AKBP Edwin Saleh Dimutasi; Seperti Apa Jejak Kontroversialnya di Manggarai?

Selama masa kepemimpinan Edwin, Polres Manggarai dinilai melakukan kriminalisasi terhadap warga adat, ada personil yang terlibat kasus kekerasan terhadap  jurnalis

Floresa.co – Kapolres Manggarai AKBP Edwin Saleh termasuk dalam daftar personel polisi di NTT yang baru-baru ini diumumkan dimutasi.

Dalam telegram pada 12 Maret 2025 yang dikeluarkan Staf Kapolri Bidang Sumber Daya Manusia atau SSDM Polri, Edwin dimutasi sebagai Wakil Direktur di Intelkam Polda NTT.​​

Posisinya digantikan AKBP Hendri Syaputra, yang sebelumnya menjadi Danyon A Pelopor Satuan Brimob Polda Nusa Tenggara Barat.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda NTT, Kombespol Hendry Novika Chandra, mengklaim perpindahan Edwin bersamaan dengan rotasi beberapa kapolres, “bagian dari upaya penyegaran organisasi serta penguatan struktur kepolisian di wilayah NTT.”

Rotasi beberapa kapolres itu juga terjadi bersamaan dengan proses hukum terhadap Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, Kapolres Ngada nonaktif yang terseret kasus kekerasan seksual dan penggunaan narkotika.

Edwin hampir dua tahun menjabat sebagai Kapolres Manggarai, yang dimulai sejak 27 Maret 2023.

Apa saja jejaknya selama memimpin korps baju coklat di salah satu kabupaten di Flores barat itu?

Dalam catatan Floresa, selama kepemimpinannya, Polres Manggarai menjadi sorotan publik terkait kasus kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan anggotanya dan kriminalisasi terhadap warga adat yang memprotes proyek strategis nasional.

Pengumuman mutasinya terjadi di tengah langkah Polres Manggarai melakukan penyidikan terhadap beberapa pemuda asal Poco Leok yang dilaporkan Bupati Herybertus G. L. Nabit terkait kerusakan pagar kantor bupati saat aksi unjuk rasa tolak geotermal pada 3 Maret.

Sorotan untuk Polres Manggarai dalam kasus itu terutama karena gerak cepat melakukan penyelidikan dan olah tempat kejadian perkara hanya beberapa jam setelah aksi Koalisi Pemuda Poco Leok, dan beberapa saat setelah laporan Nabit masuk pada hari itu.

Dua orang koordinator lapangan aksi, Kristianus ‘Tino’ Jaret dan Maksimilianus ‘Milin’ Neter telah menjalani pemeriksaan sebagai saksi pada 17 Maret, menyusul peningkatan status kasus dari penyelidikan menjadi penyidikan pada 13 Maret.

Polres Manggarai juga telah menjadwalkan pemanggilan tiga saksi lainnya-Servasius Masyudi Onggal, Ferdiandus Parles dan Anus Sandur-untuk diperiksa pada 20 Maret.

Berbagai elemen masyarakat, termasuk kuasa hukum warga dari Koalisi Advokasi Poco Leok menilai langkah pelaporan oleh Bupati Nabit dan proses hukum yang cepat oleh Polres Manggarai sebagai upaya kriminalisasi untuk membungkam suara kritis dan melemahkan perjuangan warga.

Zainal Arifin dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia [YLBHI menilai respons cepat Polres Manggarai membuktikan lembaga itu berada di bawah kendali Nabit.

“Respons polisi ini bisa dilihat sebagai by attention, justru karena ada intervensi. Atas nama penegakan hukum, mengkriminalisasi warga yang berjuang untuk hak atas tanahnya,” kata Zainal pada 6 Maret.

Dandhy Dwi Laksono, aktivis dan produser sejumlah film dokumenter terkait masyarakat adat menilai langkah cepat Polres Manggarai itu diambil karena terkait “masyarakat yang lebih lemah” dan “urusan yang tidak menguntungkan polisi.”

“Saya tidak tahu berapa jumlah koruptor, pelaku judi online atau gembong narkoba yang tahun ini sudah dikandangi Polres Manggarai. Tapi untuk urusan pagar, gerak cepat sekali,” kata Dandhy.

Sementara, Sinung Karto, kuasa hukum warga Poco Leok dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN] menyatakan, pemanggilan terhadap para pemuda yang dituding merusak pagar jelas “merupakan tindakan kriminalisasi” oleh Polres Manggarai.

“Ini merupakan salah satu bentuk tindakan pelanggaran hak asasi manusia untuk menyampaikan pendapat secara bebas di muka umum yang dilindungi oleh UUD 1945, UU No. 9 Tahun 1998 dan Instrumen HAM Internasional yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia,” katanya.

Padahal, kata Sinung, dalam rekaman video aksi yang mereka kantongi, “terlihat gerbang jatuh ke arah peserta aksi.”

“Otomatis ada pihak yang mendorong dengan kuat sehingga gerbang jatuh ke peserta aksi,” katanya menyinggung petugas pengamanan saat aksi tersebut.

Sementara bawahannya di Polres Manggarai menyelidiki kasus ini, pada 9-12 Maret, Edwin Saleh juga ikut bersama Bupati Nabit dalam studi banding ke lokasi Pembangkit Listrik Panas Bumi Lahendong di Tomohon, Sulawesi Utara.

