Floresa.co – Kaum muda dari Kabupaten Ngada yang giat mengadvokasi isu perubahan iklim menolak proyek geotermal di wilayah Mataloko.
Selain itu, mereka juga mendesak pemerintah mencabut Surat Keputusan (SK) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2017 terkait penetapan Pulau Flores sebagai Pulau Geotermal.
“Kami menilai bahwa keputusan menjadikan seluruh Flores sebagai ‘Pulau Panas Bumi’ adalah keliru dan tidak kontekstual,” kata Ardin Lik, Ketua Koalisi KOPI Ngada sebagaimana dikutip dari Faktahukumntt.com.
Menurutnya, SK yang diteken pada 19 Juni 2017 itu oleh Menteri Ignasius Jonan “tidak berpihak pada keberlanjutan lingkungan hidup dan kehidupan sosial masyarakat lokal.”
Koalisi KOPI merupakan singkatan dari Koalisi Aksi Orang Muda untuk Perubahan Iklim yang sejak berdiri pada November 2020 menjadi wadah untuk menghimpun komunitas atau organisasi kaum muda di NTT.
Gerakan Koalisi KOPI diinisiasi oleh organisasi Hutan Itu Indonesia dan Terasmitra dengan dukungan Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (HIVOS) dalam program Voices for Just Climate Action (VCA).
Ardin berkata, “penolakan terhadap proyek geotermal secara khusus di Mataloko, Kabupaten Ngada, berdasar pada potensi proyek tersebut yang semakin merusak ekosistem.”
Ia menilai proyek itu sedang “mengancam kehidupan sosial ekonomi warga.”
Apalagi, menurutnya, proyek yang sudah berlangsung selama dua dekade lebih terbukti telah menimbulkan kerusakan ekologis dan keresahan sosial.
Dalam catatan koalisi, menurut Ardin, proyek di Mataloko memicu “kerusakan lingkungan berupa pencemaran udara, penurunan debit air di beberapa sumber mata air penting serta penurunan produktivitas pertanian.”
Selain itu, ada ancaman kehilangan lahan pertanian yang berdampak pada ketahanan pangan dan ekonomi lokal.
“Lahan-lahan itu bukan hanya tanah, tapi napas hidup bagi petani kecil di Ngada,” kata Ardin.
Ia juga berkata, proyek geotermal juga berdampak secara sosial dan budaya yang dapat memicu konflik agraria dan ketegangan sosial di tengah masyarakat.
“Komunitas adat terancam kehilangan ruang budaya dan situs ritual yang selama ini dijaga turun-temurun,” katanya.
Bukan Berarti Menolak Pembangunan
Ardin berkata penolakan terhadap proyek geotermal di Flores bukan berarti “menolak pembangunan.”
Warga dan aktivis lokal, kata dia, hanya ingin memastikan bahwa pembangunan dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip “keadilan ekologis dan sosial.”
“Kami ingin hidup berdampingan dengan alam, bukan menjadi korban dari janji-janji (transisi) energi yang ternyata menyisakan penderitaan,” katanya.
Karena itu, jelasnya, Koalisi KOPI Ngada menawarkan solusi alternatif, dengan memanfaatkan “potensi energi surya dan angin yang lebih ramah lingkungan dan minim dampak sosial.”
Dengan demikian, “kebutuhan energi masyarakat tetap terpenuhi tanpa membuka proyek-proyek baru yang berisiko tinggi.”
Selain itu, menurut Ardin, pengembangan sektor pariwisata dan pertanian yang selama ini menjadi tulang punggung masyarakat dapat memperkuat sektor-sektor ekonomi lokal yang terbukti berkelanjutan, antara lain, pariwisata berbasis alam dan budaya serta pertanian organik.
Proyek geotermal Mataloko yang tengah dikerjakan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menargetkan energi listrik sebesar 2×10 Megawatt.
Proyek ini hanya salah salah satu dari berbagai titik di Flores yang menjadi target pengembangan pembangkit listrik panas bumi.
Editor: Herry Kabut