Apa yang Membuat Peserta Wisuda di Unika St. Paulus Ruteng Nekat Bawa Spanduk Tolak Proyek Geotermal?

Aksi Karlo Gampur menyita perhatian dan simpati publik, menyebutnya sebagai bentuk solidaritas di tengah dinginnya perhatian kampus terhadap masalah sosial ekologis

Floresa.co – Acara wisuda di Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT pada 23 November menjadi riuh.

Hal itu terjadi kala satu peserta memanfaatkan acara tersebut untuk kampanye menentang proyek geotermal di Pulau Flores.

Sesaat setelah menerima piagam kelulusan dalam acara yang berlangsung di Aula St. Maria Assumpta, Gereja Katedral Ruteng itu, Karolus ‘Karlo’ Gampur segera mengambil sebuah spanduk dari balik pakaian, mengangkat dan memperlihatkannya ke seisi ruangan.

Bersama Rakyat Flores Tolak!!! Industri Geotermal, demikian isi tulisan dalam spanduk itu yang ia angkat sembari berjalan ke tempat duduknya di bagian belakang ruangan.

Terdengar tepuk tangan dari seisi ruangan, sementara yang lainnya mengabadikan momen itu dengan ponsel.

Video aksi Karlo kemudian menyebar luas di media sosial.

Karlo, 24 tahun, merupakan lulusan Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian pada Fakultas Pertanian dan Peternakan kampus terbesar di Flores itu.

Ia merupakan salah satu dari 1.107 peserta wisuda dari 12 program studi pada tiga fakultas.

Berbicara kepada Floresa pada 25 November, Karlo berkata, aksi itu memang direncanakan, bagian dari upaya menunjukkan “perlawanan terhadap hadirnya proyek geotermal di Flores, termasuk di tempat asal saya, Poco Leok.”

“Saya dan saudara-saudara di Poco Leok menolak proyek itu karena berpotensi merusak ruang hidup kami, alam, rumah dan merampas tanah kami,” katanya.

Ia juga mengaku khawatir dengan “ancaman proyek tersebut bagi identitas kami sebagai masyarakat adat, karena kehilangan ruang hidup berarti kehilangan budaya.”

Selama kuliah, Karlo aktif terlibat dalam aksi bersama warga di kampungnya, menentang proyek ini.

Ia merupakan salah satu dari beberapa warga adat yang menjadi korban kekerasan aparat keamanan saat aksi protes pada 2 Oktober.

Dalam aksi ‘jaga kampung’ itu, ia dipukul aparat polisi dan TNI, juga sempat ditahan selama beberapa jam di dalam mobil Polres Manggarai.

Kasus penganiayaan dan kekerasan yang dialami Karlo dan empat warga adat lainnya, termasuk Pemimpin Redaksi Floresa Herry Kabut kini tengah ditangani Polda NTT, setelah mereka melaporkannya di Kupang pada 11 dan 14 Oktober.

Karlo berkata ia sengaja menyebut Flores pada spanduk karena “peduli pada gerakan warga adat yang menolak proyek yang sama di berbagai tempat di Flores hingga Lembata.”

Ia menyebut warga Poco Leok telah “terhubung dengan warga adat lain, seperti di Mataloko, Kabupaten Ngada; Sokoria, Kabupaten Ende hingga Pulau Lembata,” yang sama-sama memprotes kehadiran proyek geotermal di ruang hidup mereka.

“Kami belajar banyak dari kegagalan proyek yang sama di Mataloko, yang kami sudah lihat dengan mata kepala sendiri,” kata Karlo yang bersama warga Poco Leok lainnya pernah ke Mataloko.

Bersama warga dan kaum muda lainnya dari Poco Leok, Karlo Gampur terlibat aktif dalam berbagai aksi ‘jaga kampung’ di lokasi proyek geotermal. Salah satunya pada 20 Juni 2023, ketika terjadi kekerasan aparat yang menyebabkan seorang warga dirawat di puskesmas terdekat. (Dokumentasi Floresa)

Mengapa Pada Momen Wisuda?

Aksi Karlo memicu kontroversi, di mana ada yang menyebutnya sebagai langkah berani, namun ada juga yang menyebutnya mengganggu acara wisuda.

Karlo berkata, memanfaatkan momen itu untuk menyatakan sikap demi “mendorong keterlibatan kampus melawan proyek yang mengancam ruang hidup warga di Flores.” 

Ia berkata, selama ini Unika St. Paulus Ruteng cenderung memilih diam di tengah ramainya pembahasan publik terkait proyek geotermal.

“Kampus tidak pernah bersuara dan memberi perhatian pada perjuangan warga,” katanya

Hal serupa, kata dia, juga dilakukan oleh lembaga lain, termasuk Gereja Katolik yang “seperti tidak tahu atau tidak mau tahu.”

“Saya dan warga lainnya mengalami represi dari aparat selama berjuang melawan proyek tersebut,” tambah Karlo, “tetapi kampus tempat saya kuliah tidak memberikan respons.”

Ia berharap aksinya menjadi dorongan, baik bagi mahasiswa maupun dosen dan pimpinan kampus tersebut untuk “menjadi garda terdepan yang peduli pada situasi warga.”

“Kalau kampus diam, maka jangan berharap mahasiswanya mempunyai perhatian terhadap persoalan warga yang rentan,” katanya.

Menurut catatan Floresa, Unika St. Paulus Ruteng sempat disebut mendukung proyek geotermal Poco Leok.

Hal itu terkait dengan penulisan nama kampus tersebut dalam dokumen sosialisasi PT Perusahaan Listrik Negara [PLN] yang mengerjakan proyek tersebut.

Dalam sebuah dokumen yang disebarkan pada 2022, di bawah judul “Pendekatan Adat yang Konsultatif,” PLN menulis telah melakukan “pendekatan dan konsultasi kepada tokoh dan pemangku kepentingan.”

Selain menyebut sejumlah lembaga gereja sebagai pihak yang sudah terlibat dalam pendekatan dan konsultasi itu, PLN juga menyebut “Rektor Unika St. Paulus-Ruteng.”

Lembaga-lembaga gereja itu sudah menyatakan protes terhadap pencatutan nama itu. 

Nama kampus yang bernaung di bawah Yayasan Santu Paulus milik Keuskupan Ruteng itu kembali ditulis PT PLN dalam sebuah brosur yang dibagikan kepada warga pada Juni 2024.

Dalam brosur tersebut, PLN menyatakan bahwa Lembaga Afiliasi Peneliti dan Industri di Institut Teknologi Bandung dan Unika St Paulus Ruteng menghasilkan kajian pada 2022 yang salah satunya menyebut “panas bumi Ulumbu tidak menyebabkan seng berkarat,” hal yang bertentangan dengan pengakuan warga.

Pada bagian lain brosur itu disebutkan “tidak ada kaitan dampak PLTP Ulumbu terhadap penurunan kesuburan tanah dan produktivitas tanaman.”

Rektor Unika St. Paulus Ruteng, Maksimus Regus – yang kini menjadi Uskup Labuan Bajo – mengklaim kala itu tidak mengetahui riset kampusnya terkait proyek geotermal Poco Leok dan tidak mengenal dosen yang terlibat.

Nama dosen tersebut kemudian terungkap, yakni Fany Juliarti Panjaitan. Usai namanya ramai dibicarakan, ia mengklaim “tidak pernah mengatasnamakan” Unika St. Paulus.

Kendati demikian, tidak ada pernyataan dari Unika St. Paulus yang memprotes pencatutan nama lembaga itu oleh PLN.

Apa Kata Unika St. Paulus?

Merespons aksi Karlo, Rektor Unika St. Paulus Ruteng, Agustinus Manfred Habur menyatakan pihaknya mengapresiasi sebagai bagian dari “kebebasan berekspresi.”

“Sebagai komunitas akademik yang mengusung budaya transformatif, kolaboratif dan berkarakter, Unika St Paulus selalu mendorong mahasiswa untuk menjadi pribadi yang kritis, peduli pada isu-isu sosial dan aktif dalam menyuarakan aspirasi mereka dengan cara yang tertib dan bermartabat,” katanya kepada Floresa.

Namun, kata imam Keuskupan Ruteng itu, aksi Karlo “kurang tepat karena terjadi dalam suasana wisuda yang sangat sakral.” 

Karena itu, jelasnya, ke depan kampus “akan mengantisipasi agar aksi serupa tidak terulang.”

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Fransiskus Sawan juga mengapresiasi “keberanian dan kepedulian” Karlo.

Ia menyebut aksi itu sebagai “keberhasilan kampus dalam menanamkan nilai keberpihakan pada masyarakat kecil.”

Sebagai lembaga pendidikan, ia berkata, Unika St. Paulus “menghormati berbagai perspektif terkait isu industri geotermal.”

Ia menambahkan, pihaknya “mendorong pengkajian ilmiah dan dialog terbuka, sehingga setiap keputusan yang diambil masyarakat berdasarkan informasi yang lengkap dan komprehensif.”

“Kami berkomitmen mendukung isu keadilan sosial melalui jalur akademis, seperti penelitian dan pengabdian masyarakat,” katanya kepada Floresa

Meski demikian, sama seperti Manfred, Frans menilai aksi tersebut tidak tepat dilakukan saat wisuda yang merupakan “momen sakral” dan “difokuskan pada perayaan pencapaian akademik.”

“Kami mendorong penyampaian aspirasi seperti ini dilakukan dalam forum yang lebih tepat sehingga pesannya bisa lebih diterima oleh seluruh pihak,” katanya, tanpa merinci maksud “forum yang lebih tepat” dan “seluruh pihak.”

Ia juga berharap mahasiswa dan alumni “terus berkolaborasi dengan kampus dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat,” termasuk dalam isu geotermal yang diangkat oleh Karlo.

Wigbertus Gaut, salah satu dosen kampus itu berkata, aksi Karlo “sah-sah saja,” menyebutnya “bentuk tanggung jawab sebagai pembelajar.” 

“Mahasiswa masuk dalam proses dialektika yang akan menjernihkan konsep-konsep atau argumentasi atas isu-isu penting di masyarakat,” katanya.

Ia mengaku memahami pemilihan tempat dan waktu Karlo pada saat wisuda “mungkin karena pertimbangan untuk memberikan efek yang lebih besar.”

“Intinya tetap dalam cara yang bertanggung jawab,” kata Wigbertus yang mengaku tidak berada di lokasi wisuda hari itu.

Pantauan Floresa, belasan polisi berjaga di luar aula tempat pelaksanaan wisuda, sementara Wakapolres Manggarai, Kompol Karel Leokuna duduk di barisan depan bersama para dosen dan undangan lainnya dari jajaran pemerintahan.

Karel sempat berusaha mencegah Karlo. Namun Karlo bergeming dan melanjutkan aksinya.

Soal kehadiran polisi dalam ruangan acara, Frans Sawan berkata singkat: “dia undangan.”

Karlo Gampur (kiri belakang ) saat berada di dalam mobil milik Polres Manggarai usai dipukul dan ditangkap saat aksi ‘jaga kampung’ pada 2 Oktober. (Dokumentasi Floresa)

Jadi Inspirasi

Bagi rekan Karlo yang hari itu sama-sama wisuda, aksinya menjadi inspirasi sekaligus memberi pesan untuk terus menunjukkan keberpihakan pada perjuangan warga.

Adriani Miming, salah satu peserta wisuda mengaku spontan mengambil ponsel saat melihat aksi Karlo dan mengabadikan “momen langka dan berani” itu.

“Ketika sebagian besar dari kami merayakan pencapaian akademis, dia mengingatkan kita semua bahwa tanggung jawab kita tidak berhenti di podium,” kata Adriani kepada Floresa.

Ia mengaku “terinspirasi oleh keberanian Karlo untuk menyuarakan suara rakyat Flores di panggung yang begitu sakral.”

Aksi tersebut “bukan hanya bentuk solidaritas, tetapi juga panggilan bagi kita semua untuk tidak melupakan akar perjuangan sebagai mahasiswa, yaitu berpihak pada rakyat, keadilan, dan pembangunan berkelanjutan.”

Adriani berharap aksi tersebut membuat mahasiswa dan publik semakin peduli pada isu-isu lingkungan dan masyarakat adat di Flores.

“Semoga aksi ini menjadi pemantik diskusi yang lebih luas lagi di kalangan akademisi, masyarakat, maupun pembuat kebijakan, karena perubahan besar selalu dimulai dari suara kecil yang lantang dan berani,” katanya.

Sementara itu, dalam takarir video aksi Karlo yang diunggah di X, akun kolektif @KawanBaikKomodo menulis, “tidak seluruh kampus kita dihuni pengecut-penjilat.”

Akun itu menyebut “tindakan solidaritas Karlo menghangatkan hati di tengah ketidakpedulian kampus-kampus kita akan perjuangan rakyat menghadapi bencana sosial dan ekologis yang datang atas nama pembangunan proyek-proyek strategis nasional.”

“Semoga lahir lebih banyak Karlo di kampus-kampus kita,” tulis akun itu.

Karlo Gampur berorasi di depan Markas Polda NTT pada 11 Oktober 2024 saat melaporkan kasus penganiayaan oleh aparat di Poco Leok. (Dokumentasi Floresa)

Flores Jadi Sasaran Berbagai Proyek Geotermal

Pulau Flores saat ini sedang menjadi sasaran berbagai proyek geotermal.

Pengerjaan proyek di sejumlah titik kian intensif pasca terbitnya Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2268 K/30/MEM/2017 tentang Flores sebagai Pulau Panas Bumi.

Bersamaan dengan itu, pemerintah menetapkan belasan titik yang direncanakan sebagai lokasi proyek geotermal.

Proyek geotermal Poco Leok merupakan bagian dari proyek strategis nasional, perluasan dari PLTP Ulumbu untuk unit 5 dan 6, dengan target kapasitas listrik 40 MW.

Sebagaimana warga di beberapa lokasi lainnya yang melakukan penolakan, warga dari belasan kampung adat di Poco Leok telah menempuh berbagai cara, termasuk bersurat kepada lembaga-lembaga negara dan Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] sebagai pendana proyek.

Upaya lainnya adalah demonstrasi dan aksi pengadangan di lapangan.

Tim Independen yang diutus Bank KfW telah melaporkan temuan lapangannya terkait proyek tersebut.

Menurut tim tersebut, proyek ini tidak memenuhi standar-standar sosial internasional, seperti menghormati hak dan budaya, menghindari dampak buruk pada masyarakat adat, persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan, partisipasi publik yang bermakna, berbagi manfaat, perlindungan hak atas tanah dan mekanisme penyampaian keluhan sesuai budaya dan yang dapat diakses masyarakat adat. 

Syarat-syarat itu umum berlaku sesuai standar lingkungan dan sosial internasional.

Tim itu pun merekomendasikan penghentian sementara proyek tersebut.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA