Floresa.co – Mempertanyakan sikap Gereja Katolik yang tidak menunjukkan keberpihakan pada situasi warga di Flores di tengah polemik proyek-proyek pembangunan menjadi salah satu fokus bahasan dalam diskusi baru-baru ini.
Diskusi daring bertema “Mengapa Tidak Ada HAM di Flores?” itu diadakan oleh lembaga riset dan advokasi Sunspirit for Justice and Peace, kolektif Rumah Baca Aksara dan Floresa.
Digelar pada 10 Desember, bertepatan dengan Hari HAM Internasional, diskusi ini mengupas berbagai isu krusial terkait pelanggaran HAM dalam pembangunan di Flores.
Pembahasan soal posisi gereja muncul dalam sesi tanya jawab, bermula dari pernyataan salah satu peserta diskusi, Ryan Dagur.
Ia menyatakan, pertanyaan ‘mengapa tidak ada HAM di Flores’ yang menjadi tema diskusi sama pasnya dengan pertanyaan ‘mengapa tidak ada gereja [yang berpihak] di Flores.
Ia kemudian meminta respons empat narasumber diskusi terhadap pertanyaan itu.
Pertanyaan tersebut terkait sikap diam Gereja Katolik terhadap persoalan perjuangan warga, seperti yang terjadi di Poco Leok, Kabupaten Manggarai berhadapan dengan proyek geotermal.
Dalam insiden kekerasan terakhir pada 2 Oktober, di mana warga ditangkap dan dianiaya misalnya, kendati ada lembaga Gereja Katolik tertentu seperti Komisi JPIC-SVD dan JPIC-OFM yang mengambil sikap tegas mengecamnya, hirarki seperti Keuskupan Ruteng memilih diam.
Sementara dalam polemik geotermal lain di Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat, Keuskupan Ruteng ikut mendukung proyek itu, meninggalkan umat yang terus menentangnya. Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat bahkan pernah menulis surat kepada Presiden Joko Widodo, menyatakan dukungan terhadap proyek itu.
Kritik terhadap Ideologi Politik Gereja
Merespons hal itu, Rian Juru dari Litbang Floresa yang menjadi salah satu narasumber, berkata, posisi Gereja Katolik, khususnya seperti di Manggarai dalam konteks pembangunan memang tidak lagi menunjukkan sikap kritis seperti sebelumnya.
Ia menjelaskan, Gereja yang dulu berada di garis depan menolak perusahaan tambang di wilayah Manggarai dan Manggarai Timur, kini justru menjadi bagian dari penyokong proyek pembangunan yang dilabeli sebagai ekonomi hijau, seperti pariwisata dan energi terbarukan.
Agenda pembangunan ini, kata dia, tampaknya sejalan dengan bayangan Gereja Katolik tentang kemajuan.
“Namun, sikap ini bisa jadi mencerminkan Gereja yang sedang mengalami krisis di berbagai sektor,” katanya.
Ia menjelaskan, dengan ikut mendukung proyek-proyek itu, yang memicu konflik dengan warga, Gereja Katolik memposisikan diri sebagai bagian dari aktor hegemonik yang mendukung agenda negara dan global, serentak meninggalkan umat.
Venan Haryanto, salah seorang peneliti yang tengah studi doktoral di Universitas Bonn, Jerman menambahkan, Gereja Katolik dan banyak elemen di Flores belum menerapkan analisis ekonomi politik secara mendalam dalam menilai dampak pembangunan.
“Gereja tampaknya lebih fokus pada aspek yang terlihat layak, seperti klaim bahwa proyek tidak merusak lingkungan. Namun, mereka mengabaikan siapa sebenarnya yang diuntungkan oleh pembangunan tersebut,” katanya.
Ia juga menambahkan, relasi yang terlalu akrab antara Gereja dan pemerintah juga memperlemah posisi kritis Gereja terhadap proyek pembangunan.
Venan mengkritisi langkah Gereja yang meneken sejumlah Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan pemerintah, dalam rangka mendukung pelaksanaan sejumlah proyek.
Salah satunya adalah MoU Keuskupan Ruteng dengan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi pada 2 Oktober 2020. Menyusul penandatanganan MoU itu, dibentuk Tim Komite Bersama yang terdiri dari pemerintah, Keuskupan Ruteng dan perusahaan untuk melakukan sosialisasi ulang proyek geotermal Wae Sano.
“MoU antara Gereja dan pemerintah yang membuat Gereja kehilangan jarak dan sikap kritis terhadap kebijakan pembangunan,” katanya.
Reinterpretasi Bonum Commune
Sementara itu, Pastor Alsis Goa Wonga, OFM salah satu peserta mengakui bahwa di dalam Gereja Katolik, khususnya hirarki, ada pemahaman yang bermasalah tentang bonum commune.
Istilah itu merujuk pada konsep tentang kesejahteraan umum atau kebaikan bersama.
Dalam kerangka itu, gereja kemudian menyatakan dukungannya terhadap proyek-proyek pembangunan, seperti geotermal, dengan alasan demi kepentingan banyak orang.
Padahal, kata Alsis yang pernah menjadi Direktur JPIC-OFM Indonesia dan kini sedang studi di Roma, bonum commune mesti dibaca juga sebagai “kesejahteraan komunitas.”
Jadi, konsep itu tidak hanya merujuk pada kepentingan umum” sebagaimana yang selama ini dipahami.”
“Lantas, ketika ada penolakan masyarakat terhadap pembangunan yang merusak ruang hidup mereka, itu berarti tidak ada bonum commune di sana,” katanya.
Ia menambahkan, alih-alih percaya begitu saja dengan klaim-klaim yang menyertai proyek-proyek pembangunan, seperti demi investasi hijau dan sebagainya, Gereja Katolik juga mesti memberi perhatian pada nilai-nilai kearifan lokal dalam masyarakat.
“Gereja seharusnya menghidupkan kembali makna istilah ini dalam konteks lokal,” ujar Alsis.
Ia mencontohkan pentingnya mengintegrasikan konsep lampek lima atau lima pilar sebagai dasar hidup orang Manggarai ke dalam pendekatan Gereja terhadap pembangunan.
Lampek lima mencakup kesatuan ruang hidup, yakni kampung [gendang], kebun [uma bate duat], sumber mata air [wae barong], altar persembahan di tengah kampung [compang] dan ruang interaksi [natas labar].
Dengan demikian, katanya, semua hal itu turut diperhatikan dalam menyikapi suatu proyek dan aspirasi masyarakat benar-benar diperhatikan,
“Masyarakat adat harus menjadi subjek pembangunan, bukan sekadar objek konsultasi. Dengan begitu, perjuangan masyarakat untuk mempertahankan ruang hidup mereka dapat lebih bermakna,” tambahnya.
Sementara itu, Yosef Erwin Rahmat, warga Wae Sano menyatakan “Gereja harus kembali kepada misinya menyelamatkan keutuhan ciptaan dan berdiri di sisi masyarakat yang ruang hidupnya terancam.”
Yosef merupakan salah satu warga yang berada di garis depan menentang proyek geotermal di desanya.
Kendati sikapnya berbeda dengan Keuskupan Ruteng yang mendukung proyek itu, di Paroki St Mikael Nunang ia dipercayakan sebagai Ketua Komisi JPIC paroki. Di Konferensi Waligereja Indonesia, Uskup Ruteng, Siprianus Hormat merupakan ketua komisi serupa.
Dalam sebuah wawancara khusus dengan Floresa, Yosef menyatakan, penolakan terhadap proyek itu bagian dari upaya menyelamatkan keutuhan ciptaan, manusia dan lingkungan, seturut amanat Kitab Suci, juga yang digariskan dalam Laudato Si, ensiklik Paus Fransiskus tentang bumi sebagai rumah kita bersama.
Kritik terbuka serupa terhadap hirarki Gereja dalam polemik geotermal juga pernah disuarakan Tadeus Sukardin, warga Poco Leok. Merespons tema ekologi integral yang dipilih Keuskupan Ruteng untuk tahun pastoral 2024, ia berkata, tema itu kontras dengan pilihan-pilihan sikap keuskupan.
Sementara warga yang adalah umat Katolik dilanda kecemasan dan kegetiran terkait hidup mereka, kata dia, otoritas keuskupan memilih “diam.”
Kalau Keuskupan Ruteng mempunyai komitmen kuat menjaga keutuhan ciptaan sesuai misi gereja universal, kata Tadeus, mestinya berdiri bersama warga.
Adriani Miming dan Elisa Lehot berkolaborasi menulis laporan ini
Editor: Herry Kabut