Propam Polda NTT Periksa Saksi terkait Dugaan Kekerasan terhadap Jurnalis dan Warga di Poco Leok, Manggarai

Pengacara warga dan Pemred Floresa berharap pemeriksaan berujung sanksi etik bagi pelaku kekerasan

Floresa.co – Tim dari Divisi Profesi dan Pengamanan [Propam] Polda NTT telah memeriksa sejumlah saksi terkait dugaan tindak kekerasan terhadap jurnalis dan warga saat aksi protes terhadap proyek geotermal di Poco Leok awal bulan ini.

Pemeriksaan berlangsung pada 24 hingga 25 Oktober di sebuah hotel di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai oleh dua orang penyidik.

Langkah itu menindaklanjuti pelaporan oleh Herry Kabut, Pemimpin Redaksi Floresa dan warga Poco Leok yang sama-sama menjadi korban kekerasan pada 2 Oktober ketika warga menggelar ‘aksi jaga kampung’ untuk menyatakan penolakan terhadap proyek energi, bagian dari Proyek Strategis Nasional itu.

Informasi yang diperoleh Floresa, penyidik melakukan pemeriksaan terhadap beberapa polisi pada 24 dan 25 Oktober.

Sementara itu, empat warga Poco Leok memberi keterangan selama beberapa jam pada 24 Oktober malam. Mereka didampingi kuasa hukum Ferdinansa Jufanlo Buba dan Yulianus Ario Jempau.

Semula, penyidik yang tiba di Ruteng pada 23 Oktober hendak melakukan pemeriksaan terhadap warga di kampung mereka di Poco Leok.

Namun, saat mereka mendatangi wilayah di Kecamatan Satar Mese itu, warga enggan memberi keterangan karena bersikap hati-hati terhadap para penyidik, menyatakan akan bersedia jika didampingi selama pemeriksaan.

Pada hari itu, warga di Kampung Lungar, salah satu dari 14 kampung adat di Poco Leok juga sedang merayakan penti, upacara syukuran adat dalam budaya Manggarai.

Erick Come, salah satu penyidik kemudian meminta bantuan Herry untuk menghubungi warga dan menjelaskan tujuan mereka. Atas kesepakatan dengan warga, pemeriksaan pun digelar di Ruteng.

Pada 24 Oktober petang, mengenakan pakaian adat, sekitar 30 warga Poco Leok datang ke Ruteng dengan bis kayu untuk menemani rekan mereka yang hendak memberi keterangan.

Florianus Madur, salah seorang saksi mengaku penyidik menanyakan apa yang ia saksikan saat terjadi penganiayaan terhadap warga dan Herry.

“Saya juga ditanya tentang alasan ikut dalam aksi itu,” katanya.

“Saya menjawab bahwa kami sedang berupaya menjaga kampung yang diwariskan nenek moyang kami. Kami takut hidup kami tidak akan tenang kalau kami membiarkan tanah warisan itu hancur,” katanya.

Ia juga mengaku ditanya soal bentuk kekerasan yang dia alami.

Florianus yang didorong dan ditendang aparat di bagian punggung saat kejadian mengaku memperagakan pengalamannya dengan penyidik yang memeriksa itu.

“Saya memperagakannya. Saya bertindak sebagai polisi,” katanya.

Paskalis Mayo Dintal, saksi lainnya, mengaku ditanya soal alasan dia ada di lokasi dan siapa yang menugaskannya untuk mendokumentasikan aksi warga.

“Saya menjawab bahwa saya ikut karena saya adalah orang Poco Leok,” katanya.

“Saya juga menyatakan mendokumentasikan aksi itu karena inisiatif pribadi,” tambahnya.

Mayo juga mengaku ditanya soal sejak kapan aksi jaga kampung terjadi dan apakah ia mengenal Herry.

Maria Teme, salah satu ibu dari Poco Leok yang ikut ke Ruteng berkata, ia hendak memberi dukungan kepada para saksi.

“Saya awalnya kaget saat ada polisi yang ke kampung kami karena kami sedang penti,” katanya.

“Namun, saya lega karena mereka ternyata dari Polda NTT yang datang untuk memproses laporan kami terhadap kekerasan oleh polisi di Manggarai,” tambahnya.

Pemeriksaan digelar sejak sekitar pukul 17.00 Wita hingga 23.00 Wita. Warga Poco Leok kemudian kembali ke kampung mereka pada 24 Oktober tengah malam usai pemeriksaan.

Sementara itu, pemeriksaan terkait tindak pidana oleh bagian Reserse dan Kriminal Umum Polda NTT, rencananya digelar pada pekan depan di Polres Manggarai.

Ferdinansa Jufanlo Buba, salah satu kuasa hukum Herry dan warga berkata, “kami melihat keseriusan aparat dalam menangani kasus ini.”

“Kami berharap, pemeriksaan oleh Propam ini bisa tuntas, hingga sampai pada sidang dan pemberian sanksi etik bagi para pelaku,” katanya.

Sementara itu, Yulianus Ario Jempau, kuasa hukum lainnya menyatakan, keseriusan polisi juga mesti ditunjukkan dalam penanganan laporan pidana kasus ini.

“Selain aparat, dalam kasus ini ada juga oknum jurnalis berinisial TJ yang terlibat dalam kekerasan terhadap Herry. Kami berharap mereka semua bisa diproses hingga tuntas,” katanya.

Herry dan perwakilan warga Poco Leok melaporkan kasus dugaan pelanggaran etik dan kekerasan oleh anggota Polres Manggarai dan seorang jurnalis berinisial TJ ke Polda NTT.

Kekerasan terjadi saat Herry meliput aksi protes warga terhadap proyek geotermal. 

Selain ponselnya ikut dirampas dan dicek isinya oleh polisi, Herry juga mengaku dianiaya karena tidak membawa kartu pers, kendati ia telah menunjukkan surat tugas dan statusnya sebagai pemimpin redaksi di web Floresa.

TJ, seorang wartawan yang ikut dalam mobil polisi saat kembali dari Poco Leok juga ikut menganiaya Herry.

Saat penganiayaan, menurut pengakuan warga, aparat melarang dan mengejar mereka yang berusaha mendokumentasikannya.

Laporan Herry diajukan pada 11 Oktober, baik untuk tindak pidana umum di bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu maupun etik di Propam.

Sedangkan laporan warga Poco Leok diajukan pada 11 Oktober untuk etik dan 14 Oktober terkait tindak pidana umum. 

Editor: Anno Susabun

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA