Diskusi Hari HAM Soroti Pelanggaran Hak Warga Flores di Tengah Masifnya Proyek Pembangunan

Dengan berbagai dalih, seperti demi investasi hijau, transisi energi, kebaikan banyak orang, para pembicara menyoroti beragam bentuk pengabaian terhadap hak warga setempat

Floresa.co – Beragam bentuk proyek pembangunan di Flores mengabaikan prinsip pemenuhan hak warga setempat sehingga mereka berada dalam posisi ‘dikorbankan’ demi ambisi pemerintah dan korporasi.

“Padahal, HAM adalah bahasa kolektif kita untuk memastikan perwujudan keadilan dan perubahan yang bersifat struktural,” kata Rian Juru dari Litbang Floresa dalam diskusi baru-baru ini bertajuk “Mengapa Tidak Ada HAM di Flores.” 

Berlangsung secara daring melalui platform pertemuan Zoom pada 10 Desember, diskusi diinisiasi oleh kolaborasi lembaga riset Sunspirit For Justice and Peace, kolektif kaum muda Rumah Baca Aksara dan Floresa.  

Rian menyoroti perlindungan dan pemenuhan HAM di Flores yang belum menjadi kerangka kebijakan pembangunan untuk memastikan aspek ekonomi, politik, sosial dan budaya bisa dikelola dengan tujuan kesetaraan martabat manusia. 

“Melihat dinamika yang terjadi, pembangunan justru kontradiktif dengan HAM karena membuat warga tereksklusi dari ruang hidupnya,” katanya.

Ia mencontohkan Labuan Bajo yang menjadi sasaran proyek pariwisata berbasis industri yang kapitalistik, sehingga meminggirkan masyarakat pesisir dan nelayan karena perubahan lanskap kawasan.

Pembangunan, katanya, juga justru membatasi ruang publik, seperti makin hilangnya kawasan pantai yang bisa diakses bebas.

“Ini harus disuarakan sama-sama, karena ke depan orang Labuan Bajo semakin merasa terasing. Semua lanskap yang seharusnya bebas kita nikmati bertransformasi sehingga kita harus membayarnya agar bisa mengakses itu.”

Ekosistem Media yang Rusak

Sementara itu, Anastasia Ika, editor Floresa menyoroti pembangunan yang masif sehingga memicu degradasi ekologi, yang secara kuantitatif dan kualitatif mengubah ruang hidup warga.

“Khususnya mereka yang menggantungkan kehidupan dari bentang alam di sekitarnya,” katanya.

Ia juga mencontohkan Labuan Bajo, di mana nelayan harus mengalah terhadap pembangunan yang mengubah bentuk ruang tangkap mereka.

Ketika warga sampai mengalah, katanya, berarti ada pengabaian terhadap hak-hak mereka sebagai warga adat. 

Ika kemudian menyoroti soal peran Floresa di tengah situasi ini, yang berusaha memberi perhatian pada persoalan-persoalan terkait dampak proyek-proyek pembangunan bagi warga.

Posisi demikian menjadi pilihan Floresa karena menyadari “ada relasi kuasa, yang akhirnya penguasa akan tetap pada posisi aman, sementara warga belum tentu.”

Ia menambahkan, alasan lain keterlibatan Floresa adalah “untuk menjawabi problem iklim media di Flores, yang kontribusinya bagi publik tidak linear dengan fakta pertumbuhan jumlah media. 

“Kami melihat bahwa sebagian besar media di Flores ada yang sampai hari ini dimodali oleh pihak-pihak yang sedang menggalakkan pembangunan itu.” katanya.

Karena itu, kata Ika, sebagai media independen yang fokus pada isu demokrasi, pembangunan berkeadilan, masyarakat adat dan gerakan sosial, Floresa berupaya menyebarluaskan suara warga dan meminta pertanggungjawaban para pemangku kepentingan.

Sementara itu, Yosep Erwin Rahmat, warga adat Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat yang juga berbicara dalam diskusi itu menceritakan pengalamannya melawan proyek geotermal. 

Penolakan warga adat terhadap proyek geotermal Wae Sano, kata Yosep, “punya alasan tersendiri, termasuk karena lokasi eksplorasi proyek ada di ruang hidup warga.” 

“Di situ ada pemukiman, kebun, sumber mata air, ada compang atau altar persembahan kepada pencipta dan leluhur, dan ada natas labar atau ruang berinteraksinya masyarakat pada sebuah komunitas,” katanya.

Bagi warga adat Wae Sano, katanya, ketika salah satu dalam ruang hidup itu rusak, maka kehidupan di tempat itu tidak ada maknanya lagi.

“Ketika eksplorasi itu tetap berjalan, banyak hak-hak kami yang dikorbankan karena pada akhirnya nanti ada kemungkinan kami akan dipindahkan dari tempat itu,” katanya. 

Ia juga berkata, sampai saat ini, rencana eksplorasi masih tetap berjalan kendati warga sudah berkali-kali melakukan aksi protes dan Bank Dunia sebagai pendana proyek telah menyatakan mundur pada akhir tahun lalu.

Arena Pencaplokan Sumber Daya

Venan Haryanto, peneliti yang kini sedang studi doktoral di Universitas Bonn, Jerman mengatakan pembangunan yang terjadi di Flores secara terang benderang menampilkan adanya pelanggaran HAM. 

“Flores belakangan ini menjadi arena baru pencaplokan sumber daya, yang oleh pemerintah Indonesia disebut dengan label ekonomi hijau,” kata Venan.

Ia berkata, terdapat beberapa sektor yang digolongkan pemerintah sebagai bagian dari ekonomi hijau, seperti “ekonomi pariwisata, energi, dan sawit berkelanjutan.”

Sedangkan untuk konteks Flores, kata Venan, ada dua yang dijalankan, pariwisata dan energi geotermal.

“Labuan Bajo yang disebut sebagai episentrum pariwisata dan ditetapkan sebagai satu dari 10 Bali baru,” katanya.

Sejak awal, kata dia, pariwisata diklaim sebagai alternatif terbaik untuk membendung pembangunan sektor ekstraktif, kendati kemudian dampaknya tidak jauh berbeda terhadap warga dan lingkungan.

“Kalau kita mendengar, banyak sekali pejabat publik yang mengatakan bahwa pembangunan pariwisata itu ramah lingkungan,” kata Venan.

Namun, kata Venan, dengan penetapan Flores sebagai pulau geotermal pada 2017, pembangunan ekstraktif akan tetap dilakukan demi menopang pariwisata, “salah satunya geotermal.” 

“Saya kira, tidak menutup kemungkinan juga tambang akan tetap dijalankan karena dalam konteks Indonesia sekarang ini, nikel, litium, uranium, dan lainnya bisa saja diklaim transisi energi untuk kebutuhan kendaraan listrik,” lanjutnya.

Karena itu, kata dia, yang terjadi adalah pembangunan sebagai orkestrasi pelanggaran HAM. 

Ia juga memberi catatan bahwa pelanggaran HAM di Flores sulit terdeteksi sebab “pembangunan selalu hadir dengan wacana untuk kepentingan umum, atau bahasa Gerejanya adalah bonum commune.”

Argumen seperti itu, katanya, digunakan pemerintah untuk mempercepat pengadaan lahan, seperti dalam kasus geotermal Poco Leok.

Selain itu, kata dia, pembangunan juga hadir dengan wacana atas nama proyek strategis nasional transisi energi, yang turut dikampanyekan oleh gereja, media massa, para ahli dan akademisi, termasuk kampus.

“Alih-alih dengan akses yang adil, yang terjadi di lapangan banyak praktik pelanggaran HAM, misalnya hak atas lingkungan yang sehat dan lestari,” katanya.

Pelanggaran HAM lainnya, kata Venan, terkait hak atas air.

Ia menyoroti contoh kasus di  Labuan Bajo, di mana “hotel-hotel mendapatkan air yang begitu melimpah.”

“Bahkan untuk kolam renangnya juga, sementara warga mengantre untuk mendapatkan air,” katanya.

Pelanggaran HAM lainnya, kata dia, terjadi dalam konteks hak atas mata pencaharian, hak atas ruang publik, hak atas infrastruktur yang adil, hak berkebudayaan sebagai masyarakat adat, hak atas tanah, dan hak berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan pembangunan.

Editor: Anno Susabun

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA