Floresa.co – Pada pertengahan September, Elias Ndala tiba-tiba mendapat kabar bahwa Bupati Manggarai, Herybertus Gerardus Laju Nabit tidak lagi menginginkannya menjadi tenaga kesehatan atau nakes.
Ia satu-satunya nakes yang kontraknya tidak diperpanjang dari ratusan nakes yang pada Februari dan Maret tahun ini berunjuk rasa.
Elias memimpin aksi protes ke Pemerintah Kabupaten Manggarai pada Februari. Bersama 99 nakes dari 24 puskesmas, mereka menemui Sekretaris Daerah, Fansi Aldus Jahang dan Kepala Dinas Kesehatan, Bartolomeus Hermopan.
Mereka menuntut perpanjangan Surat Perjanjian Kerja [SPK] yang masa berlakunya habis pada Desember tahun lalu dan tambahan penghasilan yang terakhir kali diterima pada 2022.
Jumlah nakes yang mengajukan protes bertambah menjadi 300 orang saat mendatangi kantor DPRD Manggarai pada 6 Maret untuk mengikuti rapat dengar pendapat.
Namun, Nabit menyebut aksi para nakes sebagai bentuk pembangkangan hingga menyatakan tidak akan memperpanjang kontrak mereka. “Percayalah, atasanmu pasti perhatikan keluhanmu, tetapi yang pasti dengan aturan, bukan berdasarkan apa yang kau mau,” katanya dalam suatu pernyataan pada 11 April.
Keputusan Nabit ketika itu membuat 249 nakes berhenti bekerja selama April-September, sementara sisanya tetap bekerja.
Hal ini terjadi hingga muncul keputusan kontrak mereka kembali diaktifkan mulai Oktober, sebulan lebih sebelum Pilkada Manggarai, di mana Nabit bertarung lagi untuk periode kedua.
Dari 249 nakes itu, tiga yang kontraknya tidak diperpanjang. Selain Elias adalah satu nakes yang merantau ke Kalimantan dan satu lainnya yang meninggal.
Elias, 38 tahun, yang menjadi nakes selama lebih dari 13 tahun dengan status Tenaga Harian Lepas [THL] telah mencari jawaban ke Kepala Dinas Kesehatan, Bartolomeus soal alasan penghentian kontrak itu. Namun, ia tidak direspons. Sejumlah pertanyaannya via pesan WhatsApp hanya dibaca oleh Bartolomeus.
Sementara kepada Floresa, Bartolomeus berkata, “saya hanya sebagai eksekutor” keputusan bupati. Kebijakan berbeda untuk Elias, katanya, karena ia adalah aktor utama yang menggerakkan para nakes dalam aksi protes. Kontrak Elias tak diperpanjang “untuk mencegah hal-hal seperti itu terjadi lagi.”
Elias yang berbicara dengan Floresa pada 19 Oktober menyebut keputusan ini “tidak adil,” mengklaim bahwa saat melakukan protes, para nakes hanya “menyampaikan usulan” berdasarkan kesepakatan bersama bahwa “kami harus menuntut hak.”
Menyebut Pemerintah Kabupaten Manggarai, “khususnya bupati, tidak mau dikritik,” ia juga menduga penghentiannya “lebih berkaitan dengan dendam pribadi.”
Di sisi lain, Elias menyoroti kejanggalan pemberhentiannya tanpa ada surat resmi dari pemerintah dan SPK perpanjangan nakes lain.
Menurut Bartolomeus, kontrak baru nakes berlaku pada Oktober-Desember dan honor mereka diambil dari APBD Perubahan. Namun, dari salinan SPK salah satu nakes yang diperoleh Floresa, tertulis bahwa kontrak dimulai pada 1 Januari hingga 31 Desember 2024. Tanggal penandatanganan SPK juga pada 3 Januari. Padahal, surat itu diteken nakes pada akhir September dan sejak April-September mereka berstatus nonaktif dan tidak lagi menerima honor.