Kegiatan itu dibiayai PT PLN, yang berkepentingan dengan proyek di Poco Leok, hal yang memicu dugaan dari berbagai pihak sebagai bentuk gratifikasi.

Selain Edwin, Kepala Kejaksaan dan Dandim juga ikut serta.

Perpindahan Edwin juga terjadi setelah belum genap sebulan anggotanya Aipda Hendrikus Hanu, Kanit Intelkam Polres Manggarai dinyatakan bersalah dalam sidang etik terkait tindak kekerasan terhadap Pemimpin Redaksi Floresa Herry Kabut.

Tindakan Hendrikus yang terjadi saat Herry meliput aksi warga Poco Leok tolak proyek geotermal pada 2 Oktober 2024 dinyatakan “tidak sesuai prosedur” dan “sebagai perbuatan tercela.”

Selain Herry, tiga warga Poco Leok juga mengalami penganiayaan aparat dalam aksi protes terhadap upaya pematokan lahan untuk proyek geotermal, perluasan PLTP Ulumbu di wilayah itu.

Sikap Edwin dalam kasus ini menjadi sorotan, termasuk pada hari kejadian dia membantah ada kekerasan.

Dalam pernyataan pers pada 5 Oktober 2024, ia juga menyatakan hal yang sama, mengklaim pihaknya hanya melakukan pengamanan di lokasi proyek. 

Ia juga mengklaim, tindakan personilnya sesuai dengan SOP dan ada apel pengecekan terlebih dahulu sebelum mereka ke Poco Leok.

Floresa kala itu menilai pengakuan Edwin bahwa tindakan pengamanan sudah sesuai SOP menunjukkan tanggung jawab dan garis komando dalam seluruh peristiwa kekerasan yang terjadi di Poco Leok.

Peserta aksi unjuk rasa di Jakarta pada 7 Oktober 2024 yang mengecam dugaan kekerasan oleh aparat di Polres Manggarai mendesak pencopotan Kapolres, AKBP Edwin Saleh. (Dokumentasi Koalisi Masyarakat Peduli Poco Leok)

Selain itu, Floresa memandang keseluruhan pernyataannya menunjukkan institusinya tidak saja menyangkal kebenaran di lapangan, tetapi juga sedang berusaha mengkriminalisasi korban.

Sementara itu, dalam sebuah aksi unjuk rasa di depan Mabes Polri dan kantor PLN di Jakarta pada 7 Oktober 2024, massa dari Koalisi Masyarakat Peduli Poco Leok mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memeriksa dan mencopot Edwin dari jabatannya.

Sekretaris Jenderal Forum Advokat Manggarai Raya atau Famara, Siprianus Edi Hardum juga mendesak hal serupa, agar Edwin dicopot karena melecehkan pers, melecehkan demokrasi dan hukum serta institusi Polri sendiri.

“Kapolri harus tarik beliau dari Manggarai dan memeriksanya serta anak buahnya yang diduga menyekap dan menganiaya Herry. Kapolri sebaiknya jangan percaya begitu saja apa yang disampaikan AKBP Edwin Saleh soal kasus itu,” katanya pada 8 Oktober 2024.

Setahun sebelumnya, pada Oktober 2023, Polres Manggarai juga diadukan oleh Koalisi Advokasi Poco Leok ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia terkait dugaan kriminalisasi terhadap warga Poco Leok yang diperiksa karena menolak proyek geothermal.

Saat itu, lembaga yang dipimpin Edwin memeriksa tujuh warga dan memanggil belasan warga lainnya yang dituding melakukan tindak pidana “dengan sengaja menghalangi atau merintangi pembangunan pengusahaan panas bumi dan dengan kekerasan melawan pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah.”

Hal itu “terkait penghadangan terhadap aparat saat melaksanakan tugas pada 27 September,” menurut Ipda I Made Budiarsa, Kepala Sub Bagian Hubungan Masyarakat Polres Manggarai.

Sekitar 30-an aparat mendatangi Poco Leok pada tanggal itu, mengawal petugas dari PT Perusahaan Listrik Negara yang hendak menuju lokasi proyek geothermal.

Koalisi Advokasi Poco Leok menyebut langkah polisi itu sebagai “tindakan kesewenang-wenangan” dan upaya “membungkam perjuangan masyarakat adat Poco Leok.”

Padahal, sejak Februari hingga Juni 2023, warga Poco Leok mengaku mengalami intimidasi oleh kehadiran puluhan aparat polisi, TNI dan Satpol PP yang mengawal aktivitas PT PLN dan pemerintah di lahan ulayat mereka.

Tindak kekerasan meningkat pada bulan Juni 2023, di mana empat perempuan dan lima laki-laki ditendang dan didorong aparat hingga terjatuh ke selokan.

“Kami menghadang mereka supaya tidak lewat di lahan kami ketika hendak mematok lahan untuk geothermal, tetapi kami didorong sampai terjatuh,” ungkap Elisabeth Lahus, perempuan asal Kampung Lungar.

“Mereka [polisi] bahkan membantu perusahaan tanam pilar di wilayah lingko dan kami merasa itu adalah pengkhianatan aparat terhadap warga,” tambahnya.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

spot_img

BACA JUGA

BANYAK DIBACA