Floresa co – Sejumlah organisasi masyarakat sipil menyerukan reformasi Kepolisian Republik Indonesia [Polri] menyusul berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan anggota institusi itu di berbagai wilayah, termasuk di NTT.
Sebagai bagian dari agenda reformasi itu, Alif Maulana dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia [YLBHI] menekankan pentingnya melucuti senjata api dari aparat kepolisian.
Polisi, katanya, “tidak seharusnya menggunakan pendekatan militeristik. Fungsi-fungsi pelayanan masyarakat, seperti Korps Lalu Lintas, tidak membutuhkan senjata api.”
Alif mengingatkan, penggunaan senjata api harus menjadi pilihan terakhir dalam penegakan hukum.
“Penggunaan senjata yang berlebihan ini adalah salah satu hambatan terbesar dalam mendorong reformasi kepolisian yang humanis dan profesional,” ujarnya dalam konferensi pers pada 8 Desember.
Selain YLBHI, konferensi pers itu juga dihadiri oleh Syamsuddin Arif [Direktur LBH Semarang], Samudin Indra [Direktur LBH Bandar Lampung], Alif Fauzi N [LBH Jakarta], Andi Muhammad Rezaldy [Wakil Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS], dan Maidina Rahmawati [dari Institute for Criminal Justice Reform/ICJR].
Maidina Rahmawati menyerukan perlunya pengawasan independen terhadap kepolisian.
“Kita butuh badan pengawas eksternal yang mampu memastikan akuntabilitas dan integritas polisi dalam menjalankan tugas mereka,” ujarnya.
Maidina juga menekankan pentingnya perhatian pemerintah dan DPR dalam menanggapi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
“Sudah lama kami mengajukan bahwa kepolisian adalah salah satu lembaga yang paling tinggi melakukan pelanggaran,” katanya.
“Kami menekan bahwa langkah konkret harus segera diambil oleh Presiden dan DPR untuk mereformasi kepolisian, terutama dalam hal kewenangan kepolisian di ranah hukum pidana,” tambah Maidina.
Konferensi pers bertajuk “Darurat Reformasi Polri” itu mengungkapkan praktik sewenang-wenang dalam penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian dan kasus pembunuhan di luar proses hukum [extrajudicial killing].
Iqbal M. Nurfahmi membuka diskusi dengan menceritakan dua insiden yang terjadi pada 24 November.
Insiden pertama melibatkan seorang siswa SMKN 4 Semarang bernama Gamma Rizkinata Oktafandi [18] yang meninggal setelah ditembak oleh Aipda Robig, anggota Satuan Reserse Narkoba Kepolisian Resor Kota Besar Semarang.
Pada hari yang sama, Beni [45], seorang pria dari Kabupaten Bangka, juga tewas ditembak oleh anggota Brimob Polda Bangka Belitung setelah dituduh mencuri sawit.
Selain itu, dua hari sebelumnya, terjadi insiden penembakan antara sesama anggota polisi di Sumatera Barat.
Samudin Indra, Direktur LBH Bandar Lampung, menambahkan pada 28 Maret di Lampung, seorang warga bernama Romadon juga ditembak oleh polisi di depan keluarganya atas tuduhan keterlibatan dalam tindak pidana.
Insiden-insiden ini menegaskan pentingnya reformasi dalam pengendalian penggunaan kekuasaan oleh aparat kepolisian, kata Syamsuddin.
Ia menjelaskan, kasus penembakan terhadap Gamma menunjukkan pelanggaran prosedur yang serius.
“Gamma adalah siswa SMK Semarang yang ditembak mati oleh aparat, sementara dua temannya masih dirawat intensif. Berdasarkan kesaksian warga dan teman-teman korban, tidak ada tawuran yang terjadi malam itu, dan Gamma tidak tergabung dalam geng manapun,” jelasnya, menyinggung soal alasan yang semula dipakai polisi sebagai pemicu penembakan.
Syamsuddin menambahkan, keluarga korban telah melaporkan kasus ini sebagai tindak pidana, namun hingga dua minggu pasca kejadian, belum ada langkah konkret dari Polda Jawa Tengah maupun Kapolres Semarang.
“Polisi berdalih masih membutuhkan bukti tambahan. Padahal, CCTV di tempat kejadian telah diambil oleh mereka tidak lama setelah insiden,” tegasnya.
Maidina Rahmawati dari ICJR menambahkan, “ketidakjelasan langkah hukum yang diambil polisi menunjukkan lemahnya akuntabilitas dalam institusi ini.”
“Ini adalah pengkhianatan terhadap mandat untuk melindungi dan melayani masyarakat,” ujarnya.
Samudin Indra memaparkan kronologi penembakan terhadap Romadon pada pada 28 Maret di rumahnya di Lampung oleh aparat yang datang dengan mobil.
“Saat Romadon dipanggil oleh ayahnya, ia langsung menghadapi aparat dari jarak sangat dekat sekitar 1-2 meter,” katanya.
“Tanpa peringatan, polisi menembak hingga Romadon jatuh di tempat,” kata Samudin.
Setelah penembakan, “jenazah Romadon diseret dan dibawa pergi, tanpa pemberitahuan apapun kepada keluarga.”
Samudin berkata, kasus ini mencerminkan pola kekerasan yang terus berulang.
“Kita harus menuntut transparansi penuh dalam penyelidikan kasus ini karena tidak ada alasan untuk menutupi kejahatan seperti ini,” tambahnya.
Alif Fauzi. N dari LBH Jakarta memaparkan hasil monitoring kasus pembunuhan di luar proses hukum [extrajudicial killing] di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi atau Jabodetabek.
Alif mengungkapkan, pada kurun 2010 hingga 2020, terdapat 54 kasus pembunuhan di luar proses hukum di wilayah Jabodetabek.
Selanjutnya, kata dia, pada 2021 hingga 2024, terdapat enam kasus serupa.
“Mayoritas korban ditembak di bagian dada dengan dalih melakukan perlawanan,” ungkapnya.
Ia menambahkan, dalam kasus-kasus itu, keluarga korban seringkali dilarang menuntut setelah diberikan uang oleh polisi.
Andi Muhammad Rezaldy dari KontraS berkata, pola ini menunjukkan adanya struktur sistemik yang memungkinkan pelanggaran terus berlangsung.
Kekerasan oleh anggota kepolisian yang “sudah terjadi secara berulang ini menunjukkan masalah institusi yang sangat akut.”
“Publik sudah sangat kecewa mengenai kinerja institusi kepolisian yang cenderung menyalahgunakan wewenang dan melakukan pelanggaran hak asasi manusia,” ujarnya.
Andi mengungkapkan, data KontraS menunjukkan, terjadi 353 peristiwa kekerasan oleh polisi pada 2020 hingga 2023, yang menewaskan 410 orang.
“Hingga Desember 2023 sampai November 2024 saja, ada 45 peristiwa dengan 47 korban tewas,” katanya.
Andi juga menyoroti minimnya intervensi negara untuk mengatasi akar masalah ini.
Ia menekankan bahwa pelanggaran hak asasi manusia oleh polisi seringkali tidak ditindak.
“Ketika laporan diajukan, prosesnya sangat lama atau tidak diterima sama sekali,” jelasnya.
Menurut Andi, kondisi ini mencerminkan karakter kepolisian yang semakin otoriter dan tidak demokratis.
“Pengawasan internal maupun eksternal lemah, dan belum ada lembaga independen dengan kewenangan kuat untuk mengawasi,” ujarnya.
Kekerasan Kepolisian di NTT
Meski tidak disorot dalam konferensi pers itu, data KontraS mengungkapkan sepanjang 2020 hingga 2024, terdapat 69 kasus kekerasan oleh anggota kepolisian di NTT.
Sebagian besar atau 59 kasus dilakukan oleh aparat kepolisian tingkat Polres, disusul Polsek 8 kasus dan Polda 5 kasus.
Bentuk-bentuk kekerasannya adalah penembakan [27 kasus], penganiayaan [25 kasus], intimidasi [11 kasus], penyiksaan [6 kasus], pembubaran paksa [6 kasus], penangkapan sewenang-wenang [6 kasus], dan kekerasan seksual [1 kasus].
Berbagai kekerasan aparat kepolisian di NTT ini mengakibatkan delapan orang meninggal dunia, 78 luka-luka dan 80 orang ditangkap/ditahan.
Di antara berbagai kasus tersebut, Floresa mencatat, pada 2 Oktober anggota Kepolisian Polres Manggarai menganiaya dan menangkap pemimpin redaksi Floresa, Herry Kabut saat meliput penolakan warga Poco Leok terhadap proyek perluasan geotermal Ulumbu.
Selain Herry, polisi juga menangkap dan menganiaya beberapa warga Poco Leok. Kasus ini sedang diselidiki Polda NTT, baik laporan pidana maupun etik.
Kasus lainnya adalah penganiayaan warga Labuan Bajo oleh sejumlah anggota Kepolisian Perairan dan Udara [Polairud] di Deja’vu Bar 2.0.
Meski bukti tindak kekerasan sudah disampaikan ke kepolisian serta atasan terduga pelaku melakukan pendekatan ke keluarga korban, tetapi Polres Manggarai Barat belum menetapkan tersangka.
Doroteus Hartono berkontribusi atas laporan ini
Editor: Petrus Dabu