Soal kejanggalan itu, Bartolomeus beralasan, sejak April-September para nakes “sebenarnya bukan diberhentikan, tetapi dirumahkan sementara.” Sedangkan di balik keganjilan tanggal penandatangan SPK, ia beralasan, “kan tidak ada SK pemberhentian.” Perihal honor nakes selama April-September, katanya, “itu urusan pemerintah” dan “terdapat mekanisme perubahan anggaran yang membuat bujet tak terpakai dialihkan ke program lain.”
Ia menyebut keputusan ini diambil karena para nakes melakukan demonstrasi, hal yang bertentangan dengan prinsip “loyalitas” terhadap bupati dan merumahkan mereka sementara adalah “biasa dalam organisasi sebagai bentuk pembinaan.”
Kepada Floresa pada 5 November, Bartolomeus tetap menekankan bahwa Elias diberhentikan karena menjadi koordinator aksi protes “dan meninggalkan pasien.” Hal demikian “akan berdampak buruk ke depannya manakala dia melakukan hal seperti itu lagi.” “Yang rugi kan masyarakat, sehingga saya kira ini juga menjadi pelajaran kepada teman-teman yang lain,” katanya.
Hermanus Nurcahyadi Suparman, Direktur Eksekutif Komite Pemantau Penyelenggaraan Otonomi Daerah [KPPOD], lembaga yang salah satunya meneliti praktik penyelenggaraan pemerintah daerah, menilai pemberhentian dan pengangkatan kembali nakes menyalahi ketentuan ketertiban administrasi pemerintahan dan tidak menggambarkan kedewasaan bupati.
Arman, sapannya, menyayangkan keputusan pemberhentian para nakes sejak April tanpa surat resmi pemutusan hubungan kerja, termasuk terhadap Elias. Kalau mereka diaktifkan kembali pada Oktober, “seharusnya sudah ada revisi terhadap SPK yang ditetapkan sebelumnya”
Sementara Ferdinandus Jehalut, peneliti komunikasi dari The Indonesian Agora Research Center menyebut kasus yang dialami Elias adalah “bentuk otoritarianisme” kepemimpinan Nabit. Alasan pemberhentian karena memimpin aksi protes menunjukkan Nabit sebagai orang yang antikritik, katanya. “Apa salahnya kalau Elias Ndala menjadi koordinator aksi? Mereka menuntut hak-hak mereka. Bukankah kita hidup di negara demokrasi?,” kata Ferdinandus kepada Floresa.
Menggambarkan cara Nabit sebagai hard power atau menggunakan kekuasaan secara kasar, ia membandingkannya dengan “cara-cara soft power, halus, lembek, sering tidak disadari oleh masyarakat” yang kerap dipakai mantan Presiden Joko Widodo.
Siapa Nabit?
Nabit, 48 tahun, merupakan bupati kedelapan Manggarai, kabupaten di bagian barat Flores dengan populasi 328.758 ribu.
Ia menikah dengan Meldyanti Hagur, seorang pengusaha. Salah satu bisnis mereka adalah Toko Monas, tempat usaha dagang hasil perkebunan yang terletak di depan rumah pribadinya di Ruteng.
Ia masih memiliki garis keturunan dari Adak Todo, salah satu kerajaan di Manggarai yang dibentuk Belanda pada masa penjajahan. Ayahnya, Daniel Daeng Nabit menikah dengan Agnes Mboi yang berasal dari Pongkor, bagian dari Adak Todo di wilayah Kecamatan Satar Mese. Agnes adalah saudari dari Ben Mboi, Gubernur Nusa Tenggara Timur periode 1978-1988.
Nabit sempat kuliah di Institute of Social Studies, Den Haag, Belanda dan tamat pada 2007. Pada 2015, ia mundur sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Badan Lingkungan Hidup Daerah Manggarai, lalu menjadi politisi PDI Perjuangan.
Sebelum akhirnya meraih kursi bupati, ia telah dua kali gagal dalam dua pilkada sebelumnya, 2010 dan 2015.
Kemenangan Nabit pada 2020 tidak terlepas dari berbagai strategi, termasuk mengorganisir kaum muda ke dalam sebuah komunitas yang disebut “Laskar 88.”
Ferdinandus Jehalut menyebut “pembentukan Laskar 88” sebagai salah satu faktor kemenangan Nabit, bersamaan dengan strategi “menggerakkan buzzer politik”. Pendengung atau buzzer tersebut, kata dia, juga bekerja untuk Nabit setelah dia menang pilkada. “Ketika Hery Nabit terpilih, dia memiliki buzzer” yang “bekerja untuk membela kepentingannya.”
Temuan Ferdy merujuk pada risetnya sebagai mahasiswa pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada tentang pertarungan di media sosial dalam Pilkada Manggarai 2020. Bertajuk “Budaya Demokrasi Masyarakat Sipil Manggarai, Nusa Tenggara Timur di Media Sosial, Studi Kasus di Forum Grup Facebook Manggarai Bebas Berpendapat,” riset itu mengelaborasi peran pendengung memenangkan Nabit.
Tipe pendengung yang dipakai Nabit, katanya, adalah buzzer by design, berbeda dari buzzer yang lahir secara organik dari masyarakat sipil yang hendak mengkritisi kebijakan pemerintah. Buzzer Nabit menggunakan akun palsu atau anonim di media sosial.
Ia juga mengatakan Grup Facebook Manggarai Bebas Berpendapat diduga menjadi salah satu cara Nabit memengaruhi opini publik melalui media sosial, terutama karena admin grup tersebut, Ovan Wangkut, disebut-sebut sebagai “bagian dari rezim” atau staf ahli istri Nabit, Meldyanti Hagur.
Kontroversi Sejak Awal
Masalah yang menimpa para nakes hanyalah salah satu dari sejumlah kontroversi selama Nabit bersama wakilnya, Heribertus Ngabut memimpin Manggarai sejak 26 Februari 2021.
Hanya beberapa bulan usai pelantikan, ia membuat heboh ketika secara diam-diam mengangkat sekitar 100 orang THL di sejumlah dinas meski sudah dilarang oleh pemerintah pusat. THL itu berasal dari tim sukses, juga orang dekat sejumlah pejabat setempat, termasuk anak kandung Wakil Bupati Heribertus Ngabut, Femmy Ngabut. Femmy menjadi THL pada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Pada September 2022, Manggarai juga dihebohkan dengan pengakuan seorang kontraktor bahwa ia dimintai fee untuk bisa mendapat proyek dari dana APBD. Permintaan itu melibatkan istri Nabit, Meldyanti Hagur dan perantara Rio Senta, seorang mantan tim sukses saat pilkada yang bekerja sebagai THL pada Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Adrianus Fridus, kontraktor yang juga mantan tim sukses itu, mengklaim Meldyanti memintanya menyetor lima persen atau Rp50 juta dari empat paket proyek APBD sejumlah total Rp1,485 miliar. Uang tersebut diserahkan Fridus, yang dikawal Rio Senta, ke karyawan Toko Monas dengan sandi “kemiri 50 kilogram.”
Fridus juga mengaku Tomi Ngocung, ipar Nabit dan Wili Kengkeng, ketua tim sukses Pilkada 2020 memberitahunya bahwa ia harus menyerahkan fee tujuh persen demi mendapatkan jatah proyek. Kasus ini sempat diusut, termasuk dengan memeriksa Meldyanti, namun kemudian dihentikan karena Polres Manggarai mengklaim tidak cukup bukti.
Pada Februari 2023, di kabupaten itu juga terungkap praktik pungutan liar dalam pengurusan dokumen kependudukan, seperti KTP elektronik, yang melibatkan Alfons, seorang mantan tim sukses Nabit saat Pilkada 2020. Alfons memberi jaminan lewat ‘pintu belakang’ kepada beberapa warga yang kesulitan mendapatkan KTP karena alasan kehabisan blanko di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Pada profil Whatsapp-nya, Alfons memasang foto dirinya bersama Nabit, hal yang membuat sejumlah korbannya yakin mereka bisa dibantu meski harus membayar Rp100 ribu per KTP.
Tim Sukses Main Proyek
Kasus dugaan jual beli proyek yang menyeret istri Nabit pada masa awal pemerintahannya hanyalah salah satu contoh sengkarut proyek infrastruktur dari dana APBD yang melibatkan orang dekat dan tim sukses dalam pilkada. Modusnya antara lain dengan praktik ‘pinjam bendera’ yang melibatkan orang dekatnya.
Pada Oktober 2023, warga di Dusun Ojang, Desa Lante, Kecamatan Reok Barat membongkar kembali susunan batu pendukung lapis penetrasi pada sebuah ruas jalan di wilayah itu karena menilai pengerjaannya oleh kontraktor asal-asalan. Pengerjaan jalan tersebut oleh Baba Doni – merujuk ke Doni Wangari, kontraktor berbasis di Ruteng -, tetapi dengan meminjam bendera CV Kali Kassa milik Yohanes Jelaut yang beralamat di Manggarai Timur. Yosep Wangari – adik dari Baba Doni, diduga dekat dengan Nabit karena sempat mengikuti kampanye saat Nabit ikut Pilkada 2020.
Bendera CV Kali Kassa milik Yan Jelaut bukan satu-satunya yang pernah dipinjam Baba Doni. Ia juga meminjam bendera CV Delta Flores milik Denny Nggana dalam proyek pembangunan Ruang Kelas Baru MTs An Najah di Reo, Kecamatan Reok pada 2023. Proyek tersebut sempat bermasalah karena Doni tidak melunasi upah pemborong. Denny Nggana kemudian melunasi upah tersebut setelah pemborong sempat mengancam untuk membongkar kembali hasil pengerjaannya.
Orang dekat dan tim sukses Nabit lainnya yang terlibat kasus serupa adalah Alex Apri Kulas, kontraktor proyek lapisan penetrasi peningkatan jalan di Lungar-Mocok-Mbaupuni di Kecamatan Satar Mese dengan anggaran Rp1.000.000.000. Meminjam bendera CV Dian Jaya milik Fulgenius Almun, ia tidak membayar sepenuhnya upah pekerja hingga proyek tersebut sampai ke tahap serah terima sementara pada awal November tahun lalu.
Warga yang menjadi pekerja proyek berkali-kali mendatangi rumah Apri di Waso, Kecamatan Langke Rembong, namun ia mangkir melunasi upah, kendati sebelumnya meneken surat perjanjian resmi untuk pelunasan. Informasi yang diperoleh Floresa, hingga November ini, Apri belum melunasi seluruh upah pekerja tersebut.
Ulah orang dekat Nabit yang merugikan warga juga terjadi dalam kasus ‘bantuan rumah dari pemerintah’ yang terungkap pada awal tahun ini. Warga di Kelurahan Carep, Kecamatan Langke Rembong mengaku dimintai uang dan menandatangani sebuah surat pernyataan bermeterai oleh Sony Malung, mantan Ketua Laskar 88, demi mendapatkan bantuan rumah layak huni.
Rofinus Nakut, nama warga itu, mengatakan Sony mengambil foto rumahnya dan mendatangi 60 rumah warga lainnya. “Kami percaya begitu saja karena kami tahu bahwa Sony adalah salah satu orang dekat Bupati Manggarai. Saat Pilkada 2020, Sony sebagai koordinator Laskar 88 Kelurahan Carep,” katanya.
Abaikan Suara Warga Poco Leok
Kontroversi lain Nabit terjadi dalam polemik proyek geotermal Poco Leok, salah satu Proyek Strategis Nasional di Flores.
Pada 1 Desember 2022, Nabit mengeluarkan SK penetapan lokasi proyek itu, yang kemudian memicu protes warga karena tanpa sepengetahuan mereka. Dalam demonstrasi di Ruteng pada 9 Agustus 2023, warga dari 10 gendang atau kampung adat di Poco Leok menuntut Nabit mencabut SK itu, mengkhawatirkan dampak destruktif proyek geotermal di sekitar ruang hidup mereka.
Sejak terbitnya SK itu, warga berkali-kali mengadang pemerintah dan PT PLN, termasuk menghalangi Nabit saat berkunjung ke wilayah mereka pada 27 Februari 2023. Membentangkan beberapa spanduk yang berisikan satire, ratusan warga berteriak marah sembari menyatakan “tidak sudi dikunjungi bupati yang bertentangan dengan kehendak rakyat.”
Penolakan itu membuatnya berbicara dengan suara keras, menyatakan: “Nggo’o de meu caran tiba meka? Eme nggooy caran, toe ma coon kole laku. Toe ma coon. E, toe ma coon. Bupati kaku! Bupati kaku! Bupati kaku!”: “Begini cara kalian menerima tamu? Kalau begini caranya, bagi saya tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Ya, tidak apa-apa. Saya bupati! Saya bupati! Saya bupati!”
Pencabutan SK penetapan lokasi yang diteken secara diam-diam itu juga menjadi salah satu tuntutan warga dalam aksi penolakan proyek tersebut di Ruteng pada 9 Agustus 2023. Hingga kini, proyek itu masih menuai polemik, di mana warga terus bertahan dengan sikap penolakan, sementara pemerintah dan PT PLN, yang dikawal aparat keamanan berulang kali mendatangi lokasi.
Membangkang terhadap Putusan Mahkamah Agung
Dua tahun silam Nabit memberhentikan 26 ASN melalui SK Nomor HK/67/2022 tanggal 31 Januari 2022. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12 orang di antaranya memilih melawan keputusan Nabit dengan menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara [PTUN].
Dalam perkara ini, Nabit kalah beruntun mulai dari pengadilan tingkat pertama PTUN Kupang, banding ke Pengadilan Tinggi TUN Mataram, hingga kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, ia memilih tidak menjalankan putusan pengadilan.
Sebelum para ASN menempuh jalur hukum, Komisi Aparatur Sipil Negara telah menyatakan keputusan Nabit keliru. Dalam surat pada 28 Maret 2022, wakil ketua komisi itu, Tasdik Kinanto memerintahkan Nabit membatalkan pemberhentian para ASN. Namun, rekomendasi itu diabaikan, berujung langkah para ASN menggugatnya.
Dalam debat Pilkada Manggarai pada 30 Oktober 2024, Nabit menyinggung keputusan kontroversial tersebut, menyebutnya sebagai “putusan-putusan yang memang tidak bisa dieksekusi.”
Alasannya, kata Nabit merespons pertanyaan salah satu pesaingnya Maksi Ngkeros, putusan tersebut merupakan “putusan PTUN” yang eksekusinya “tergantung kepada pengambil keputusan atau pengambil kebijakan.”
“Kalau ditanya, apakah melanggar, secara umum bisa dikatakan melanggar, tetapi tergantung keputusan pada hal-hal apa atau terkait kebijakan apa kepastian-kepastian hukum harus diberikan. Bagi saya, melaksanakan keputusan berkekuatan hukum tetap atau tidak melaksanakannya, itu juga memberikan kepastian hukum,” katanya.
Sementara itu, ketika ditanya terkait etika dan nilai moral dalam kasus tersebut, Nabit mengatakan pihaknya telah melaksanakan perintah Mahkamah Agung dengan melantik sembilan dari 26 ASN yang diberhentikan.
“Kemudian ada beberapa yang memang memasuki masa pensiun, sedangkan sisanya memang sedang menunggu untuk dilantik kembali untuk ditempatkan,” katanya.
Program Favorit yang Tidak Jelas Realisasinya
Saat Pilkada 2020, selain mengorganisir kaum muda ke dalam sebuah komunitas yang disebut “Laskar 88” untuk pemenangan, Nabit menggembar-gemborkan “Program Petani Milenial.” Program itu diklaim akan merangsang pemuda mengerjakan lahan produktif maupun yang belum digarap.
Ia juga mengklaim program itu “bakal menyediakan komoditas strategis sesuai tren pasar,” dan ditargetkan akan “menjadi salah satu jalan keluar mengatasi pengangguran.” Salah satu strateginya adalah memberi bantuan dana Rp1 juta per petani muda untuk membersihkan lahan.
Dalam rangka menyukseskan program tersebut, Nabit berjanji memaksimalkan PT Manggarai Multi Investasi, BUMD Kabupaten Manggarai, sebagai sumber pembiayaan, termasuk untuk program menaikkan 100 persen gaji guru komite.
Data statistik dan pengakuan petani serta pedagang pasar menunjukkan program tersebut gagal. Menurut data Badan Pusat Statistik, luas panen tanaman sayur menurun selama periode kepemimpinan Nabit, kendati Manggarai adalah kabupaten dengan jumlah petani milenial terbesar kedua di NTT setelah Timor Tengah Selatan.
Selama tiga tahun sebelum 2021, luas panen tanaman sayuran di Manggarai selalu di atas 700 hektare [ha], masing-masing 744 ha [2018], 776 ha [2019] dan 761 ha [2020]. Selama era Nabit, luas panen tanaman sayuran menurun drastis menjadi hanya sekitar 464 ha [2021], 497 ha [2022] dan 416 ha [2023]. Produksi sayuran juga menurun pada 2021 dan 2022. Dari 15.846 kuintal pada 2021 menjadi 10.065 kuintal pada 2022.
Pada 2023, produksi sayuran di Manggarai memang kembali naik menjadi 26.956 kuintal. Namun, jumlah tersebut masih lebih rendah ketimbang produksi sayuran pada 2020 yang mencapai 29.104 kuintal.
Sementara realisasi program dukungan pengembangan potensi pertanian tidak menunjukan hasil memuaskan, warga Manggarai masih bergantung pada hasil pertanian dari daerah lain. Arsenius Juniagu, pedagang sayur Pasar Puni di Ruteng berkata, pasokan sayur dari lahan pertanian di Manggarai “masih sangat terbatas” untuk memenuhi kebutuhan pasar-pasar di Ruteng. Keterbatasan pasokan sayur membuatnya “terpaksa menerima stok dari luar kabupaten.” Sawi putih misalnya, katanya kepada Floresa, “kami pasok dari Bajawa,” Kabupaten Ngada.
Di tengah gagalnya program itu, PT Manggarai Multi Investasi, yang disebut menjadi mesin pembiayaan tersandung berbagai masalah, termasuk menjadi bancakan elite politik dan pebisnis lokal. Perusahaan tersebut memiliki 107 debitur dengan kategori “sulit ditagih”, di antaranya terdapat 16 pihak, baik orang pribadi – termasuk direksi dan komisaris – maupun badan usaha, yang memiliki nilai kewajiban di atas Rp100 juta. Mengutip laporan auditor independen pada 25 Maret 2023, PT Manggarai Multi Investasi memiliki piutang senilai Rp6,97 miliar.
Sejumlah sosok yang ada di kursi kepemimpinan perusahaan itu dan orang dekat Nabut juga masuk dalam daftar debitur macet, membuat perusahaan itu kini diusut kejaksaan. Salah satu yang berutang dan belum dibayar adalah orang dekat Nabit, Sekretaris Daerah Fansy Aldus Jahang. Fansy memiliki total kewajiban sebesar Rp222 juta per akhir 2022. Jumlah tersebut meningkat dari Rp122 juta pada akhir 2021.
Di sisi lain, masalah kebutuhan dasar, seperti air bersih masih menjadi persoalan serius di Ruteng, yang berulang kali dikeluhkan warga. Dalam debat publik pada Pilkada 2020, Nabit secara khusus menyebut ketersediaan air bersih menjadi penting, termasuk dalam mengatasi tengkes atau stunting. “Kita tahu, di sebagian besar kecamatan, masalah air bersih ini masih menjadi salah satu tantangan bagi pemerintah ke depan. Karena itu, penyediaan air bersih, air baku untuk air minum itu akan menjadi perhatian pemerintah,” kata Nabit dalam debat pada 14 November 2020 itu.
Namun, dalam debat pada 30 Oktober 2024, Nabit tidak lagi menyinggung soal masalah ini, berbeda dengan dua pesaingnya. Sementara warga mengeluhkan air, saat ini di Ruteng terdapat tiga perusahaan air minum kemasan yang memanfaatkan air tanah, yakni air merek Ruteng, Afio dan Hydrofresh. Ketiganya memasarkan produk di wilayah Manggarai Raya dan wilayah lainnya di Flores.
Pengawasan Melempem
Di tengah berbagai kontroversi ini, nyaris tidak terdengar sikap kritis dari berbagai elemen sipil di tingkat lokal, termasuk dari DPRD Manggarai.
Lucius Karus, peneliti Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia menduga absennya DPRD dalam mengontrol kebijakan bupati terjadi akibat “gejala koalisi pendukung pemerintah yang diartikan oleh partai politik sebagai bentuk kerja sama politik.” Kerja sama itu, “mematikan fungsi kritis dan kontrol DPRD terhadap bupati” dan merasa “menjadi bagian dari kebijakan yang diambil oleh bupati.”
Pada Pilkada 2020, Nabit dan Ngabut diusung oleh koalisi PDI-Perjuangan, Golkar, PKB, Gerindra, Hanura dan PKS yang menjadi pemilik kursi mayoritas, 22 dari total 35 kursi DPRD. Sebanyak 13 kursi sisanya berasal dari Partai Amanat Nasional, Demokrat dan Nasdem.
Lemahnya peran itu, kata Lucius kepada Floresa pada 28 Oktober, bisa jadi bukan hanya karena alasan politik, tetapi “ada transaksi supaya anggota DPRD didiamkan oleh bupati.” Modus-modus seperti memberikan proyek atau uang, kata dia, terjadi di banyak daerah, hal yang membuat DPRD menjadi seperti “bebek lumpuh.”
Lucius juga menyoroti absennya DPRD mengontrol dan mengawasi fenomena “proyek-proyek APBD yang jadi bancakan tim sukses.” Relasi penguasa, pengusaha dan politisi di daerah, kata dia, memang sulit dikontrol DPRD karena “sangat mungkin” mereka menjadi bagian dari persoalan itu. Ia berkata, DPRD juga ada di pihak penguasa dan pengusaha sehingga “tidak bisa diharapkan bisa mengkritisi pengusaha yang melanggar hak-hak dari para pekerja.” DPRD, kata dia, “tidak punya taring untuk mengontrol praktik bagi-bagi kue proyek” antara bupati dan tim sukses karena “mereka sudah terjebak dalam relasi yang transaksional itu.”
Sementara itu, Arman Suparman dari KPPOD menyoroti sejumlah masalah cacat prosedur selama era Nabit. Dalam kasus terkait ASN misalnya, kata dia, setiap kepala daerah seharusnya menjalankan rekomendasi atau putusan lembaga lain yang diberi kewenangan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti Komisi Aparatur Sipil Negara. Ia meyakini bahwa dalam memberikan rekomendasi atau putusan, lembaga-lembaga tersebut tentu sudah melakukan penyelidikan.
Arman mengatakan indeks reformasi birokrasi Kabupaten Manggarai, berdasarkan data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada 2023 menunjukkan tren positif. “Tahun 2022, Manggarai masuk kategori CC, sementara pada 2023 dia sudah masuk di kategori B,” katanya, kendati nilainya belum di atas 70,” dari skor 1-100. Meski demikian, ia memberi catatan terkait penilaian tersebut, yang “lebih banyak terkait dengan administrasi” atau “lebih ke sisi akuntabilitas vertikal” dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.
“Yang jadi catatan kita sebetulnya pada dimensi akuntabilitas horizontal, terutama bagaimana kinerja layanan itu betul-betul dirasakan dampaknya oleh masyarakat sebagai pengguna layanan,” katanya. Ia menambahkan, kalau bicara dalam konteks akuntabilitas horizontal itu, sebetulnya melihat beberapa polemik, sebetulnya ada catatan besar untuk Hery Nabit.
Sementara Ferdinandus Jehalut menyoroti “problem cacat komunikasi” yang ditunjukkan Nabit. Salah satunya dalam kasus Poco Leok. Ia berkata, pemerintahan Nabit “tidak menerapkan prinsip partisipasi yang bermakna dari masyarakat karena memutuskan lebih dulu baru berkomunikasi dan meminta pendapat masyarakat.” “Tujuan komunikasi dengan masyarakat itu untuk apa kalau keputusannya sudah ada?,” katanya.
Maju Lagi dalam Pilkada
Nabit maju lagi dalam pilkada pada 27 November, namun tidak lagi bersama Heribertus Ngabut sebagai pasangannya. Ia maju bersama Fabianus Abu, pengurus Dewan Pimpinan Daerah Partai Nasdem Manggarai, sekaligus anggota DPRD Manggarai periode 2014-2019 dan 2019-2024. Ia sempat maju lagi pada pemilu Februari lalu, namun tidak terpilih.
Sama seperti pada pilkada empat tahun lalu, Nabit juga mengorganisir kaum muda, kendati namanya berubah menjadi “Konco 86.” Ia bersama barisan pendukungnya menyerukan slogan “Tuntaskan, Maju Lebih Cepat.” Melalui slogan itu, Nabit mengklaim “empat tahun adalah waktu yang tidak cukup untuk menghadirkan perubahan di Manggarai, apalagi pelaksanaan beberapa program pembangunan terpaksa ditunda karena terhalang Covid-19.” Karena itu, keputusan bertarung lagi untuk menuntaskan beberapa agenda pembangunan yang sempat tertunda sehingga Manggarai bisa semakin maju.
Sementara euforia tentang para calon menyusup hingga ke kampung-kampung, Elias Ndala kini berpikir keras bagaimana bertahan hidup setelah menjadi korban kebijakan Nabit.
Elias, yang pertama kali menjadi THL pada Juni 2011 mendapatkan honor awal sebesar Rp850 ribu. Angka itu meningkat secara perlahan setiap tahun. Sejak 2022 honornya meningkat menjadi Rp2.026.750.
Mengingat lagi pengabdian bertahun-tahun yang berujung pemecatan karena berupaya menuntut hak, Elias berkata: “Saya belum bisa terima keputusan ini, karena belum punya alasan atau jawaban dari bupati bahwa saya diberhentikan dengan alasan apa?” “Kalau alasan karena koordinator aksi, itu bukan kemauan saya sendiri, tapi disepakati oleh teman-teman,” katanya.
Elias sempat mencoba keberuntungan dengan mengikuti seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja pada Oktober, namun dinyatakan gagal pada tahap pertama yakni seleksi administrasi. Dalam pengumuman hasil seleksi administrasi yang diterimanya pada 1 November, dia dinyatakan tidak lolos “karena belum memenuhi persyaratan administrasi instansi yang dilamar.” Persyaratan tersebut adalah “bukti surat keterangan aktif bekerja pada instansi pemerintah tempat bekerja saat mendaftar yang ditandatangani oleh pimpinan unit kerja, dan pada riwayat pekerjaan tidak terdapat SK pengangkatan sebagai non-ASN untuk tahun 2024.”
Persyaratan lainnya yakni surat keterangan bekerja yang ditandatangani oleh pimpinan unit kerja, pengalaman di bidang kerja sesuai dengan kompetensi tugas jabatan yang dilamar.
Elias gagal mendapat dua surat itu kendati ia telah berulangkali memintanya kepada Kepala Dinas, Bartolomeus Hermopan.
Semenjak sudah tidak lagi bekerja sebagai nakes, ia bersama istrinya yang menjadi guru komite di salah satu Sekolah Dasar mencari nafkah dengan beralih menjadi petani, sembari beternak babi. Mereka memiliki tiga orang anak, yang pertama kini duduk di kelas 6 SD, kedua di kelas 2 SD dan ketiga berusia 1 tahun 1 bulan.
Ditanya soal nasib Elias kini, Bartolomeus berkata memang “sangat disayangkan, tetapi kan pemerintah mesti mengambil keputusan.” “Kalau tidak ada tindak tegas terhadap hal-hal seperti itu, mau dibawa ke mana ini Manggarai ke depannya,” katanya.
Ia mengklaim “pemerintah tidak antikritik dan antidemokrasi.” Buktinya, “media tetap kita layani [untuk wawancara] dan demokrasi juga tetap berjalan.” Pemerintah Kabupaten Manggarai, katanya, memiliki visi “membangun demokrasi” dan “membangun pers,” tetapi “pers juga kan harus punya perspektif saya, perspektif pemerintah.”
Nabit tidak merespons permintaan Floresa berulang kali untuk wawancara terkait laporan ini.
Mikael Jonaldi, Arivin Dangkar, Herry Kabut dan Anno Susabun berkolaborasi mengerjakan laporan ini
Editor: Ryan Dagur
Pengerjaan laporan ini didukung oleh Project Multatuli