Kapolres Ngada Terlibat Skandal Pencabulan Anak dan Narkotika, Siapa Lagi Polisi yang Pernah Bikin Masalah di NTT?

Sebelum kasus Kapolres Ngada yang viral, ada banyak polisi di NTT yang tercatat kontroversial, seperti mabuk-mabukan, pukul warga lalu diselesaikan dengan minta maaf, melakukan pelecehan seksual, hingga aniaya jurnalis

Floresa.co – Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja-yang kini nonaktif-menjadi bahan perbincangan sejagat setelah ditangkap Mabes Polri karena tersangkut kasus narkotika dan pencabulan anak di bawah umur.

Fajar dilaporkan melakukan kekerasan seksual terhadap tiga orang anak di bawah umur dan satu perempuan dewasa. Delapan video kekerasan seksual itu kemudian diunggah ke situs porno berbasis di Australia. 

Kasus ini terungkap pada pertengahan 2024 setelah otoritas Australia melaporkan kepada pemerintah Indonesia temuan video yang diunggah di situs porno. Laporan tersebut mendorong Mabes Polri melakukan penyelidikan.

“Dari hasil penyelidikan, benar bahwa ada dugaan keterlibatan seseorang dengan identitas yang tidak terbatas. Setelah dilakukan pengecekan lebih lanjut, ternyata yang bersangkutan merupakan anggota Polri aktif di jajaran wilayah Polda NTT,” kata Patar Silalahi, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTT dalam konferensi pers di Kupang pada 11 Maret.

Dalam proses interogasi di Polda NTT, Fajar mengakui perbuatannya dan menyatakan bahwa ia memesan hotel sebagai bagian dari rencananya dalam menjalankan tindakan tersebut.

Tak berselang lama, dalam konferensi pers Mabes Polri pada 13 Maret, Fajar ditetapkan sebagai tersangka.

Berdasarkan hasil pemeriksaan, menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Trunoyudo Wisnu Andiko, Fajar terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap tiga anak di bawah umur berusia 6, 13, dan 16 tahun, serta seorang perempuan dewasa berinisial SHDR berusia 20 tahun. Selain itu, ia diduga menyalahgunakan narkoba dan menyebarluaskan konten pornografi anak.

Ia dijerat dengan pasal berlapis, di antaranya Pasal 6 huruf C, Pasal 12, Pasal 14 ayat 1 huruf A dan B, serta Pasal 15 ayat 1 huruf E, G, J, dan L UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.  Selain itu, Pasal 45 ayat 1 juncto Pasal 27 ayat 1 UU No. 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ancaman hukuman maksimal mencapai 15 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar.

Wisnu mengklaim, “penegakan hukum terhadap kasus ini dilakukan secara simultan, baik dari aspek kode etik maupun tindak pidana.” 

Sementara itu, Kepala Biro Pertanggungjawaban Profesi Divisi Propam Polri, Agus Wijayanto menjelaskan, Sidang Kode Etik Profesi Polri dijadwalkan berlangsung pada 17 Maret, dengan ancaman sanksi pemberhentian tidak dengan hormat. 

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Ai Maryati Solihah menilai kekerasan seksual yang dilakukan Fajar masuk kategori perdagangan manusia.

“Ini jelas perbuatan pidana yang sangat serius, apalagi eksploitasi dan membuat konten untuk menghasilkan uang. Ini artinya salah satu bentuk baru atau lain tindakan pidana perdagangan orang,” katanya.

Gabriel Goa Sola, aktivis dari Zero Human Trafficking Network berkata, kasus ini “sangat tragis” dan karena itu Fajar mesti dipecat tidak dengan hormat dan diproses hukum.

“Kami juga mendesak lembaga-lembaga negara untuk membantu para korban dan memenuhi hak-hak mereka,” katanya kepada Floresa.

Tambah Panjang Daftar Polisi Kontroversial di NTT

Kasus Fajar bukan satu-satunya catatan kontroversi polisi di NTT.

Floresa merangkum beberapa dari kasus yang melibatkan korps baju coklat itu, mulai dari tindak kekerasan terhadap warga dan jurnalis, mabuk-mabukan hingga pukul warga sipil yang hanya diselesaikan dengan meminta maaf.

Ivans Drajat: Kapolsek yang Pukul Satpam Hanya karena Menegurnya

Ivans Drajat menjadi Kapolsek Komodo di Kabupaten Manggarai Manggarai Barat saat ia menganiaya seorang satpam sebuah bank pada 13 September 2023.

Penganiayaan itu bermula dari tindakan satpam yang menegurnya karena mengenakan helm saat menggunakan mesin ATM.  Ivans lalu menganiaya satpam itu di lokasi dan di kantor Polsek.

Sorotan terhadap Ivans kala itu terutama karena perbuatannya terjadi di tengah berbagai kasus tindakan melawan hukum yang dinilai makin jamak dilakukan oleh aparat kepolisian di seluruh tanah air. 

Apalagi, peristiwa itu dilakukan oleh Kapolsek di Kecamatan Komodo yang mencakup kota Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo, salah satu episentrum pariwisata nasional.

Penelusuran Floresa terkait rekam jejak Ivans menemukan pria kelahiran Surabaya, 20 April 1989 itu pernah divonis penjara tiga bulan dalam kasus tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada 2021 saat ia bertugas di wilayah Polres Kabupaten Belu. Korbannya adalah mantan istrinya.

Selain itu, saat menjadi Kasat Resnarkoba Polres Belu, ia juga pernah mengintimidasi wartawan dari media GerbangNTT.com, Mariano Parada. Namun, masalah ini berakhir damai.

AKP Ivans Drajat, mantan Kapolsek Komodo, Kabupaten Manggarai Barat (Foto: Tribratanewskupang.com)

Samsul Risal: Polisi yang Melakukan Kekerasan Seksual terhadap Siswi SMA

Tiga bulan sebelumnya, pada Juni 2023, Samsul Risal, polisi di Polres Manggarai Barat menjadi tersangka kasus pemerkosaan terhadap siswi Kelas X dari salah satu sekolah menengah di Labuan Bajo.

Mulanya, orang tua siswi itu yang berasal dari Kecamatan Boleng mencarinya setelah dikabarkan hilang dari kos di Labuan Bajo. 

Risal, yang ditemui orang tua itu lalu menawarkan bantuan mencari gadis itu dan menemukannya.  Ia juga meminta agar puteri mereka tinggal bersama keluarganya di Labuan Bajo dan menjanjikan menjamin semua kebutuhan hidup dan biaya sekolahnya. 

Namun Risal malah membawanya ke sebuah kos dan memperkosanya pada dini hari 9 April 2023.

Risal dijerat Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman pidana penjara 5-15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar, juga ancaman hukuman pemecatan dari anggota polisi.

Samsul Risal, anggota polisi di Polres Manggarai Barat yang ditahan terkait kasus pemerkosaan terhadap siswi Sekolah Menengah Atas. (Istimewa)

Yudha Pranata: Kapolres yang Ancam Lakukan Kekerasan terhadap Jurnalis

Lima bulan sebelumnya, nama Yudha Pranata, polisi lainnya yang menjabat sebagai Kapolres Nagekeo viral setelah tangkapan layar isi obrolan di sebuah Grup WhatsApp polisi dan jurnalis di Kabupaten Nagekeo, Flores beredar luas.

Isi grup bernama ‘KH Destro’ atau “Kaisar Hitam Destroyer” yang dibuat Yudha “untuk membina” para wartawan itu berupa obrolan rencana melakukan kekerasan terhadap seorang jurnalis yang tidak bergabung dalam grup itu dan dicap oleh anggota grup sebagai “pengkhianat.”

All Destro. Hubungi Patrik untuk minta wawancara klarifikasi tentang laporan dari Ketua Suku Nataia. SEKARANG!!!. Bukti chat WA ke Patrick segera di screenshot. Sebagai bukti bahwa kita sudah meminta klarifikasi kepada Patrick. Bikin dia stress,” tulis Yudha dalam percakapan di grup itu, menyuruh jurnalis mewawancarai Patrianus ‘Patrik’ Meo Djawa, jurnalis Tribunflores.com, bagian dari media Tribun Network.

Percakapan lainnya di grup itu juga memperlihatkan rencana Yudha dan beberapa anggota grup untuk “patahkan rahang” Patrik, “dijadikan sampah” dan “dibuang”.

Selain mengancam jurnalis, ia juga diduga menancapkan pisau komando saat bertemu warga dalam konflik tanah Waduk Mbay-Lambo, yang menimbulkan ketakutan di antara masyarakat.

Pada akhir Desember 2023, Yudha dipindahkan ke Polda Nusa Tenggara Barat sebagai Kapolres Bima Kota. Ia kemudian menjadi Kabagdalops Roops Polda NTB pada akhir 2024.

Kapolres Nagekeo, AKBP Yudha Pranata sedang memberikan penjelasan tentang tangkapaan layar isi obrolan di Grup WA ‘KH Destro.’ Obrolan itu berisi ancaman terhadap seorang jurnalis. (Tangkapan layar dari Video di Youtube Humas Polres Nagekeo)

Hendrikus Hanu: Polisi di Manggarai yang Terlibat Kekerasan terhadap Pemred Floresa

Polisi lainnya yang menjadi sorotan publik adalah Hendrikus Hanu dari Polres Manggarai yang menjadi pelaku penganiayaan terhadap Pemimpin Redaksi Floresa, Hery Kabut saat dirinya tengah meliput aksi warga Poco Leok yang memprotes proyek geotermal.

Herry dan warga Poco Leok yang turut menjadi korban penganiayaan pada 2 Oktober 2024 itu melaporkan Hendrikus, termasuk wartawan Terry Janu yang juga ikut melakukan pemukulan, ke Polda NTT pada 11 Oktober.

Setelah melalui penyelidikan, Hendrikus dinyatakan bersalah dalam sidang etik di Polres Manggarai pada 24 Februari, empat bulan pasca pelaporan di Kupang. Tindakannya terhadap Herry dinyatakan “tidak sesuai prosedur” dan “sebagai perbuatan tercela.”

Namun Hendrikus hanya dijatuhi hukuman ringan berupa kewajiban “menyampaikan permintaan maaf secara lisan di hadapan sidang KKEP serta secara tertulis kepada Pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan.” Sementara proses hukum pidana terhadapnya juga telah dihentikan oleh Polda NTT dengan alasan tidak cukup bukti.

Penghentian proses pidana dan sanksi etik ringan terhadap Hendrikus menuai kecaman berbagai pihak karena dinilai melanggengkan impunitas di tubuh Polri dan menambah buruk citra institusi itu.

Hendrikus Hanu, anggota Polres Manggarai yang dijatuhi sanksi setelah sidang etik pada 24 Februari 2025 terkait kasus kekerasan terhadap Pemred Floresa, Herry Kabut. Foto ini diambil warga Poco Leok saat ia berada di dalam mobil Dalmas sebelum penganiayaan terhadap Herry pada 2 Oktober 2024.

Alfian Purab: Mabuk, Lalu Pukul Warga di Labuan Bajo

Masih pada 2024, Alfian Purab, polisi di Polres Manggarai Barat menganiaya dua warga sipil di tempat hiburan malam pada 22 Desember. Ia menganiaya Iren dan rekannya, Adi di tempat hiburan, Deja’vu Bar 2.0 Labuan Bajo. 

Namun, alih-alih diproses hukum, kasus ini diselesaikan secara damai dan disebut sebagai bentuk “kesalahpahaman” oleh Kapolres AKBP Christian Kadang.

Penganiayaan oleh Alfian terjadi di lokasi yang sama dengan kasus sebelumnya yang menimpa Bernardinus Budiman Tri Idu, yang dianiaya anggota Kepolisian Perairan dan Udara [Polairud] pada 1 November. 

Buntut dua kasus itu, Divisi Propam Polres Manggarai Barat melakukan razia di tempat-tempat hiburan malam di Labuan Bajo pada 18 Januari, untuk melacak anggota polisi yang berkeliaran.

Alfian Purab, polisi di Polres Manggarai Barat yang menganiaya warga sipil di tempat hiburan. (Facebook)

Adrianus Adeanto Aran: Terpidana Kasus Kekerasan Terhadap Bhayangkari di Polres Alor

Tak hanya itu, salah satu polisi di Alor dilaporkan melakukan kekerasan terhadap istri bawahannya di Polres Alor, NTT pada 28 April 2023.

Polisi terpidana kasus kekerasan terhadap bhayangkari itu tidak menjalankan tiga sanksi etik yang dijatuhkan kepadanya, termasuk permintaan maaf kepada korban. Usai menjalani hukuman penjara, ia kembali bertugas di unit yang sama dengan suami korban, yang kini merasa terancam keselamatannya karena pelaku diduga mengancam akan membunuh suami korban, namun ancaman tersebut tidak mendapat tanggapan serius dari kepolisian.

Korban dan aktivis menyoroti sikap diam Polres Alor, yang dinilai melemahkan penegakan hukum dan tidak berpihak kepada korban.  

Kasus ini bermula pada April 2023 ketika pelaku, dalam keadaan mabuk, melakukan kekerasan dan pelecehan terhadap korban di lingkungan asrama polisi. 

Pengadilan Negeri Kalabahi menjatuhkan vonis lima bulan penjara, tetapi aktivis menilai hukuman tersebut terlalu ringan dan tidak memberi efek jera. Kepala Seksi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polres Alor, Iptu I Gusti Arya Putra mengklaim bahwa pihaknya hanya bertanggung jawab atas pelaksanaan sidang etik, bukan penerapan sanksinya. Aktivis mengecam pembiaran ini karena berpotensi memperkuat budaya kekerasan seksual dalam institusi kepolisian.

Kapolda NTT, Daniel Tahi Monang Silitonga: Terseret Skandal Seleksi Taruna Akpol

Sementara itu, di pucuk pimpinan, Kapolda Daniel Tahi Monang Silitonga menuai kontroversi setelah hasil seleksi taruna Akademi Kepolisian 2024 dari wilayah Polda NTT menunjukkan hanya satu orang putra asli NTT. Sepuluh lainnya yang lolos berasal dari luar daerah, termasuk tempat asal Daniel Sumatera Utara, hal yang memicu munculnya plesetan “Nusa Tempat Titip” di media sosial. 

Merespons hal itu, Diaspora Lembata Sedunia serta berbagai tokoh NTT mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membentuk tim investigasi guna memastikan tidak adanya kecurangan atau nepotisme dalam proses seleksi. Mereka menyoroti kemungkinan adanya manipulasi administrasi, seperti pembuatan KTP atau Kartu Keluarga dadakan, yang bisa saja menguntungkan peserta dari luar daerah.

Kepala Ombudsman NTT, Darius Beda Daton menilai, transparansi dalam seleksi harus diperketat agar tidak menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Sementara anggota DPR RI asal NTT, Benny Kabur Harman, juga meminta audit terhadap proses seleksi untuk memastikan apakah para peserta benar-benar berasal dari NTT atau hanya sekadar memanfaatkan provinsi tersebut sebagai tempat pendaftaran. 

Menanggapi kritik, Kapolda NTT Daniel Tahi Monang Silitonga mengklaim bahwa lima dari 11 peserta yang lolos merupakan putra daerah yang lahir dan besar di NTT, sementara lima lainnya adalah pendatang yang sudah menetap di wilayah tersebut. Ia juga menegaskan bahwa proses seleksi dilakukan secara terbuka dan transparan.

Kapolda NTT, Daniel Tahi Monang Silitonga. (Foto: Obortimur.com)

Darurat Reformasi Polri

Rentetan kontroversi polisi itu terjadi di tengah sorotan terhadap institusi Polri yang kian marak melakukan kekerasan terhadap warga sipil. 

Berbagai organisasi masyarakat sipil mendesak adanya reformasi total dalam tubuh Polri untuk “memastikan akuntabilitas dan integritas polisi dalam menjalankan tugas mereka.”

Dalam sebuah konferensi pers bertajuk “Darurat Reformasi Polri” pada 8 Desember 2024, Andi Muhammad Rezaldy dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS menyoroti struktur sistemik yang memungkinkan pelanggaran oleh polisi terus berlangsung.

Andi mengungkapkan, data KontraS menunjukkan, terjadi 353 peristiwa kekerasan oleh polisi pada 2020 hingga 2023, yang menewaskan 410 orang.

“Hingga Desember 2023 sampai November 2024 saja, ada 45 peristiwa dengan 47 korban tewas,” katanya. 

Sementara, khusus di NTT, KontraS mencatat sepanjang 2020 hingga 2024, terdapat 69 kasus kekerasan oleh anggota kepolisian. Sebagian besar atau 59 kasus dilakukan oleh aparat kepolisian tingkat Polres, disusul Polsek 8 kasus dan Polda 5 kasus.

Berbagai kekerasan oleh polisi itu mengakibatkan delapan orang meninggal dunia, 78 luka-luka dan 80 orang ditangkap dan ditahan.

Editor: Anno Susabun

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA