Floresa.co – Seorang kepala sekolah di Kabupaten Kupang, NTT yang baru-baru ini viral di media sosial mendesak Gubernur Emanuel Melkianus Laka Lena hingga Presiden Prabowo Subianto memperhatikan infrastruktur dasar sekolahnya yang reyot.
Jeheskial Tanaos, Kepala SMKN 2 Amfoang Selatan yang berada di Desa Ohaem, Kecamatan Amfoang Selatan, Kabupaten Kupang itu muncul dalam video yang telah banyak dibagikan warganet di Instagram.
Dalam video berdurasi 1 menit 43 detik itu, ia menyuarakan kegelisahannya mengenai sekolahnya.
“Inilah keadaan sekolah kami di sini,” katanya sembari berdiri di depan bangunan yang dinding dan jendelanya terbuat dari susunan bambu serta beratap seng yang sudah karat.
“Infrastruktur SMKN 2 Amfoang Selatan kini sangat memprihatinkan,” tambah Jeheskial.

Bambu yang menjadi dinding sekolah itu lapuk dan terlihat lubang pada beberapa bagian. Sekolah itu juga beralaskan tanah.
Meski sudah reyot, kata Jeheskial, bangunan itu tetap difungsikan oleh para siswa.
Selain kepada Gubernur Laka Lena, ia juga berharap agar Kepala Dinas Pendidikan Provinsi NTT, Ambrosius Kodo memperhatikan kondisi sekolahnya.
“Saya mohon Bapak Gubernur atau perangkat Dinas Provinsi untuk memperhatikan sekolah ini. Kami mengajar untuk mencerdaskan anak-anak bangsa yang kemudian menjadi pemimpin,” katanya.
Jeheskial juga mendesak Presiden Prabowo menganggarkan biaya perbaikan sekolah-sekolah di NTT.
“Bapak lihat sendiri. Tolong Presiden Prabowo, perhatikan sekolah kami di Nusa Tenggara Timur ini,” kata Jeheskial.
Ia mengulangi kata “tolong” sebanyak tiga kali.
Sebelum diakhiri “terima kasih,” ia menyebut “kami mengabdi di sini untuk mencerdaskan anak-anak sehingga menjadi pemimpin di kemudian hari.”
Video itu ikut dibagikan akun Instagram @fakurly pada 10 Mei. Akun itu milik Fitria Anis Kurly, seorang guru yang pernah mengajar di Polandia dan dikenal sebagai penulis buku.
Ia menulis takarir; “Kepala SMKN 2 Negeri Amfoang Selatan sudah berkali-kali minta bantuan ke pemerintah pusat dan Dinas Pendidikan daerah, tapi nggak ada respons.”
“Kejadian ini makin panas pas pemerintah pusat mengumumkan anggaran Rp2 triliun buat bagikan 15.000 papan tulis pintar atau smart board ke sekolah-sekolah,” tulisnya.
Pembagian smart board merupakan bagian dari program digitalisasi pendidikan yang diluncurkan pada Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025 di SDN Cimahpar 5, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menyatakan pemerintah telah menyiapkan anggaran khusus untuk distribusi papan interaktif tersebut.
Pada kesempatan yang sama, Prabowo menyatakan,“saya berharap dalam dua bulan sudah mulai sekolah-sekolah pertama menerima layar-layar televisi tersebut.”
“Sasaran saya adalah (realisasi program itu) dalam satu tahun. Pertengahan 2026 semua sekolah di Indonesia bisa mendapat layar televisi tersebut,” ujar Prabowo.
Apa Kata Dinas Pendidikan Provinsi?
Floresa menghubungi Gubernur NTT, Emanuel Melkianus Laka Lena pada 12 Mei, menanyakan langkah pemerintah terhadap masalah di SMKN 2 Amfoang Selatan yang alih-alih butuh infrastruktur canggih seperti smart board, malah masih berkutat dengan infrastruktur dasar.
Melki mengklaim, persoalan itu sudah diatur Kepala Dinas Pendidikan NTT, Ambrosius Kodo.
“Silakan tanya Pak Ambros,” katanya.
Berbicara via telepon dengan Floresa, Ambros berkata, upaya perbaikan infrastruktur sekolah itu sedang diupayakan.
“Pemerintah provinsi sudah menyiapkan pagu anggaran di tahun 2025,” katanya.
Ia berkata, anggaran itu untuk memperbaiki ruang administrasi, menambah perabot sekolah dan alat praktik siswa.
“Tahun ini akan diperbaiki,” katanya, kendati tidak menyebut bulan realisasinya.
Menurutnya, selain SMKN 2 Amfoang Selatan, ada juga SMA dan SMK lain di NTT yang sedang antri untuk perbaikan sarana dan prasarana, meski tidak merinci jumlahnya.
Total anggaran perbaikan tahun ini untuk semua sekolah, kata Ambros, sebesar Rp100 miliar.
Soal bangunan reyot SMKN 2 Amfoang Selatan sekolah reyot yang tidak tercakup dalam sasaran perbaikan, ia berkata, “tidak bisa sekali diperbaiki karena ruang fiskal Dinas Pendidikan NTT terbatas.”
“Kami melakukan secara bertahap untuk menata sarana dan prasarana sekolah yang sudah mengantri,” kata Ambros.
Ia mengklaim SMKN 2 Amfoang Selatan baru beroperasi pada 2023 dari sebelumnya berstatus sekolah filial.
Sekolah filial merupakan cabang atau perpanjangan dari sekolah induk. Pembentukannya karena kebutuhan siswa yang tidak dapat ditampung di sekolah induk.
“Mereka baru berdiri sendiri tahun 2023 yang diikuti tiga angkatan,” kata Ambros.
Ia tidak menyebut nama sekolah induk, beralasan lupa datanya.

Sementara itu, merujuk pada dapo.dikdasmen.go.id – situs web milik Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah – yang diakses Floresa, SMKN 2 Amfoang Selatan berdiri pada 10 Oktober 2016, dengan surat keputusan pendirian bernomor 422/01/SK-PP/SMKN.2.AS/X/2016.
Data tersebut tidak menyebutkan sekolah filial seperti klaim Ambros.
Sementara ijin operasional SMKN 2 Amfoang Selatan terbit pada 2023, berdasarkan surat keputusan izin operasional bernomor 5/101/DPMPTSP.4.3/11/2023.
Informasi lainnya, sekolah itu melaksanakan Kurikulum Merdeka, yang diikuti 22 siswa dari Teknik Otomotif, Teknologi Konstruksi dan Properti, serta Desain dan Produk Kreatif Kriya.
Merujuk referensi.data.kemdikbud.go.id, sekolah yang berada di Desa Oehaem RT 11, RW 6 itu kini berstatus terakreditasi C.
Akreditasi C berarti suatu sekolah memiliki kualitas yang cukup baik, namun masih perlu melakukan banyak perbaikan dalam berbagai aspek.
Infrastruktur Parah, Kualitas Pun Anjlok
SMKN 2 Amfoang Selatan bukan merupakan kasus tunggal tentang kondisi sekolah yang memprihatinkan di NTT.
Pada April tahun lalu, Floresa juga merilis laporan soal kondisi SD Negeri Let’ana di Desa Tesi Ayofanu, Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) yang rusak parah.
Atap berbahan seng sekolah itu tampak usang, begitu pula dinding gedung dari pelupuh bambu yang sudah miring.
Kepala SD Negeri Let’ana, Biltaria Bilkenat Nenabu berkata kepada Floresa kala itu, karena atap yang lubang, pada musim hujan “air masuk dalam ruang kelas.”

Hal itu membuat “ruangan berlumpur,” sehingga proses belajar mengajar tidak bisa dilaksanakan.
Menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten TTS, Musa Benu, terdapat 40-an SD yang kondisi gedungnya sama dengan SD Negeri Let’ana, bahkan ada juga yang lebih memprihatinkan.
Selain SD, jelas Musa, ada sekitar 30 SMP dengan kondisi yang sama. Sementara TK/PAUD yang jumlahnya mencapai 400, kondisi bangunannya juga memprihatinkan.
Sementara di Kabupaten Manggarai Timur, warga Warga Desa Gunung Baru, Kecamatan Kota Komba Utara memilih mengunggah foto dan video di media sosial pada Maret tahun lalu terkait kondisi Sekolah Dasar Katolik Lait yang juga rusak parah.
Sejumlah dokumentasi itu memperlihatkan dinding ruang kelas itu tampak bolong pada sejumlah bagian, sementara para siswa bersama guru sedang beraktivitas.

Merujuk pada data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi pada 2021, terdapat sekitar 3.886 sekolah di NTT yang masih kekurangan sarana dan prasarana.
Data itu juga menunjukkan 47.832 ruang kelas yang berada dalam kondisi rusak; 66 persen SD belum dan berakreditasi C; 61 persen SMP belum dan berakreditasi C; 56 persen SMK belum dan berakreditasi C.
Kondisi buruk ini bertalian dengan rendahnya kualitas pendidikan.
Ketika Ujian Nasional masih diterapkan, data dari Kemendikbud Ristek tahun 2021 menunjukkan hanya 4,69% siswa di NTT yang mencapai skor unggul.
Rapor pendidikan tahun 2022 yang dikeluarkan Kemendikbud Ristek juga mencatat kemampuan literasi dan numerasi di NTT pada jenjang SMA masih rendah.
Untuk dua jenis kemampuan itu, kurang dari 50 persen peserta didik yang mencapai batas kompetensi minimum.
Hal itu didapat dari asesmen terhadap 869 SMA, 33.433 siswa, 773 kepala satuan pendidik dan 20.214 guru.
Di samping itu, Indeks Pembangunan Manusia, yang salah satunya mengukur kualitas pendidikan, selalu menempatkan NTT pada posisi buncit.
Pada 2024, merujuk pada data Badan Pusat Statistik, NTT berada di urutan 34 dari 38 provinsi.
Dengan IPM 69,14, NTT hanya mengungguli empat provinsi di Papua. Indeks itu jauh di bawah rata-rata nasional 75,02.
Editor: Ryan Dagur