Penganiayaan Satpam oleh Kapolsek di Labuan Bajo Ditangani Secara Adat; Bagaimana Hentikan Kultur Kekerasan di Institusi Kepolisian?

Kapolsek Komodo, AKP Ivans Drajat membayar denda adat Rp10 juta dan satu ekor babi.

Baca Juga

Floresa.co –  Seorang Kapolsek di Kabupaten Manggarai Barat yang melakukan penganiayaan terhadap seorang satpam menempuh jalur mediasi dengan membayar denda adat.

Mediasi dengan penyelesaian sesuai mekanisme adat Manggarai itu ditempuh di tengah ramainya sorotan terhadap kasus ini yang telah dilaporkan ke Polres Manggarai Barat.

Seorang kerabat korban mengatakan kepada Floresa, mekanisme adat itu dilakukan pada Rabu malam, 13 September, di mana Kapolsek Komodo, AKP Ivans Drajat bersama beberapa rekannya membawa uang Rp10 juta dan satu ekor babi.

“Pada awalnya, keluarga tidak mau jalur damai,” kata kerabat itu.

“Namun, sejak kasusnya dilaporkan ke Polres Manggarai Barat, selalu ada upaya dari beberapa polisi dan juga dari Kapolsek sendiri untuk menempuh jalur damai,” tambahnya.

Dalam budaya Manggarai, denda adat dalam bentuk seekor babi adalah sebuah hukuman yang berat atas kesalahan yang sudah terbukti dan diakui oleh pelaku.

Kerabat korban itu mengatakan, Kapolsek dan rekan-rekannya juga sempat mendatangi paman dari korban “meminta maaf dan meminta agar kasus ini diselesaikan dengan jalur damai.”

Saat penyerahan denda adat itu, AKP Irvans juga menyatakan tidak akan mengulangi lagi tindakannya.

“Pernyataannya tertuang dalam surat pernyataan dan dibacakan di depan keluarga korban,” katanya.

Ia menambahkan, salah satu syarat perdamaian itu adalah korban mencabut laporannya di Polres Manggarai Barat. Karena itu, laporan akan dicabut pada Kamis pagi, 14 September.

Upaya mediasi itu dilakukan polisi di tengah ramainya kecaman publik atas kasus ini yang menuntut agar AKP Ivans mendapat sanksi tegas.

Polisi itu memukul G, satpam di sebuah bank  di Labuan Bajo pada Rabu pagi, 13 September. Penganiayaan itu bermula dari tindakan satpam yang menegurnya karena mengenakan helm saat menggunakan mesin ATM.

Ia lalu menganiaya satpam itu di lokasi dan di kantor Polsek Labuan Bajo.

AKP Ivans beralasan teguran satpam itu membuatnya tidak konsentrasi saat memasukkan sandi ATM.

Ini bukan kasus tunggal di mana polisi di Manggarai Barat menganiaya masyarakat, lalu kemudian meminta penyelesaian lewat jalur adat.

Pada 2020, sejumlah polisi di kota pariwisata super premium itu juga memukul para pemuda yang sedang nongkrong hingga berdarah-darah.

Kala itu, mereka juga melakukan pendekatan adat, dengan meminta maaf dan membayar denda kepada keluarga korban.

Kultur Kekerasan di Institusi Kepolisian

Rozzy Brilian dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] mengatakan, kasus kekerasan yang dilakukan AKP Ivans merupakan bagian dari “kultur kekerasan yang mengakar pada institusi kepolisian.”

Ia mengatakan kultur itu “terbangun karena paradigma arogansi dalam tubuh kepolisian yang merasa memiliki kekuasaan yang besar.”

“Ada ketimpangan relasi kuasa antara yang punya seragam, jabatan dengan masyarakat biasa. Karena itu, mereka dengan mudah melakukan tindakan kekerasan,” katanya kepada Floresa.

Ia menjelaskan, tindakan AKP Ivans itu jelas merupakan “tindakan melanggar hukum,” yang perlu diproses secara hukum berdasarkan kode etik kepolisian.

Ia juga mengatakan, Kapolres Manggarai Barat dan Kapolda NTT “perlu melakukan fungsi kontrol terhadap bawahan agar tidak membiarkan tindakan seperti ini di institusi kepolisian.”

Sementara itu Edi Hardum, seorang praktisi hukum asal Manggarai mengatakan, pelaku seharusnya mendapat tindakan tegas dari institusinya sendiri “karena tindakannya sudah termasuk bagian dari premanisme dan ada unsur tindakan pidana.”

Edi mengatakan, “seharusnya pelaku tahu bahwa kalau menggunakan mesin ATM, helm dan hal-hal lain yang menutup wajah ditanggalkan untuk  mengantisipasi terjadinya tindakan kejahatan.”

“Kalau memang pelaku tidak mau helmnya dilepas, perlu curiga terhadap orang tersebut, ada apa? Kok tidak mau diatur?” katanya.

Merespons mekanisme adat yang disepakati dalam penyelesaian kasus ini, kata Edi, itu adalah mekanisme keadilan restoratif yang sejatinya tidak mengabaikan begitu saja kejahatan pelaku.

“Saya tetap minta kepada Kapolda NTT dan Kapolri agar memberikan sanksi kepada pelaku sesuai kode etik kepolisian,” katanya.

Ia mengatakan, tindakan tegas, bahkan termasuk pemecatan terhadap polisi seperti ini, menjadi penting agar ke depan kasus serupa tidak terjadi lagi.

“Dia sudah menjalani disfungsi sebagai polisi yang seharusnya mengayomi dan melindungi masyarakat, malah melakukan tindakan sebaliknya,” katanya.

Sementara itu, Kapolda NTT, Johny Asadoma mengatakan kepada Floresa pada Rabu malam, pihaknya “akan lakukan penyelidikan sesuai aturan” terhadap AKP Ivans.

Johny mengatakan sudah menerima laporan dari korban kasus ini.

Ini bukan merupakan kasus kekerasan pertama yang melibatkan AKP Ivans selama bertugas di wilayah NTT.

Ia bahkan pernah divonis bersalah dalam kasus tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga [KDRT] saat sedang bertugas di wilayah Polres Kabupaten Belu. Korbannya adalah mantan istrinya.

Dalam kasus itu, sebagaimana diakses Floresa dari Direktori Putusan Mahkamah Agung, Rabu, 13 September, ia divonis pidana penjara selama tiga bulan.

Putusan 44/Pid.Sus/2021/PN.Atb yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Atambua pada 12 Juni 2021 itu menyatakan ia “terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘dengan sengaja melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga.”

Selain pernah melakukan KDRT, saat menjadi Kasat Resnarkoba Polres Belu, AKP Ivans juga pernah mengintimidasi wartawan dari media GerbangNTT.com, Mariano Parada.  Namun, masalah ini berakhir damai.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini