ReportaseMendalam“Kami Akan Terus Bersuara, Berdiri dan Melawan,” Deklarasi Warga Lawan Ekstraktivisme Menggema di Flores

“Kami Akan Terus Bersuara, Berdiri dan Melawan,” Deklarasi Warga Lawan Ekstraktivisme Menggema di Flores

Warga menuntut penghentian operasi industri ekstraktif, termasuk pencabutan status Flores sebagai Pulau Panas Bumi

Floresa.co – “Sawah kami sudah mulai mendidih, hutan kemenyan kami tidak bergetah, kami menghadapi tantangan ekonomi yang sangat besar,” pekik suara Jontar Sinaga pada siang yang terik, 29 Mei di halaman Kemah Tabor-Mataloko, Kabupaten Ngada, NTT.

Orasi singkatnya memprotes proyek geotermal di kampungnya Sarulla, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara yang dikelola PT Sarulla Operation Ltd sejak 2006.

Sawah yang mendidih, katanya, merujuk semburan uap dan lumpur panas di kawasan pertanian warga. 

“Kami sudah mengalami kemiskinan karena tambang,” katanya.

Ia bukan satu-satunya yang berorasi.

Valentinus Emang, pria paruh baya dari Desa Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat berbicara dengan lebih pelan, tak seperti orator lainnya yang menggebu-gebu.

“Di mana aku akan mencari hidup kalau tanahku dirampas pengusaha dan penguasa? Aku tidak bisa berpijak di langit atau di atas angin, tapi di tanah,” katanya.

Jontar dan Valentinus berada di Mataloko sejak 25 Mei bersama ratusan warga lainnya dari seluruh Indonesia dalam peringatan Hari Anti Tambang (Hatam). Pendeta Andy Lumbangaol dari Sarulla juga hadir menemani Jontar.

Selain mereka, belasan warga lainnya dari masing-masing lokasi tambang juga berorasi pada 29 Mei, hari terakhir rangkaian acara Hatam. 

Sesudahnya, lima orang perwakilan warga membacakan “Deklarasi Sikap dan Seruan Warga Kepulauan Indonesia; Pulihkan Bumi, Hentikan Perampokan Dengan Dalih Mitigasi Krisis Iklim!”.

Sejak pembukaan Hatam pada 26 Mei, mereka berbagi pengalaman suka dan duka dari wilayahnya masing-masing, mulai dari cerita kerusakan ruang hidup, lahan pertanian dan lingkungan sekitar rumah, hingga korban nyawa akibat operasi perusahaan tambang.

“Bahkan ada semburan lumpur dan uap panas di belakang gereja kami,” kata Pendeta Andy Lumbangaol dalam suatu sesi sharing kelompok.

Jontar Sinaga, warga lingkar proyek geotermal Sarulla, Sumatera Utara saat berorasi di Kemah Tabor-Mataloko, Kabupaten Ngada, NTT pada Hari Anti Tambang 29 Mei 2025. (Foto: Dokumentasi Panitia Hatam 2025)

Orasi Perempuan; Alam Dirusak, Manusia Dikorbankan 

“Lingkungan tercemar, bernafas susah, tidak ada hidup yang nyaman,” kata Atika Zenit, perempuan adal Dieng, Jawa Tengah.

Ia mewakili warga korban proyek geotermal PT Geo Dipa yang beroperasi secara komersial di wilayah itu sejak 2002.

Atika berkata, tinggal di sekitar proyek itu membuat ia dan warga lain kesulitan akses air bersih, baik untuk minum, kebutuhan rumah tangga lain maupun lahan pertanian.

Ia juga menceritakan peristiwa keracunan hingga kematian, baik warga maupun pekerja perusahaan akibat terpapar udara yang tercemar, termasuk akibat kebocoran gas dari sumur pengeboran panas bumi.

“Kalau perempuan lemah, pasti generasi yang dilahirkannya juga akan lemah,” kata Harwati (48 tahun), orator perempuan dari Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.

Sebelumnya, dalam sesi sharing pada 27 Mei terkait kekerasan di lingkar tambang, ia mengisahkan kerusakan rumah dan kampungnya pada 2006 akibat semburan lumpur dari proyek PT Lapindo Brantas.

Perempuan yang paling merasakan dampak buruk proyek itu, katanya. 

Ia beralasan, proyek itu tidak hanya memicu semburan lumpur panas yang menghilangkan tanah dan tempat tinggal mereka, tetapi juga kekerasan seksual oleh aparat keamanan dan orang-orang perusahaan.

Selain itu mereka juga menghadapi kebijakan negara yang tidak adil. 

Salah satunya dalam urusan kependudukan yang berdampak pada terbatasnya akses anak-anak ke sekolah-sekolah negeri.

“Kartu Indonesia Pintar anak saya dibuat online pada 2021, tetapi saat mau daftar kuliah tidak bisa diakses, katanya karena ‘KIP anak ibu nyangkut di aplikasi’,” kisahnya.

Suara Perlawanan

“Ketika ketidakadilan merajalela, maka keberanian adalah berkah untuk alam semesta,” kata Gregorius Lako, pemuda dari lingkar proyek geotermal Mataloko dalam orasinya.

PLTP Mataloko yang kini tengah dibangun kembali oleh PT PLN gagal berulang sejak pengeboran pertama pada 1998 dan menyebabkan kerusakan lahan pertanian warga. 

Proyek itu juga ditengarai menyebabkan timbulnya penyakit kulit dan pernapasan warga.

Pernyataan Goris, sapaannya, berangkat dari kegetiran yang selama ini dihadapi warga, hal yang membuat mereka kini tegas menyatakan perlawanan terbuka terhadap eksploitasi tanah Mataloko oleh pemerintah dan perusahaan.

Suara perlawanan yang sama diutarakan Atry Dahelen, perempuan muda asal Poco Leok, Kabupaten Manggarai yang tengah menghadapi konflik akibat proyek geotermal yang juga dikelola PT PLN.

“Jangan pernah beri kesempatan pada penguasa untuk rebut hak kita, rebut apa yang kita miliki, ruang hidup kita,” tegasnya.

Ia berkata, selama 28 kali aksi jaga kampung di Poco Leok, kaum perempuan “selalu berada di garda dan tameng terdepan bagi warga untuk melawan.”

Sementara Cece Jailani, pemuda dari lingkar proyek geotermal di kaki Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat berkata “tanah-tanah rakyat yang dirampas atas nama pembangunan dan kemajuan adalah titik-titik yang berjasa membentuk dan melahirkan para pejuang.”

“Berhadapan dengan kebijakan-kebijakan pemimpin seperti itu, kita harus lawan, siapapun dia. Jangan pernah takut berhadapan dengan ketidakadilan, karena keadilan dan kebenaran akan menemukan jalannya sendiri,” kata Romo Reginald Piperno, imam yang berorasi mewakili Keuskupan Agung Ende.

Melky Nahar, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) yang menjadi orator terakhir berkata proyek-proyek tambang adalah ekstraktivisme yang menampakkan “wajah modern dari penjajahan, yang datang dengan janji kesejahteraan tapi meninggalkan kemiskinan.”

“Menyebut diri sebagai pembangunan, tapi yang tumbuh konflik, krisis dan penderitaan rakyat. Hutan dirampas, tanah diobrak-abrik, sungai dikotori dan masyarakat terusir dari tanah leluhurnya,” katanya.

Berhadapan dengan soal-soal itu, kata Melky, “perlawanan tidak bisa dipikul sendiri oleh masing-masing pribadi atau komunitas warga.”

“Perlawanan harus dan wajib untuk terhubung, sebab yang kita lawan adalah sistem yang sama, sistem rakus yang menukar kehidupan dengan keuntungan jangka pendek,” katanya.

Harwati, perempuan korban lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur berorasi di Kemah Tabor-Mataloko, Kabupaten Ngada, NTT pada Hari Anti Tambang, 29 Mei 2025. (Foto: Dokumentasi Panitia Hatam 2025)

“Flores Bukan Pulau Panas Bumi”

Pada akhir orasi-orasi tersebut, lima perwakilan warga membacakan “Deklarasi Sikap dan Seruan Warga Kepulauan Indonesia.” 

Salah satunya adalah Romo Firminus Dai Koban, imam Keuskupan Larantuka yang berasal dari lingkar proyek geotermal Atadei, Kabupaten Lembata.

Deklarasi itu mengatasnamakan “perempuan dan laki-laki warga kepulauan, warga masyarakat adat, petani, nelayan, pemuda, mahasiswa, pekerja lintas sektor, rohaniwan, pembela lingkungan hidup, jurnalis, warga organisasi masyarakat sipil dari seluruh penjuru nusantara.”

“Dari gunung-gunung yang digali, sungai yang tercemar, hutan yang digunduli, hingga laut yang ditimbun—seluruh ruang hidup kami dikapling dan dijual atas nama peningkatan pendapatan negara, pembesaran nilai uang dari perluasan dan kemajuan industri ekstraktif serta industri energi yang berwatak parasit,” kata mereka.

Hal itu terjadi karena pemerintah justru menjadi “agen pelancar kerakusan korporasi tambang” yang terus “mengobral izin investasi,” alih-alih menjadi pelindung warga.

“Kemajuan material apapun yang mengorbankan tanah dan air, menyingkirkan rakyat dari ruang hidupnya, memperburuk krisis iklim, dan menindas, adalah kolonialisme yang sama, tapi lebih brutal.”

Flores yang ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2017 disebut khusus dalam deklarasi itu yang “tanpa sepengetahuan dan sepersetujuan kami.”

“Tanah leluhur, hutan adat, dan mata air kami kini diklaim sebagai ‘potensi energi’ yang harus dieksploitasi demi kepentingan yang bukan milik kami”, hal yang disebut sebagai penghinaan terhadap hak-hak asasi masyarakat Flores.

Warga juga mendeklarasikan suara protes terhadap sikap pemerintah yang “terus memaksakan perampasan ruang berskala pulau tersebut”, termasuk mengkritisi pembentukan tim investigasi oleh Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena.

Mereka menyatakan tim tersebut “bukan upaya mendengar warga, tapi hanya akal-akalan untuk melanjutkan proyek.” 

Karena itu, warga menuntut pemerintah menghentikan seluruh operasi industri ekstraktif di Indonesia dan mencabut Keputusan Menteri ESDM yang menetapkan Flores sebagai Pulau Panas Bumi.

Warga juga menuntut penghentian kriminalisasi dan intimidasi terhadap warga, aktivis, jurnalis dan pendamping hukum yang memperjuangkan hak hidup, termasuk menghukum pemerintah dan perusahaan yang terlibat dalam perampasan lahan.

“Kami tahu, perjuangan ini panjang dan penuh risiko. Tapi kami tidak akan diam. Kami akan terus bersuara, berdiri, dan melawan. Karena bumi ini bukan warisan segelintir elite, melainkan milik seluruh makhluk hidup dan generasi yang akan datang,” kata mereka.

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA