Baru Ditahan Hampir Dua Bulan Usai Dilapokan, Kasus Polisi Perkosa Siswi di Labuan Bajo Perlu Dikawal

“Waktu yang dibutuhkan hampir dua bulan menahan oknum polisi padahal ini adalah pidana pemerkosaan, sudah menjadi alasan untuk mempertanyakan keseriusan polisi.”

Baca Juga

Floresa.co – Polres Manggarai Barat, NTT telah menahan seorang oknum anggotanya yang dilaporkan memperkosa seorang siswi sekolah menengah di Labuan Bajo.

Penahanan baru terjadi hampir dua bulan pasca kasus itu dilaporkan kepada polisi.

Polres Manggarai Barat menahan oknum polisi Samsul Risal pada 14 Juni, dua hari setelah dia diumumkan sebagai tersangka kasus pemerkosaan terhadap siswi Kelas X itu.

Bripda Karina Viktora Anami, Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak Satreskrim Polres Manggarai Barat mengatakan, mereka sudah mengantongi bukti-bukti dugaan tindak pidana dan telah meminta keterangan dari Risal dan sejumlah saksi.

“Bukti-bukti sudah, keterangan sudah,” katanya pada 14 Juni.

Dalam pernyataan dua hari sebelumnya, Kasat Reskrim Polres Manggarai Barat, AKP Ridwan mengatakan Risal dijerat Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman pidana penjara 5-15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.

Selain itu, kata dia, Risal juga akan ditindak dari segi etik, dengan ancaman hukuman pemecatan dari anggota polisi.

Kronologi Kasus

Dari informasi yang diperoleh Floresa, kasus ini dilaporkan oleh orangtua korban ke Polres Manggarai Barat pada akhir April, di mana korban kemudian didampingi oleh para biarawati Katolik dari lembaga Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak di Labuan Bajo.

Suster Frederika ‘Rita’ Tanggu Hana SSpS, pimpinan lembaga itu mengatakan, semula, pada awal April, korban dilaporkan hilang dari asrama tempatnya tingggal di Labuan Bajo sehingga orangtuanya yang tinggal di Kecamatan Boleng mencarinya.

Di Labuan Bajo, orangtuanya bertemu dengan Risal, yang kemudian menyatakan membantu mencari gadis itu dan menemukannya.

Kepada orangtua gadis itu, kata Suster Rita, Risal meminta agar puteri mereka tinggal bersama keluarganya di Labuan Bajo dan menjanjikan menjamin semua kebutuhan hidup dan biaya sekolahnya.

Namun, jelasnya, Risal malah membawanya ke sebuah kos dan memperkosanya pada 9 April dini hari.

“Korban sempat meronta, namun tak berhasil karena pelaku mendorong korban dan menutup mulut korban sehingga tak bersuara,” kata Suster Rita.

Ia mengatakan, pada 10 April Risal sempat menemani korban mendatangi rumah ayahnya, di mana dia “bertindak seolah-olah merawat korban dengan baik.”

“Padahal, dalam perjalanan, [Risal] mengancam membunuh korban [jika menceritakan peristiwa pemerkosaan itu],” kata Sr Rita.

Hal ini, jelasnya, membuat korban “tidak berani bicara kepada orang tuanya.”

Selain itu, kata dia, Risal juga memaksa korban minum pil dan soda untuk mencegah kehamilan.

Saat kembali ke Labuan Bajo, kata dia, korban kemudian berhasil melarikan diri dari kos itu.

Ia kemudian ditemukan oleh polisi lainnya, yang setelah mendengar pengakuan korban bahwa ia diperkosa menyarankan kepada orangtuanya agar melapor ke polisi.

Hal itu membuat orang tua korban membuat laporan polisi pada akhir April.

Ayah korban mengaku, Risal sempat mendatangi rumahnya meminta agar mencabut laporan itu, bahkan mengancam melapor balik karena ia menolak.

Perlu Dikawal

Lamanya proses penahanan oknum polisi itu, memicu kecemasan bagi banyak pihak terkait keseriusan polisi menangani kasus ini.

Seorang sumber di Labuan Bajo yang dekat dengan korban mengatakan kepada Floresa bahwa “waktu yang dibutuhkan hampir dua bulan menahan oknum polisi padahal ini adalah pidana pemerkosaan, sudah menjadi alasan untuk mempertanyakan keseriusan polisi.”

“Seharusnya oknum tersebut bisa segera ditahan, tanpa harus berlama-lama hingga hitungan bulan. Karena itu, kasus ini perlu dikawal,” kata sumber itu yang meminta namanya tidak disebut karena alasan keamanan.

Sumber itu mengatakan, dalam menindak pelaku polisi juga seharusnya tidak hanya menggunakan Undang-undang terkait Perlindungan Anak, tetapi juga Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual [UU TPKS] yang telah disahkan pada April tahun lalu.

“Penting ditegaskan bahwa dalam kasus seperti ini, mengingat korbannya adalah anak di bawah umur, tidak ada istilah soal suka sama suka. Korban di sini juga berada dalam sebuah relasi kuasa,” katanya, merespon berbagai komentar yang cenderung menyalahkan korban.

UU TPKS yang disahkan DPR pada 12 April 2022 mengatur berbagai bentuk tindakan kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

Selain itu, terdapat 19 tindak pidana kekerasan seksual lainnya yang diatur dalam ayat 2 pasal yang sama. Beberapa di antaranya adalah perkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak; perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; dan pornografi yang melibatkan anak  dan sebagainya.

Setiap jenis kekerasan seksual mengatur hukuman yang berbeda-beda.

Kapolri Listyo Sigit Prabowo telah memerintahkan polisi untuk menerapkan undang-undang itu melalui Surat Telegram Nomor: ST/1292/VI/RES.1.24/2022 pada 28 Juni 2022.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini