Mengapa Floresa Jadi Sasaran Serangan Sejumlah Media Siber?

Sejumlah media memuat berita berisi tudingan yang memojokkan Floresa terkait polemik geotermal Poco Leok. Apa yang keliru dengan media-media tersebut, juga tudingan-tudingannya?

Oleh: Ryan Dagur

Selang beberapa hari usai Floresa merilis laporan soal hasil temuan Tim Independen Bank Pembangunan Jerman atau Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] yang mengindikasikan tidak terpenuhinya sejumlah ketentuan sesuai standar internasional dalam proyek geotermal Poco Leok, sejumlah media siber merilis berita yang salah satu poinnya menyudutkan Floresa.

Penelusuran via Google, lebih dari sepuluh media memuat berita itu pada 17 November, dengan klaim bahwa warga yang kontra proyek diprovokasi pihak tertentu. Beberapa di antaranya adalah Pijarflores.com, Fokusntt.com, Swarantt.com, Infopertama.com, Koranntt.com, Kundurnews.co.id dan Kabarpesisirnews.com. 

Berita tersebut tampaknya sebuah rilis yang dibuat entah oleh siapa, tapi patut diduga bagian dari mereka yang memang menginginkan proyek itu tetap jalan.

Cara untuk memastikan itu adalah sebuah rilis mudah saja: beritanya dimuat beragam media, namun isinya hampir sama. Kalaupun ada yang berbeda, paling pada judul atau dengan memoles sedikit kalimat-kalimatnya.

Saya kutip bagian dari berita-berita itu yang menyinggung secara eksplisit soal Floresa: “Media seperti Floresa dan kelompok seperti JPIC SVD hanya membangun narasi yang tidak berimbang. Mereka lebih banyak memainkan emosi masyarakat, bukan menawarkan solusi. Padahal, kami di sini sebagai masyarakat adat yang mendukung, punya alasan dan dasar yang kuat untuk melanjutkan proyek ini.” 

Pernyataan ini disampaikan oleh Romanus Inta, yang disebut sebagai Tua Gendang Lungar.

Narasumber lain dalam berita itu, Alfons Syukur, juga menyatakan: “Ada media yang terlalu berpihak dan sengaja menggiring opini masyarakat dengan narasi-narasi yang membenturkan adat dan pemerintah. Padahal kenyataannya, kami adat justru mendukung penuh program geotermal ini.”

Saya akan menanggapi pernyataan dua warga tersebut soal tudingan Floresa berpihak pada bagian berikut dari tulisan ini. Terlebih dahulu saya hendak menanggapi soal cara media-media siber melaporkan berita tersebut.

Sengaja Memojokkan

Penting dicatat bahwa berita-berita tersebut secara eksplisit menyebut nama Floresa dengan isi pernyataan narasumber yang bersifat tudingan.

Idealnya, karena tudingan, pernyataan semacam itu tidak ditelan mentah-mentah. Minimal, media menggali penjelasan lebih lanjut tentang alasan tudingan itu atau menanyakan contoh konkret berita-berita Floresa yang memang dianggap sesuai dengan isi tudingan tersebut.

Keputusan untuk hanya memuat tudingan tanpa basis data dan argumen yang kuat, patut dianggap sebagai upaya sengaja dan beritikad buruk untuk memojokkan Floresa. Apalagi, tidak ada upaya untuk mengklarifikasi, meminta tanggapan Floresa terhadap pernyataan para narasumber itu.

Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Pemberitaan Media Siber sebetulnya sudah menyediakan pagar yang membatasi kerja jurnalistik agar tidak jatuh pada kekeliruan semacam itu.

Kode Etik Jurnalistik pasal 1-4 mengatur soal wartawan yang harus bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk; menempuh cara-cara yang profesional; selalu menguji informasi, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah; dan tidak membuat berita bohong dan fitnah.

Berita-berita tersebut bukan saja tidak akurat, tidak berimbang, beritikad buruk, penulisannya tidak menempuh cara-cara profesional, tidak ada upaya menguji informasi, juga berisi opini yang menghakimi dan fitnah.

Di sisi lain, berita-berita tersebut juga melanggar ketentuan Pedoman Pemberitaan Media Siber, khususnya poin 2, tentang “verifikasi dan keberimbangan berita.” Dalam pedoman itu dinyatakan bahwa “berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan.” 

Pedoman itu memang memuat ketentuan pengecualian untuk verifikasi dan keberimbangan. Salah satunya adalah berita itu benar-benar mengandung kepentingan publik yang bersifat mendesak; sumber berita yang pertama adalah sumber yang jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan kompeten; subjek berita yang harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya dan atau tidak dapat diwawancarai; dan media memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut.

Sayangnya, hal-hal itu sengaja dilanggar. 

Padahal, media-media tersebut mengutip pernyataan narasumber Romanus Inta yang menuding Floresa tidak berimbang. Tudingan narasumber, sebetulnya, lebih pas merujuk ke mereka sendiri. 

Lalu, kalaupun yang dipersoalkan adalah ketidakberimbangan dalam pemberitaan soal proyek geotermal Poco Leok, bukankah media-media itu juga tidak menyediakan ruang bagi warga yang mempersoalkan proyek? 

Kasus serangan terhadap Floresa seperti ini memang bukan kali pertama, khususnya terkait proyek geotermal Poco Leok. 

Pada 7 Oktober 2024, media-media tersebut juga memuat berita yang memojokkan Floresa.

Pijarflores.com misalnya memuat berita berjudul “Media Floresa Sering Sebarkan Berita Provokasi, Abaikan Suara Warga Poco Leok yang Pro Pengembangan Geotermal.” Berita serupa juga diterbitkan media lain, yang lagi-lagi diduga merupakan rilis.

Kekeliruan saat itu lebih fatal, karena narasumber yang dikutip adalah anonim dan isi berita hanya sebagian kecil yang menyinggung Floresa, namun kata Floresa dipakai pada judul. 

Floresa sudah mengajukan hak jawab ke Pijarflores.com. Namun, media tersebut memilih tidak mau memuatnya. Padahal, Dewan Pers mengatur ketentuan kewajiban media memuat hak jawab.

Floresa pun telah mengadukan Pijarflores.com ke Dewan Pers. Baru-baru ini, Dewan Pers memberi kabar sudah menganalisis pengaduan itu dan keputusan finalnya masih akan muncul pada waktu mendatang.

Tidak Ada yang Salah dengan Keberpihakan

Saya ingin masuk pada pernyataan narasumber yang menyebut Floresa berpihak.

Untuk pernyataan itu, jawaban jelas, “Ya, Floresa memang berpihak.” Apakah itu sesuatu yang salah? Tunggu dulu. Ada banyak alasan untuk menjawab ini, yang juga pernah saya singgung dalam salah satu tulisan sebelumnya.

Salah satunya adalah klaim netralitas dalam jurnalisme – yang mengandaikan media atau jurnalis mengambil jarak terhadap persoalan yang ditulis – sesuatu yang tidak mungkin terjadi, sebuah ilusi.

Karena itu, media juga jurnalis pasti punya keberpihakan. Yang jadi inti soalnya adalah; berpihak kepada apa? Media-media yang memojokkan Floresa itu juga berpihak, kendati mungkin tidak mau diakui. Kepada apa? Bisa dicek dari isi berita dan cara mereka mengemasnya.

Sejak berdiri pada 10 tahun lalu, Floresa telah merumuskan pilihan keberpihakannya, yaitu pada kepentingan publik, terutama kelompok yang karena persoalan struktural menjadi paling rentan, paling tidak berdaya. Salah satunya di tengah ekspansi proyek-proyek pembangunan di Flores atau NTT secara umum. Keberpihakan ini menjadi pilihan etis di konteks relasi kuasa.

Ini adalah bagian dari komitmen Floresa untuk mendukung demokratisasi dan pembangunan yang berkeadilan, yang mengidealkan proses yang melibatkan semua dan tidak mengabaikan suara mereka yang paling terdampak.

Pilihan semacam itu menjadi dasar sikap Floresa dalam melaporkan proyek geotermal Poco Leok, perluasan PLTP Ulumbu, salah satu proyek strategis nasional di Flores.

Proyek itu telah hadir bersamaan dengan narasi-narasi bahwa itu akan membawa kemaslahatan bagi masyarakat setempat, membuka lapangan kerja dan seterusnya.

Geotermal pun terus-menerus dinarasikan sebagai sumber energi terbarukan yang  ramah lingkungan, aman dan tidak berisiko bagi masyarakat setempat. Di sisi lain, warga Poco Leok menentangnya dengan alasan mengganggu ruang hidup mereka, karena titik-titik proyek di dekat kampung dan lahan mereka.

Dengan perspektif relasi kuasa, amat mudah mengidentifikasi posisi asimetri antara pemerintah plus korporasi di satu sisi dan warga kebanyakan di sisi lain. Pemerintah dan korporasi memiliki segala-galanya untuk mewujudkan tujuannya, bahkan bisa membiayai wartawan dan media untuk menyebarluaskan narasi, termasuk memproduksi pengetahuan-pengetahuan dengan klaim berbasis riset dan seterusnya.

Sementara di sisi lain warga hanya bisa memilih menyuarakan protes dan bertahan di lahan mereka.

Dalam kondisi ini, Floresa secara sadar memberikan ruang yang luas bagi warga untuk terlibat dalam wacana dan diskursus soal proyek ini.

Hal itu dilakukan dengan menguji klaim-klaim pemerintah dengan fakta empirik, juga mengangkat pertanyaan kritis warga; apakah proyek ini benar-benar aman bagi mereka, apa saja keuntungan yang mereka dapat, siapa yang menjamin keselamatan mereka jika proyek ini akan menimbulkan masalah seperti yang terjadi dengan proyek geotermal di wilayah lain.

Narasi-narasi “surga” dari pelaksanaan proyek-proyek ini perlu diuji, tidak diamini begitu saja. Bagi Floresa, itu adalah posisi yang sudah seharusnya diemban media sebagai pilar demokrasi, yaitu mengawasi kekuasaan, bukan berada di sampingnya, bahkan menjadi perpanjangan tangannya.

Media juga tidak bisa hanya menyalin siaran pers pemerintah dan korporasi, lalu mempublikasinya, tanpa ada upaya mempertanyakan apakah isinya benar, sesuai fakta atau hanya propaganda, sekadar untuk meloloskan proyek atau memastikan dukungan dana akan cair.

Apakah memilih berpihak itu melanggar kode etik jurnalistik? Silakan dicek, apa ada yang salah dalam pemberitaan Floresa selama ini? Jika ada, kami sangat senang jika itu disampaikan. Kami terbuka untuk mendiskusikannya dan akan meralat jika memang itu perlu.

Apa yang Lebih Penting?

Dengan melihat cara kerja media seperti ini dalam proyek geotermal Poco Leok, saya kira, jangan salah kalau pendana proyek seperti Bank KfW itu tidak mudah terbius.

Mereka telah ke Poco Leok, bertemu semua pihak, dan menemukan fakta-fakta di luar dari klaim dalam siaran pers-siaran pers itu. Mereka telah menyampaikan temuannya yang secara gamblang melucuti klaim selama ini bahwa semua urusan di Poco Leok sudah beres.

Menurut tim tersebut, proyek ini tidak memenuhi standar-standar sosial internasional, seperti menghormati hak dan budaya, menghindari dampak buruk pada masyarakat adat, persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan, partisipasi publik yang bermakna, berbagi manfaat, perlindungan hak atas tanah dan mekanisme penyampaian keluhan sesuai budaya dan yang dapat diakses masyarakat adat.

Karenanya, tugas yang sebaiknya dilakukan media-media itu adalah menunjukkan fakta-fakta yang akurat, yang secara meyakinkan bisa menantang temuan tim independen.

Namun, tugas semacam itu memang berat, tidak semudah merumuskan siaran pers, lalu comot sana-sini pernyataan narasumber dan berharap orang lain, termasuk pendana proyek, percaya begitu saja dan mencairkan dana.

Memuat klaim, propaganda, tudingan-tudingan yang menggelikan hanya membuat makin terang bahwa ada banyak soal yang belum selesai, termasuk dalam cara kerja media yang sebetulnya punya tujuan mengkomunikasikan dengan baik agar proyek ini bisa jalan.

Karena itu, alih-alih menyerang Floresa, jauh lebih penting mengevaluasi cara kerja media-media itu, juga mereka yang menyiapkan siaran persnya.

Ryan Dagur adalah pemimpin umum sekaligus editor Floresa

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Artikel Lainnya