Floresa.co – Kasus kekerasan terhadap Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut pada 2 Oktober telah memantik respons secara luas dari berbagai kalangan, yang menganggapnya sebagai pelanggaran serius terhadap kebebasan pers di Indonesia.
Peristiwa itu terjadi saat Herry sedang meliput aksi protes warga Poco Leok di Kabupaten Manggarai, menolak proyek geotermal.
Koordinator Satuan Tugas Antikekerasan terhadap Jurnalis Dewan Pers, Erick Tanjung menyatakan terdapat tiga poin pelanggaran yang dilakukan aparat, termasuk seorang jurnalis yang bersama-sama melakukan aksi pemukulan, yakni kekerasan fisik, perampasan alat kerja dan intimidasi.
Erick yang ditugaskan Dewan Pers untuk melakukan asesmen lapangan terkait kasus tersebut juga menyatakan, kekerasan aparat terhadap Herry “sudah memenuhi unsur pidana”, yakni melanggar Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999, dengan ancaman pidana penjara 2 tahun dan denda Rp500 juta.
“Kasus ini tidak bisa dianggap sepele, ini kasus serius dan mengancam kemerdekaan pers di Indonesia,” katanya dalam konferensi pers di Labuan Bajo pada 7 Oktober.
Konferensi pers itu dihadiri Herry dan warga Poco Leok yang juga menjadi korban kekerasan.
Soal Kartu Identitas
Pada 2 Oktober, Herry meliput aksi “jaga kampung,” warga adat Poco Leok untuk menolak aktivitas pengukuran dan pematokan lahan jalan akses di tanah ulayat atau Lingko Meter, salah satu wilayah ulayat milik Gendang Lungar.
Herry yang tengah mengambil foto tiga orang warga yang ditahan oleh polisi di dalam mobil dipanggil seorang polisi wanita, menanyakan tujuannya mengambil foto tersebut.
Ia kemudian masuk ke mobil untuk memberi penjelasan kepada polisi tersebut bahwa ia adalah jurnalis Floresa.
Polisi tersebut lalu menanyakan ID Card, merujuk pada kartu identitasnya sebagai jurnalis, yang direspons Herry dengan mengatakan ia membawa surat tugas sebagai jurnalis, sekaligus menegaskan statusnya sebagai Pemimpin Redaksi Floresa.
Saat tengah memberikan penjelasan kepada polisi itu, beberapa polisi lainnya datang, menuding Herry sewenang-wenang masuk ke dalam mobil dan menyuruhnya turun.
Kekerasan terhadap Herry bermula ketika turun dari mobil, di mana polisi mengunci lehernya, diikuti serangkaian aksi pemukulan – cekik, tinju, tendang – di beberapa bagian tubuh, termasuk kepala.
Selain aparat, seorang jurnalis yang ikut dalam rombongan mobil aparat, PT PLN dan Pemda Manggarai juga memukul Herry.
Aksi tersebut terjadi bersamaan dengan perampasan dan pemeriksaan isi ponsel dan laptop Herry, berdalih mengecek surat tugas yang mengonfirmasi pengakuannya sebagai Pemimpin Redaksi Floresa.
Dalam konferensi pers menanggapi kasus tersebut pada 5 Oktober, Kapolres Manggarai, AKBP Edwin Saleh membantah adanya kekerasan terhadap warga dan jurnalis, menyebut anggotanya bertindak sesuai SOP pengamanan di lokasi proyek.
Ia mengklaim pihaknya melakukan pengamanan terhadap masyarakat yang dinilai melakukan provokasi.
Ia juga menuding Herry “mengabaikan SOP dan Kode Etik Jurnalistik” karena tidak menunjukkan bukti identitas sebagai jurnalis, kontras dengan pengakuan Herry yang menyebut aparat dan seorang jurnalis menganiayanya kendati sudah berusaha menunjukkan surat tugas.
Terkait tudingan tersebut, Kapolres juga mengklaim dirinya “punya hak untuk membuat laporan ke Dewan Pers.”
Dewan Pers: “Pemimpin Redaksi Flores Sudah Menjalankan Kode Etik Jurnalistik”
Erick Tanjung dari Dewan Pers mengatakan aparat seharusnya menghormati upaya Herry menunjukkan surat tugasnya sebagai jurnalis, alih-alih memakai alasan tidak punya ID Card untuk melakukan penganiayaan.
“Berdasarkan verifikasi yang sudah dilakukan, Herry sebagai jurnalis dan sebagai Pemimpin Redaksi Floresa sudah menjalankan kode etik jurnalistik pada saat liputan,” katanya.
Karena itu, kata dia, aparat yang melakukan penganiayaan harus diproses, “termasuk yang melakukan perintah.”
Erick menambahkan, Dewan Pers akan menyurati Kapolri dan Panglima TNI untuk melakukan pemeriksaan terhadap anggota mereka atas peristiwa ini.
Hal itu, kata dia, demi komitmen memutus rantai kekerasan kepada jurnalis.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Forum Advokat Manggarai Raya atau Famara, Siprianus Edi Hardum mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk memeriksa Kapolres Manggarai “serta anak buahnya yang diduga menyekap dan menganiaya Herry.”
Ia menyayangkan keterangan Kapolres bahwa Herry diamankan karena tidak menunjukan kartu pers, sementara Herry menunjukan surat tugas dan keterangan statusnya di web Floresa.
“Keterangan Kapolres seperti ini menunjukan beliau kurang paham UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik serta Pedoman Pemberitaan Media Siber,” tegas mantan wartawan dan redaktur Harian Umum Suara Pembaruan ini.
Edi menjelaskan, dalam Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik dinyatakan bahwa wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran bunyi pasal cara-cara yang profesional salah satunya adalah menunjukkan identitas diri kepada narasumber.
“Jadi, menunjukan identitas itu bukan hanya terpaku pada kartu pers, tetap juga surat tugas. Bahkan surat tugas lebih tinggi posisinya dari kartu pers,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta ini.
Komite Keselamatan Jurnalis [KKJ], gabungan dari 10 organisasi jurnalis, media dan masyarakat sipil menyebut kekerasan terhadap Herry sebagai “pelanggaran berat terhadap jaminan perlindungan kerja jurnalistik, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.”
Dalam siaran pers pada 3 Oktober, KKJ juga menyatakan kekerasan terhadap Herry yang tengah menjalankan profesinya merupakan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.
Anggota komite ini antara lain Lembaga Bantuan Hukum [LBH] Pers, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia [YLBHI], Amnesty International Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen [AJI], Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia [IJTI), Asosiasi Media Siber Indonesia [AMSI], Southeast Asia Freedom of Expression Network [SAFEnet], Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia [PWI], serta Federasi Serikat Pekerja Media Indonesia [FSPMI].
Komite juga mendesak investigasi dan pengusutan tuntas kasus tersebut, dengan memproses aparat secara pidana dan kode etik.
Sementara itu, Floresa merespons kasus yang menimpa Herry dengan menyatakan sikap menempuh jalur hukum, termasuk melaporkan jurnalis yang ikut bersama aparat melakukan penganiayaan.
Terkait persoalan ID Card, Floresa menilai alasan tersebut “dipaksakan dan terus-menerus digunakan polisi karena memang hanya itu satu-satunya alasan yang bisa dipakai untuk membenarkan tindakan mereka.”
Pemimpin Umum dan Editor Floresa Ryan Dagur menyatakan kartu pers hanya merupakan salah satu penanda identitas seseorang sebagai jurnalis.
Dalam kasus tersebut, sebagaimana diterangkan Herry, aparat terus melakukan pemukulan saat ia tengah berusaha menjelaskan statusnya sebagai pemimpin redaksi, dengan mengecek surat tugas yang dia tandatangani untuk jurnalis Floresa lainnya.
“Ia juga menunjukkan statusnya sebagai pemimpin redaksi di web Floresa. Namun, ia tetap saja ditahan, ponselnya tetap dikuasai polisi, lalu dipaksa berbicara dalam sebuah video dengan kata-katanya yang didikte polisi sebagai alasan untuk bebas,” kata Ryan.
Karena itu, penangkapan dan penganiayaan terhadap Herry patut diduga merupakan aksi yang disengaja, terutama karena aparat yang memukulnya juga melakukan intimidasi dengan mengatakan “saya sudah memantau kau punya pergerakan selama ini.”
Editor: Anno Susabun