Orasi di Depan Mapolda NTT, Warga Poco Leok Mengaku ‘Seperti Sedang Hidup di Lokasi Perang,’ Ceritakan Peristiwa Saat Penangkapan Pemred Floresa

Polisi mengejar warga yang berusaha mendokumentasikan penganiayaan terhadap Herry Kabut

Floresa.co – Beberapa perwakilan masyarakat adat Poco Leok yang mengaku menjadi korban kekerasan aparat dari Polres Manggarai bergabung bersama massa dalam aksi damai di Mapolda NTT pada 11 Oktober.

Agustinus Tuju, salah satu warga yang berorasi dalam aksi itu mengisahkan peristiwa yang dialaminya bersama warga lain dan Pemimpin Redaksi [Pemred] Floresa, Herry Kabut saat terjadi kekerasan pada 2 Oktober.

“Kami melakukan aksi jaga kampung di Poco Leok, kami bukan mencuri barang orang lain. Kami hanya melarang orang untuk mencuri barang orang, mencuri tanah orang Poco Leok,” katanya.

Namun di tengah aksi, ia mengaku didatangi pihak PT PLN dan Pemda Manggarai yang membawa aparat gabungan TNI, Pol PP dan Polri PP yang langsung menyerang mereka. 

“Saya sendiri menjadi korban, ditendang lalu dimasukkan ke dalam mobil tahanan,” ceritanya.

Ia juga menyebut seorang warga lainnya turut ditendang hingga pingsan di tempat dan dilarikan ke rumah sakit.

“Ini semua adalah kejahatan luar biasa yang dialami masyarakat adat Poco Lleok,” katanya.

Karena itu, ia berkata, ia bersama beberapa korban lain dan Herry datang ke Polda NTT untuk melaporkan kasus kekerasan itu.

Terkait penyerangan terhadap Herry, Agus berkata, warga menyaksikan saat ia diseret, “dipukul sampai babak belur” dan dimasukan ke mobil polisi.

Namun, kata dia, peristiwa itu tidak bisa direkam karena polisi mengejar masyarakat yang memegang ponsel dan berusaha memvideokan peristiwa itu. 

Tak hanya dipukul, terang Agus, barang-barang Herry seperti tas berisi laptop dan ponsel dirampas dan disita polisi. 

“Bagi kami ini merupakan kejahatan luar biasa yang dilakukan oleh aparat,” katanya.

Ia menjelaskan, aksi represif polisi terhadap warga itulah yang membuat video terkait penangkapan Herry “sangat terbatas.”

“Karena, begitu polisi melihat masyarakat yang pegang ponsel, langsung dikejar sehingga tidak banyak gambar dan data yang bisa diambil. Bahkan ada juga ponsel masyarakat yang disita,” jelas Agus.

Agus berkata, 2 Oktober merupakan aksi jaga kampung ke-26. Istilah jaga kampung, jelasnya, dipakai untuk menjelaskan hubungan antara masyarakat adat dan tanah adat di Manggarai, khususnya di Poco Leok yang tidak bisa dipisahkan.

Ia berharap, kedatangannya bersama warga lain dan Herry ke Polda NTT bisa membawa perubahan di Poco Leok.

“Kapolda dapat menindaklanjuti [laporan] dan hentikan kekerasan yang terjadi di Poco Leok. Berhenti dan jangan lagi ke Poco Leok membawa prajurit dalam jumlah yang banyak, karena situasi di Poco Leok sekarang sedang tidak aman, semacam perang,” katanya.

Ia juga menjelaskan kondisi ibu-ibu dan anak-anak di Poco Leok yang sedang mengalami trauma.

“Mereka takut. Ketika kami beri tahu kami ke Polda, mereka juga sangat takut karena mereka tahu di Polda juga ada polisi. Sebelumnya mereka melihat bagaimana kami ditendang dan diinjak-injak polisi,” ujar Agus.

Meski begitu, Agus tetap berharap agar anggota Polri yang ada di Polda NTT bersikap lebih baik dari polisi yang ada di Polres Manggarai.

“Kami yakin bawah polisi di Polda NTT adalah polisi yang baik, tidak sama dengan polisi yang di Ruteng,” tutupnya.

Sementara seorang Pemuda Poco Leok yang juga datang ke Polda NTT menyampaikan bahwa kekerasan yang dialami warga masyarakat berlapis, baik fisik maupun psikis.

Setiap saat, kata dia, mereka hidup dalam kondisi seperti diteror yang membuat mereka merasa trauma.

Ia juga menyinggung soal pelecehan yang dialami oleh perempuan dan ibu-ibu di Poco Leok sejak proyek geotermal ini masuk ke wilayah mereka.

Ia pun meminta Polda NTT menindaklanjuti laporan ini sehingga memberikan efek jera kepada aparat yang melakukan kekerasan terhadap masyaraka.

Desak Copot Kapolres Manggarai

Sementara itu, salah satu orator dari Aliansi Penolakan Geotermal Poco Leok meminta kepada Kapolda NTT untuk segera mencopot Kapolres Manggarai, AKBP Edwin Saleh karena dianggap gagal menciptakan keamanan bagi masyarakat Manggarai, khususnya warga Poco Leok.

“Kami menuntut keras Kapolda NTT untuk mencopot jabatan Kapolres Manggarai karena dia tak lagi becus dalam mengurus keamanan di Manggarai,” tegasnya.

Ia juga mengecam keras pernyataan sejumlah aparat polisi, termasuk Kapolres dan Kapolda bahwa tidak ada tindakan kekerasan di Poco Leok.

Karena itu, ia mendesak Kapolda NTT untuk secara tegas dan legowo menarik pernyataannya dan menyampaikan penjelasana sesuai fakta sebenarnya.

Hal itu, kata dia, penting demi membersihkan citra Polda NTT. 

Jika itu tidak dilakukan, katanya, Kapolda NTT turut memberi andil dalam kekerasan yang dilakukan aparat terhadap masyarakat di Poco Leok.

Ia juga meminta Kapolda NTT memerintahkan Kapolres Manggarai untuk menarik semua anggotanya dan tidak lagi terlibat dalam penyerangan terhadap warga di Poco Leok. 

“Kita tidak ingin lagi kejadian yang sama terjadi lagi di Manggarai, di sini dan di daerah lain yang terdapat proyek geotermal,” tegasnya.

Mewakili masyarakat adat Poco Leok, Agustinus Tuju menyampaikan terima kasih kepada aliansi dan seluruh elemen masyarakat dan jurnalis yang terus mengawal kasus ini.

“Saya juga mengucapkan terima kasih banyak kepada jaringan koalisi yang telah membantu kami, juga kepada  adik-adik mahasiswa yang juga membantu kami hari ini,” ujarnya.

Saat berita ini dipublikasi pada pukul 18.45 Wita, massa aliansi masih menunggu di depan Mapolda NTT. Mereka mengaku akan bubar saat pelaporan Herry dan warga selesai.

Laporan kontributor Boni Jehadin

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA