Floresa.co – Polisi di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat lagi-lagi menganiaya warga sipil.
Kasus ini kemudian diselesaikan secara ‘damai’ dan dipromosikan lewat situs resmi Polres Manggarai Barat, di mana Kapolres menganggapnya hanya sebagai bentuk “kesalahpahaman.”
Sementara itu, dalam kasus penganiayaan lain oleh polisi terhadap warga sipil yang dibawa ke ranah hukum, prosesnya masih jalan di tempat, kendati sudah dilaporkan hampir dua bulan lalu.
Terjadi di Tempat Hiburan
Kasus penganiayaan terakhir pada 22 Desember itu melibatkan Alfian Purab, anggota Polres Manggarai Barat.
Ia menganiaya dua warga sipil, Iren dan rekannya, Adi di tempat hiburan, Deja’vu Bar 2.0 Labuan Bajo.
Iren, 37 tahun menjelaskan, penganiayaan itu bermula ketika ia hendak pulang dari tempat hiburan itu.
Anggota polisi yang awalnya minum alkohol di lokasi yang sama mengintimidasi Adi, 30 tahun, setelah Deja’vu tutup pada pukul 03.00 Wita.
Melihat hal itu, Iren mengaku mendekat untuk menengahi keduanya.
“Saya menghampiri untuk membicarakan hal tersebut secara baik,” katanya, seperti dilansir Harian Labuan Bajo.
Namun, polisi yang terpengaruh alkohol itu melakukan serangan terhadap mereka, hingga mengalami luka, lalu dilarikan ke Rumah Sakit Siloam untuk berobat.
Iren mengalami luka di pelipis, sedangkan Adi mengalami luka di kepala bagian belakang.
“Berujung Damai”
Korban dan keluarga mereka mendatangi Polres Manggarai Barat pada 22 Desember untuk melaporkan kasus ini.
Alih-alih diproses hukum, Polres Manggarai Barat menyelesaikan kasus ini dengan mekanisme “damai” pada 22 Desember sore.
Berita tentang proses damai itu pun dipromosikan di situs resmi Polres Manggarai Barat, Tribratanewsmanggaraibarat.com.
Dalam berita itu, Kapolres AKBP Christian Kadang menyebut kasus ini sebagai bentuk “kesalahpahaman.”
“Kejadian kesalahpahaman tersebut telah diselesaikan secara kekeluargaan dengan konsep lonto leok dan kedua belah pihak sepakat berdamai,” katanya.
Lonto Leok merupakan frasa dalam bahasa Manggarai yang merujuk pada musyawarah untuk membahas dan menyelesaikan masalah.
“Masalah ini sudah diselesaikan,” ujar Christian, “mereka sudah saling salaman dan juga sudah saling memaafkan.”
Menurutnya, kejadian berawal saat AN-merujuk kepada Adi-hendak keluar dari Deja’vu Bar dan secara tidak sengaja menendang salah satu pengunjung.
Hal ini memicu tanggapan dari Alfian yang kemudian menarik Adi keluar dari lokasi kejadian.
Christian berkata, “setelah sempat meminta maaf” Iren dan Adi meninggalkan lokasi.
Namun, keduanya kembali didekati oleh Alfian “sehingga terjadilah kesalahpahaman tersebut.”
“Insiden tersebut diduga dipicu oleh minuman beralkohol yang dikonsumsi ketiganya sehingga memunculkan kesalahpahaman,” ujarnya.
Dalam berita itu, Christian tidak menyinggung soal luka yang dialami Iren dan Adi usai dianiaya Alfian.
Kendati diselesaikan secara damai, menurut Christian, Alfian akan tetap dikenai sanksi disiplin untuk memberikan pelajaran dan efek jera.
Dia memastikan Divisi Propam akan bekerja profesional.
“Ancamannya nanti bisa demosi atau tunda kenaikan pangkat, tergantung kesalahannya,” ujarnya.
Saat Floresa menghubungi Christian pada 23 Desember meminta penjelasan soal proses penindakan terhadap Alfian, ia berkata, hasilnya akan diketahui “saat diperiksa dan disidang.”
Sementara itu, dalam video yang beredar di media sosial usai proses damai, Alfian menyampaikan permohonan maaf kepada kedua korban “atas perbuatan saya yang merugikan kae berdua.”
Setelahnya, ia berjabat tangan dengan mereka.
Alfian berkata, perbuatannya merugikan nama besar institusi Polri, khususnya Polres Manggarai Barat.
Menambah Daftar Kekerasan Polisi
Kasus ini menambah daftar kekerasan yang dilakukan polisi di Labuan Bajo terhadap warga sipil.
Pada September tahun lalu, dalam salah satu kasus yang viral, Kapolres Komodo, AKP Evans Drajat menganiaya satpam sebuah bank karena menegurnya saat menggunakan mesin ATM sambil mengenakan helm.
Evans memukul satpam itu di lokasi dan di kantor polsek. Namun, kasus ini diselesaikan secara damai, di mana Evans membayar denda adat Rp10 juta.
Sementara kasus yang diselesaikan secara “damai” berlangsung kilat dan dipromosikan, polisi menunjukkan perlakuan berbeda terhadap kasus penganiayaan yang dibawa ke ranah hukum oleh warga sipil korban.
Hal itu terjadi pada kasus penganiayaan terhadap Bernardinus Budiman Tri Idu pada 1 November di Deja’vu Bar 2.0, lokasi yang sama dengan kasus penganiayaan oleh Alfian.
Meski kasus ini sudah dilaporkan, belum ada perkembangan signifikan dalam penangannya.
Di sisi lain, atasan pelaku tiga kali mendatangi rumah Bernadus untuk memohon penyelesaian kasus secara kekeluargaan. Korban dan keluarganya terus menolak.
Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Manggarai Barat, AKP Luthfi Darmawan, pernah berjanji melanjutkan pengusutan kasus ini pasca pilkada 27 November.
Keluarga Bernadus yang berbicara dengan Floresa pada 23 November berkata, pihaknya mendatangi Polres Manggarai Barat pada 18 Desember untuk menanyakan perkembangan pengusutannya.
Di Polres, keluarga mendapati jawaban bahwa salah satu penyidik sedang cuti sehingga penyelidikannya belum dilakukan lagi.
“Saya sempat ngamuk kenapa tidak ada tindak lanjut,” ujar Hellena Lena, keluarga Bernadus yang menemui Polisi.
Hellena heran karena penyelidikan kasus adiknya itu jalan di tempat.
Hellena diminta untuk kembali mendatangi Polres Manggarai Barat pada 23 Desember.
Namun, setiba di Polres, ia mendapati ruangan pidana umum tutup.
“Ada salah satu polisi yang bilang semuanya ke Lembor.”
Hellena berkomitmen terus mendatangi Polres Manggarai Barat untuk menanyakan perkembangan kasus yang menimpa adiknya.
Sementara itu, Kapolres, AKBP Christian Kadang berkata, pihak kepolisian masih mengupayakan mediasi untuk kasus ini.
“Infonya yang Polairud bulan Januari akan mediasi” ujar Christian.
Melanggengkan Impunitas
Elias Sumardi Dabur, advokat dan direktur lembaga bantuan hukum Flores Legal Aid Institute menyatakan, penyelesaian kasus-kasus kekerasan oleh polisi di luar proses hukum “hanya melanggengkan impunitas atau kekebalan hukum aparat pelanggar hukum.”
Padahal, kata dia, kasus serupa terus berulang.
“Selama ini, ujungnya selalu berakhir damai. Anggota polisi yang melakukan kekerasan bebas dari hukuman ,” kata Elias kepada Floresa pada 23 Desember.
Ia menegaskan, “impunitas merupakan penyangkalan serius terhadap keadilan, kebenaran, dan pemulihan pada korban kekerasan.”
“Impunitas berkembang menjadi kultur atau semacam kebiasaan yang berulang,” katanya.
Ia menegaskan, mengutamakan pendekatan penyelesaian damai, dibanding proses hukum “menunjukkan bahwa kepolisian tidak memiliki kemauan yang serius dan tidak bersedia untuk berubah secara struktural, instrumental dan kultural.”
Editor: Petrus Dabu dan Ryan Dagur