Polisi Terpidana Kekerasan terhadap Bhayangkari Abaikan Sanksi Etik, Korban dan Aktivis Perempuan Soroti Sikap Diam Polres Alor

Bripka Adrianus Adeanto Aran tidak menjalankan tiga putusan hasil sidang etik, termasuk meminta maaf kepada korban, bhayangkari istri bawahannya

Floresa.co – Korban dan aktivis menyoroti sikap Polres Alor di NTT yang diam terhadap seorang polisi terpidana kasus kekerasan terhadap bhayangkari yang tidak menjalankan sanksi etik.

Mereka menilai sikap diam institusi itu merupakan bentuk upaya pelemahan penegakan hukum.

Bripka Adrianus Adeanto Aran melakukan kekerasan terhadap AS pada 28 April 2023, saat ia bertugas di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polsek Alor Tengah Utara.

Ia divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Kalabahi. Usai bebas, ia menjalani sidang etik di institusinya. 

Dalam putusan pada 14 Maret, Komisi Etik Kepolisian yang diketuai Kompol Jamaludi yang sekaligus Wakapolres Alor, Adrianus diberi tiga poin sanksi.

Poin pertama, ia didemosi selama tiga tahun, sementara poin kedua ia ditempatkan di tempat khusus selama 20 hari.

Poin ketiga putusan itu mewajibkannya meminta maaf secara lisan dan tertulis kepada korban dan keluarga korban pada saat sidang berlangsung. 

Usai putusan etik itu, pelaku kembali ditugaskan di Polres Alor dan berada dalam unit kerja yang sama dengan suami korban, Briptu Jovan Anis Kapaikai. 

Keduanya sama-sama menjadi anggota Samapta Bhayangkara pada regu penjagaan yang menangani bidang keamanan dan ketertiban.

Saat bertugas di Polsek Alor Tengah Utara, pelaku menjabat sebagai Kepala Sentra Pelayanan Kepolisian B regu 2, sedangkan suami korban merupakan anggota Bintara Unit Reskrim.

AS, bhayangkari korban kekerasan menduga Adrianus mengabaikan seluruh poin putusan sidang etik itu. 

Karena itu, pada 22 Agustus ia menemui Kepala Seksi Profesi dan Pengamanan [Propam] Polres Alor,  Iptu I Gusti Arya Putra, meminta kejelasan   sikap institusi itu terhadap pelaku.

Ia juga menanyakan alasan Polres Alor menempatkan suaminya dalam unit kerja yang sama dengan pelaku.  

AS mengaku suaminya mendapat ancaman pembunuhan dari pelaku saat mereka menemui Arya. 

Pemimpin Polres Alor, kata dia, mestinya menganggap hal tersebut sebagai masalah serius, “apalagi aktivitas mereka tidak terlepas dari senjata.”

Kepada AS, Arya mengaku sudah beberapa kali memerintahkan pelaku secara lisan agar menjalankan putusan etik itu, namun diabaikan.

“Kami juga pusing untuk memperingatkan pelaku berkali-kali agar menjalankan saksi itu, tapi dia tidak pernah mau dengar,” kata AS menirukan perkataan Arya.  

Merespons jawaban itu, AS kembali bertanya “apakah upaya Polres Alor hanya sebatas  perintah lisan?”

Namun, Arya mengklaim “tugas kami hanya sampai pada pelaksanaan sidang etik.”

“Soal dia mau menjalankan atau tidak [putusan sidang etik], itu urusan pelaku,” kata AS menirukan ucapan Arya.

AS mengaku saat ia sedang berbicara dengan Arya, pelaku masuk ke ruangan Propam kemudian berdiri di samping kanan korban sambil menyodorkan tangan kanannya,  memaksa  untuk berjabat tangan.

Sambil tertawa, pelaku berkata kepada AS “terima kasih sudah menjebloskan saya ke penjara.”  

Tidak terima dengan perbuatan pelaku, AS melayangkan protes kepada Arya karena membiarkan hal itu.

“Kenapa tidak mencegah pelaku saat masuk ke ruangan dan memaksa saya untuk berjabat tangan,” katanya. 

AS mengatakan alih-alih menegur pelaku, Arya justru “melarang saya agar tidak berbicara dengan nada tinggi.”

Arya, kata dia, mestinya mengambil tindakan saat pelaku masuk ke ruangan dan melakukan pelecehan karena “mencoba mengambil paksa tangan saya.” 

“Bukan saya yang seharusnya Bapak tegur, tapi anggota Bapak,” katanya.

Merespons pernyataan itu, kata AS, Arya lalu “menggebrak meja dan  menyuruh saya diam.” 

AS mengatakan petinggi Polres Alor “tidak memiliki sikap yang tegas dalam menyikapi anggotanya yang tidak menjalankan putusan etik atas tindak pidana yang dilakukan.”

Polres Alor, kata dia, telah “mempermainkan hukum” sedemikian rupa, sehingga “pelaku  dibiarkan untuk tidak menjalankan putusan bersifat wajib.” 

“Ini tidak adil bagi saya. Pelaku seolah-olah tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Lalu, apa gunanya sidang etik itu?” katanya kepada Floresa usai menemui Arya.

Bagaimana Duduk Soal Kasus Ini?

Pada 28 April 2023, AS sedang menyapu halaman di belakang asrama kepolisian di Polsek Alor Tengah Utara ketika pelaku dan dua anggota lainnya mengonsumsi minuman keras di teras asrama itu pada jam dinas.

Tiba-tiba pelaku menghampirinya, memeluk, menggigit punggung dan mengajaknya berhubungan badan.

Ia spontan berteriak histeris meminta tolong. 

Mendengar teriakan itu, salah seorang teman pelaku menghampiri mereka, memarahi pelaku. 

Beberapa saat setelah kejadian itu, AS mendatangi suaminya yang juga bertugas di Polsek Alor Tengah Utara, memberitahu kejadian itu.

Bersama suaminya, mereka melaporkan kejadian tersebut ke Polres Alor pada keesokan harinya, 29 April.

Setelah menempuh proses hukum, pelaku menjadi tersangka dan ditahan, hingga disidang di Pengadilan Negeri Kalabahi.

Jaksa menuntutnya dipenjara enam bulan karena melanggar pasal 351 ayat (1) KUHP terkait penganiayaan. Ancaman hukuman pasal itu paling lama 2 tahun 8 bulan, dengan denda empat ribu lima ratus rupiah dilipatgandakan seribu kali sehingga menjadi empat juta lima ratus ribu rupiah.

Dalam putusan pada 4 Desember 2023, hakim memvonisnya lima  bulan penjara, dikurangi masa tahanan 4 bulan.

AS sempat menyatakan kecewa dengan vonis yang terlalu rendah karena tidak memberi efek jera.

“Dia akan menganggap perbuatannya bukan hal yang serius untuk diurusi,” katanya.

Putusan tersebut, katanya, tidak sebanding dengan trauma yang ia alami.

Tidak Berpihak pada Korban 

Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Flobamorata, Linda Tagie mempertanyakan penyelesaian kasus ini yang tidak berpihak dan berperspektif korban.

Salah satunya tampak dalam tuntutan dan vonis yang ringan terhadap pelaku. 

Ia berkata, kasus itu seharusnya bisa dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual [UU TPKS] yang hukumannya lebih berat, bukan kasus penganiayaan.

Dalam UU TPKS, pelecehan seksual non fisik diancam pidana penjara sembilan bulan dan denda maksimal Rp10 juta, sementara pelecehan seksual fisik diancam pidana penjara maksimal empat tahun dan denda maksimal Rp50 juta. 

Sementara Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap  Perempuan, Theresia Iswarini berkata, “aparat penegak hukum tidak memiliki sensitivitas terhadap kasus kekerasan seksual mulai dari pelaporan hingga pengadilan, bahkan sampai pada putusan dan pasca putusan.”

Ia menjelaskan, dalam kasus ini ada relasi kuasa, sehingga hakim mestinya menggunakan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

Peraturan itu bisa menjadi dasar untuk “melihat relasi kuasa dalam kekerasan berbasis gender guna menghindari viktimisasi atau proses seorang korban kekerasan seksual kembali menjadi korban.”

Theresia mengatakan relasi kuasa antara pelaku dengan korban yang merupakan istri dari bawahan pelaku berpengaruh pada seluruh proses hukum yang dilalui pelaku, termasuk “pengabaian sanksi etik.”

Ia juga menyoroti pernyataan Kepala Seksi Propam Polres Alor,  Iptu I Gusti Arya Putra yang menyebut “pelaksanaan sanksi etik adalah urusan  pelaku.”

Kepala Seksi Profesi dan Pengamanan Polres Alor,  Iptu I Gusti Arya Putra. (Anjany Podangsa/Floresa)

Pernyataan itu, kata dia, berpotensi “menyumbang keberulangan tindakan kekerasan oleh pelaku.” 

Dalam hal ini, katanya, pelaku akan menganggap bahwa tindakannya sudah dibalas dengan sanksi “entah terlaksana atau tidak.” 

Ia berkata jika pengabaian putusan itu dibiarkan, maka akan berpotensi menguatnya “rape culture atau budaya yang menormalisasi kekerasan seksual untuk terus terjadi.”

“Sangat disayangkan tindakan pembiaran pelaku di institusi penegak hukum,” katanya kepada Floresa pada 26 Agustus. 

Sementara Linda Tagie menyoroti upaya pelemahan hukum yang dilakukan oleh petinggi Polres Alor karena “tidak menindak tegas anggota yang tidak menjalankan sanksi etik.”

“Putusan kode etik yang tidak ditaati oleh pelaku menjadi tanggung jawab petinggi Polres Alor.” 

Ia juga menyoroti pernyataan Arya yang menyebut “pelaksanaan putusan etik bukan urusan kami.”

Pernyataan itu menunjukkan bahwa Polres Alor “tidak bertanggung jawab sebagai aparat hukum.”

“Apakah masih pantas untuk mempercayai polisi sebagai penegak hukum untuk masyarakat?”, katanya. 

Linda mengatakan ancaman terhadap suami korban oleh pelaku juga mestinya tidak dianggap sebagai persoalan sepele oleh petinggi Polres Alor. 

Pemimpin institusi itu, kata dia, mesti mengambil tindakan sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan antara suami korban dan pelaku. 

“Kalau petinggi Polres hanya diam, publik akan menganggap bahwa pimpinan juga ikut andil dalam kejadian buruk itu,” katanya. 

Linda berkata, ancaman pembunuhan sudah diatur dalam pasal 336 KUHP dengan pidana penjara dua tahun delapan bulan.

Floresa meminta tanggapan Kapolres Alor AKBP Supriadi Rahman dan Kepala Seksi Profesi dan Pengamanan Polres Alor,  Iptu I Gusti Arya Putra melalui WhatsApp pada 23 Agustus.

Namun, keduanya tidak merespons hingga berita ini dipublikasi, kendati pesan yang dikirim ke ponsel mereka bercentang dua dan berwarna biru, tanda telah dibaca.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA