan nasional dapat terwujud secara adil, merata, dan berkelanjutan, sejalan dengan prinsip pembangunan yang berorientasi pada masa depan yang lebih baik bagi semua pihak.
Kebijakan negara yang cenderung menyingkirkan pengetahuan lokal dalam pengambilan keputusan harus segera dihentikan.
Proyek food estate di Merauke, jika dilaksanakan dengan cara yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat, bukan hanya akan merusak alam dan budaya, tetapi juga akan memperburuk ketimpangan sosial yang ada.
Negara harus belajar untuk lebih mendengarkan dan menghargai kearifan lokal sebagai bagian dari solusi dalam menghadapi krisis ketahanan pangan dan perubahan iklim.
Pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan adalah kunci untuk mencapai kesejahteraan bagi semua pihak, bukan hanya segelintir pemangku kepentingan yang mendominasi proses pengambilan keputusan.
Martin Dennise Silaban adalah mahasiswa magister Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Editor: Ryan Dagur