Floresa.co – Anak muda Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara bertemu dalam Flores Writers Festival 2024, solidaritas merawat identitas lokal di sela perubahan sosial-budaya.
Terselenggara secara tahunan sejak 2021, kegiatan ini diinisiasi Komunitas KAHE yang berbasis di Maumere, Kabupaten Sikka dan Klub Buku Petra di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai.
Dalam bahasa Krowe di Maumere, ibu kota Sikka, “kahe” berarti puisi.
Mengimbuh tema “Pena Beto,” tahun ini kegiatan digelar pada 8-12 Oktober di rusun Keuskupan Larantuka, Kabupaten Flores Timur.
Dalam frasa bahasa Lamaholot, “pena beto” berarti “pergi dan kembali.”
Flores Writers Festival 2024 mengangkat tema “Pena Beto” guna menggambarkan perantauan seseorang yang lahir serta tumbuh di kampung-kampung Flores dan sekitarnya.
Di tengah-tengah perantauan itu ia kembali ke kampung, membawa serta pengetahuan dan kebajikan dari tempat-tempat yang ia kunjungi.
Ovyn Wangge, ketua Komunitas Remaja Mandiri asal Detusoko Barat, Kabupaten Ende telah kedua kalinya terlibat sebagai peserta Flores Writers Festival, setelah sempat mengikuti pada gelaran 2022.
Menurut Ovyn, tema Flores Writers Festival tahun 2024 sejalan dengan fokus komunitasnya di Desa Detusoko Barat, Kabupaten Ende.
“Pena Beto” menggerakkan Komunitas Remaja Mandiri untuk “mengadvokasi warga desa guna membangun sesuai identitas lokal.”
Menurut Ketua Komunitas KAHE, Eka Putra Nggalu, sejak awal Flores Writers Festival 2024 berfokus melacak manusia sebagai “subjek” yang hidup, menjadi aktor sosial, menggerakkan, digerakkan dan memaknai seluruh gerakan perubahan.
“Flores Writers Festival 2024 berusaha membaca kembali Flores dalam sejarah dan kontekstualisasi yang relevan pada hari ini,” kata Eka.
Eka menyatakan Flores Writers Festival 2024 dibuat mendalam dengan melibatkan kelas publik dan sesi intensif sebagai basis perjumpaan kolektif sesama penulis dan pegiat seni komunitas.
“Inti utama kegiatan lima hari ini, yaitu menciptakan karya atau proyek kreatif dari identifikasi mendalam atas isu, potensi, dan modal sosial masyarakat,” kata Eka kepada Floresa.
Selain kelas menulis, penyelenggara festival juga menyisipkan praktik riset yang diikuti pegiat seni Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara, agenda yang menurut Eka “dapat memperkuat sekaligus merekatkan para pemerhati dan pegiat perubahan.”
Mengenali Bias, Menjaga Keseimbangan
Flores Writers Festival 2024 turut menghadirkan sejumlah novelis, kolumnis dan pegiat dari pelbagai cabang seni, termasuk Eka Kurniawan, Yudi Ahmad Tajudin, Shinta Febriani, Adhe Nuansa Wibisono dan Mario F. Lawi.
Bersama novelis Eka Kurniawan, para peserta festival berdiskusi soal memilih bahan bacaan, mencari keseimbangan antara minat pribadi dan tujuan-tujuan kepenulisan, mengenali dan membongkar berbagai bias, serta menavigasi pembacaan.
Festival juga digunakan Eka Kurniawan untuk memperkenalkan novel terbarunya, “Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong” yang terbit pada Juli.
Sementara itu Mario F. Lawi, penyair kelahiran Kupang membagikan refleksi atas apa yang disebutnya “lokalitas dalam paradigma pascakolonial.”
Menurut Mario, penulis Indonesia perlu mengarusutamakan gagasan dan kebudayaan lokal, upaya yang menurutnya dapat menjadi resiliensi di tengah-tengah menjamurnya gagasan seni global.
Selain berefleksi akan karya tulis Nusa Tenggara Timur, sutradara sekaligus pendiri Teater Garasi, Yudi Ahmad Tajudin berbagi pengalaman penciptaan empat sekuel pementasan teater “Waktu Batu.”
Berpijak pada mitologi Jawa, Waktu Batu dipentaskan sebagai pembacaan kritis terhadap modernitas masyarakat Indonesia.
RD. Hans Monteiro, Pr mengangkat “Larantuka di Flores Timur dalam Perspektif Sunda Kecil sebagai Kawasan Geopolitik dan Geokultural.”
Sedangkan Bastian Limahekin, SVD berbicara mengenai tema “Ekologi; Mediasi dan Perawatan Ruang Kultural”, yang menurutnya, ada hubungan timbal-balik dan saling menegaskan antara kesadaran kehidupan (alam-lingkungan) dengan penciptaan ruang-ruang budaya.
Pelajaran Baru
Peserta festival merupakan mereka yang karya tulisnya lolos seleksi para kurator.
Cerita pendek (cerpen) Yanti Mesak, anggota Komunitas Dusun Flobamora yang berjudul “Bapak yang Menembak Mati Ibumu” lolos seleksi, menjadikannya salah satu peserta festival.
Meski beberapa cerpen yang ditulisnya terbit pada Jurnal Sastra Santarang, ia merasa perlu pendampingan soal menulis fiksi termasuk “disiplin menyusun struktur narasi,” pelajaran yang ia dapatkan dalam festival.
Sementara peserta lain, Rikardus Ciprian Wawo mengaku mendapat pengetahuan soal cara menghidupkan tokoh, sudut penulisan, membangun dialog serta efisiensi kata dan kalimat.
Ricko, yang lolos seleksi lewat cerpennya, “Melihat Cecak Bercinta,” merasa senang didampingi para penulis yang membantunya “memperbaiki cara menulis cerpen.”
Ete Luruk, yang lolos seleksi lewat dua puisinya, “Bapak Cresendo” dan “Laras Pancer Mama” mendapat pelajaran soal “bunyi teratur dalam penulisan puisi.”
Ketua Komunitas KAHE, Eka Putra Nggalu mengatakan Flores Writers Festival direncanakan digelar kembali pada 2025 di Labuan Bajo, “kota yang katanya kaya dan mahal itu.”
Editor: Anastasia Ika