‘Nusa Tempat Titip’ Jadi Ramai, Kapolri Didesak Investigasi Hasil Seleksi Taruna Akpol 2024 dari NTT

Dari 11 peserta yang lolos, hanya satu putra asli NTT

Floresa.co – Sejumlah elemen mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melakukan evaluasi terhadap hasil seleksi peserta Akademi Kepolisian [Akpol] 2024 dari wilayah Polda Nusa Tenggara Timur [NTT] karena mayoritas peserta yang lolos bukan warga asli provinsi itu.

Dalam daftar 11 nama peserta hasil seleksi, hanya satu yang disebut sebagai warga asli NTT, sementara mayoritas berisi nama warga asal daerah lain, seperti Suku Batak di Provinsi Sumatera Utara.

Nama-nama peserta yang lolos antara lain Yudhina Nasywa Olivia, Arvid Theodore Situmeang, Reynold Arjuna Hutabarian, Mario Christian Bernalo Tafui, Bintang Lijaya, Ketut Arya Adityanatha, Brian Lee Sebastian Manurung, Timothy Abishai Silitonga, Mochammad Rizq Sanika Marzuki, Madison Juan Raphael Kana Silalahi dan Lucky Nuralamsyah.

Hal ini memicu kritikan luas, dengan sorotan mengarah kepada Kapolda NTT, Daniel Tahi Silitonga, yang berasal dari Suku Batak. Plesetan NTT sebagai “Nusa Tempat Titip” pun ramai di media sosial.

Diaspora Lembata Sedunia, sebuah peguyuban warga asal Kabupaten Lembata yang tersebar di berbagai belahan dunia berkata dalam sebuah pernyataan yang diterima Floresa pada 8 Juli, Kapolri perlu secara serius memberi atensi terhadap masalah ini.

Petrus Bala Pattyona, salah satu anggota paguyuban yang disebut Ata Lembata itu berkata, “untuk memastikan apakah dalam proses seleksi itu terjadi hal-hal berbau kecurangan atau nepotisme, kami minta Kapolri membentuk tim investigasi.”

Apalagi, kata dia, terkait dugaan bahwa empat peserta yang lolos berasal dari daerah yang sama dengan Kapolda NTT.

Cara memastikan status siswa yang lolos, katanya, dengan memeriksa data kependudukan mereka seperti Kartu Keluarga, KTP, Akta Kelahiran, juga ijazah.

“Ini penting karena bisa saja nama-nama yang tak akrab di NTT ternyata lahir dan besar serta sekolah di NTT,” katanya.

Namun, “seandainya data kependudukan seperti KTP dibuat sebulan, bahkan beberapa hari menjelang seleksi atau numpang KK, maka patut dianulir Kapolri melalui Panitia Seleksi Polda NTT.”

Seandainya data administrasi para peserta yang lolos itu dari awal bermasalah, “tentu ada orang yang berpengaruh yang mengatur ini semua hingga lolos,” katanya.

Ia berkata, jika dalam proses verifikasi ditemukan bahwa para peserta lolos itu sekolah di luar NTT, entah di Bali atau Sumatera Utara “harusnya dibatalkan.”

Ambil Kesempatan Warga NTT

Pembatalan hasil seleksi tersebut, kata Bala Pattyona, tepat karena kehadiran calon siswa dadakan telah mengambil kesempatan dan hak putra-putri NTT yang hanya mendapat kuota 11 orang.

Apalagi, jelasnya, hal yang juga menjadi pertanyaan, “mengapa untuk NTT kuotanya  hanya 11 orang, sementara Sumatera Utara bisa di atas 200 orang?”

Ia mengingatkan pentingnya memperjuangkan kuota warga NTT diperbanyak dan ini berlaku untuk proses seleksi semua lembaga lainnya, seperti TNI, pengadilan dan kejaksaan.

Sementara itu Justin Wejak, warga Lembata yang kini pengajar di Universitas Melbourne, Australia berkata, reaksi warga NTT terhadap kasus ini bisa dimaklumi karena ada apinya, yaitu hasil seleksi yang bermasalah.

Karena itu, kata dia, yang perlu diselidiki bukan pada asapnya atau reaksi publik, tetapi pada apinya.

Ia berkata, persepsi soal warga asli dan pendatang yang muncul dalam kasus ini “tidak boleh diremehtemehkan” karena berpotensi menciptakan konflik sosial dalam masyarakat.

Di seantero jagat, apalagi di Indonesia, katanya, jika tidak disiasati dengan baik bangunan dikotomi ‘asli pendatang’ dapat menjadi racun berbahaya dalam relasi sosial.

“Tugas negara adalah segera membentuk tim yang menyelidiki dugaan ketidakadilan terkait kelulusan 11 calon siswa Akpol asal Polda NTT,” katanya.

“Ini penting, bukan saja untuk menciptakan rasa keadilan sosial, melainkan juga demi menjaga nama baik institusi kepolisian,” katanya.

“Apakah negara punya keberanian melakukan itu?” tambah Justin.

Sementara Ansel Deri, angota Ata Lembata lainnya menyebut hasil seleksi ini “tak mencerminkan penghormatan dan penghargaan atas sumber daya manusia anak muda NTT yang berniat mengabdikan diri di korps Bhayangkara.”

Kapolda NTT dan panitia seleksi, katanya, “tak perlu memberikan penjelasan panjang lebar, namun [hasilnya] dianulir saja.”

Praktisi hukum yang juga warga Lembata diaspora lainnya, Mathias Lado Purab menambahkan, “apakah memang praktek-praktek seperti itu sering terjadi saat penerimaan para calon taruna Akpol?”

Kapolri mesti segera menjelaskan kepada publik, khususnya masyarakat NTT, katanya.

Ombudsman NTT: Ini Soal Keadilan

Sorotan terhadap hasil tes ini juga disampaikan Kepala Ombudsman Kantor Perwakilan NTT, Darius Beda Daton.

“Ini bukan soal anak-anak NTT mampu atau tidak mampu bersaing, tetapi lebih kepada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” katanya.

Apalagi, katanya seperti dilansir dari Detik.com, hal ini “sering diucap Presiden Jokowi untuk membandingkan wilayah Barat dan Timur” Indonesia.

Ia mengaku ikut diserbu pesan via WhatsApp dan di media sosial berisi protes warga NTT.

Ia berkata, selain memplesetkan NTT menjadi ‘Nusa Tempat Titip,’ ada juga yang beranggapan bahwa “naturalisasi bukan hanya di sepakbola, tetapi juga calon taruna Akpol antarprovinsi.”

Ia berkata belum bisa memastikan ada atau tidaknya nepotisme dalam seleksi ini karena butuh pembuktian.

Menurutnya, setiap orang boleh mengikuti seleksi calon taruna Akpol di seluruh Indonesia, termasuk warga NTT yang boleh mengikuti seleksi dari provinsi lain.

Darius berkata, persepsi negatif publik NTT terhadap hasil seleksi ini terjadi karena tidak ada pertimbangan komposisi dengan putra-putri daerah.

“Kita hanya berharap suara-suara dari NTT terus bergaung dan didengar oleh Kapolri sehingga hasil seleksi dapat ditinjau kembali, utamanya untuk memenuhi syarat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” katanya.

Darius menjelaskan, Biro Sumber Daya Manusia Polda NTT seharusnya melibatkan pengawas internal dan eksternal dalam seleksi calon taruna Akpol, agar transparan dan akuntabel.

Kritikan juga disampaikan Benny Kabur Harman, Anggota DPR RI asal NTT.

Ia berkata “harus dijelaskan, apakah benar dari 11 taruna Akpol yang dinyatakan lolos dari Polda NTT benar-benar memiliki KTP NTT.”

“Ataukah NTT  hanya dipakai pinjam sebagai tempat untuk sekedar memenuhi kuota setiap provinsi,” katanya.

Menurut Benny, penjelasan pihak Polri sangat penting untuk mencegah narasi yang kontraproduktif dan bias etnik.

“Jika perlu, diaudit prosesnya dan jika ini yang terjadi, sebaiknya 11 orang yang dinyatakan lulus ini segera dianulir,” katanya.

Benny berkata, sistem rekrutmen taruna Akpol harus dilakukan secara terbuka, transparan, akuntabel, dan obyektif serta nondiskriminatif, jauh dari nepotisme, sambil “mempertimbangkan keadilan wilayah nusantara dan keseimbangan daerah, bukan titipan anak-anak pejabat.”

“Jika tidak ada nepotisme, maka saya juga meminta masyarakat NTT harus menghormati proses seleksi taruna Akpol yang dilakukan,” katanya.

Apa Kata Kapolda NTT?

Merespons berbagai kritik, Kapolda NTT, Daniel Tahi Monang Silingtonga berkata, dari 11 nama itu memang hanya satu yang asli putra NTT, sementara “lima orang putra daerah yang lahir dan besar di NTT, dan lima orang pendatang yang sudah menetap di NTT.”

Ia tidak merinci maksud dari “putra daerah yang lahir dan besar di NTT.”

Daniel mengjlaim seluruh hasil tes langsung ditayangkan dan ditandatangani peserta dan pengawas. Peserta juga dipersilakan mengisi survei kepuasan yang dilakukan secara terbuka.

”Panitia pun tidak bisa mengubah hasil perolehan nilai karena sudah diolah dalam sistem,” katanya, seperti dilansir Kompas.

Ia menambahkan, “peserta pun sudah mengetahui nilai setiap selesai tahapan pendaftaran.

Sorotan Warganet

Sejumlah unggahan warganet NTT di media sosial sebelumnya menyindir hasil seleksi tersebut.

Akun Facebook Marta Muslin misalnya menulis “Sa pikir catar [calon taruna] Akpol Sumatera Utara ini, ternyata NTT” dalam unggahan yang melampirkan daftar nama peserta yang lolos.

Sejumlah pengguna Facebook kemudian mengomentari unggahan itu.

“Semoga suatu saat peluang diberikan kepada anak petani, ekonomi susah menjadi abdi negara,” komentar pemilik akun Adrinaus Polo Gara.

Sementara akun lainnya Itok Aman menulis: “Ketika kekuatan orang dalam mengalahkan kekuatan doa orang tua.”

Sementara dalam unggahan lain Marta Muslin, ia menyatakan, tak perlu menganulir peserta yang sudah lolos, karena “akan berbahaya untuk mental anak-anak yang sudah dinyatakan lulus.”

“Benahi saja sistem perekrutan. Lebih transparan. Kalau perlu peserta boleh pakai second opinion untuk masalah kesehatan dari lembaga yang lebih independent,” tulisnya.

Ia menambahkan, “kami juga mau banyak adik-adik dan anaka-anank NTT jadi Kombes atau Jenderal di masa depan.”

Untuk warga NTT, katanya, semoga ini jadi pintu masuk untuk mengawasi proses rekruitmen pada lembaga-lembaga, sambil bekerja sama membangun jaringan menaikkan kualitas sumber daya manusia di NTT.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA