Floresa.co – Petrus Manuk, warga Desa Hokeng Jaya yang berada di dalam zona merah erupsi Lewotobi Laki-Laki mengaku dilema saat mendengar ancaman Wakil Bupati Flores Timur, Ignas Boli Uran.
Ancaman itu menyasar warga di enam desa zona merah yang masih memilih kembali ke kampung di tengah kondisi genting erupsi itu.
“Masyarakat yang menantang instruksi pemerintah tidak mendapatkan bantuan apapun, baik di posko pengungsian maupun hunian tetap,” kata Ignas setelah erupsi Lewotobi Laki-Laki pada 17 Juni.
Untuk paramedis, tambahnya, “dilarang untuk memberikan pertolongan jika ada masyarakat yang mengalami luka akibat erupsi.”
Petrus yang masih memilih untuk kembali ke kampungnya berkata, “kami bukan keras kepala.”
Menetap di posko dan pulang kampung, kata pria 45 tahun itu adalah “dua hal yang sama-sama mengancam nyawa.”
“Pulang kampung terancam oleh kondisi gunung,” katanya, sementara ia harus tetap memikirkan cara mencari nafkah untuk keluarganya.
“Anak juga butuh uang untuk bayar sekolah dan beli makan minum di Larantuka,” kata Petrus kepada Floresa pada 18 Juni.
Jika bertahan di posko, “babi dan kambing di kampung siapa yang kasih makan? Tidak mungkin kami bawa ke posko.”
Erupsi pada 17 Juni mengeluarkan kolom abu setinggi 10.000 meter di atas puncak atau sekitar 11.584 meter di permukaan laut.
Badan Geologi mengimbau agar masyarakat tidak melakukan aktivitas apa pun dalam radius 7 kilometer dari puncak. Khusus di sektor barat daya hingga timur laut, larangan berlaku hingga radius 8 kilometer.
Lembaga itu juga memperingatkan potensi banjir lahar hujan, terutama jika terjadi hujan lebat di wilayah sekitar. Warga yang bermukim di daerah Dulipali, Padang Pasir, Nobo, Nurabelen, Klatanlo, Hokeng Jaya, Boru, dan Nawakote pun diminta meningkatkan kewaspadaan.
Kondisi ini membuat Pemerintah Kabupaten Flores Timur mewanti-wanti warga untuk bertahan di empat posko yang telah disediakan.
Petrus yang tinggal di Posko Bokang Wolomatang menyatakan, andai harus bolak-balik antara posko dengan kampung, butuh ongkos tiap hari Rp 30.000, jumlah yang menurutnya “terlalu besar.”
Hal itu, membuat ia kadang bertahan selama beberapa hari di kampung sebelum kembali ke posko.
Elisabet Ene Karan, warga Desa Hokeng Jaya lainnya berkata, ia paham bahwa “wakil bupati ingin masyarakat selamat dari bencana.”
Namun, katanya kepada Floresa 19 Juni pagi, “mau tidak mau kami harus pulang untuk mencari uang, apalagi sekarang persiapan masuk tahun ajaran baru.”
“Kami harus bayar uang sekolah anak,” kata Elisabeth yang masih mencari waktu untuk tetap kembali ke Hoeng Jaya.
Keterbatasan di Posko
Para penyintas telah tinggal di posko sejak erupsi besar pada 4 November, yang mengakibatkan sembilan orang meninggal.
Seorang di antaranya ialah biarawati Katolik, Suster Nikolin Padjo, SSpS, 59 tahun usai tertimpa reruntuhan bangunan biara.
Avelina Manggota Hallan, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Flores Timur mengklaim stok makanan di empat posko pengungsian masih aman.

Namun, menurut para pengungsi, dalam beberapa bulan terakhir, logistik di posko kian terbatas.
Petrus berkata, karena ketersediaan makanan sudah sangat kurang, “akhir-akhir ini kami hanya makan nasi kosong saja.”
Veronika Puka yang tinggal di Posko Bokang Wolomatang berkata, dapur di posko pernah tutup selama satu minggu setelah Pesta Paskah pada April karena ketiadaan beras.
“Kejadian serupa, terjadi lagi pada minggu lalu,” katanya pada 19 Juni.
“Tidak hanya beras, kami juga membutuhkan kopi, gula dan kayu api. Pemerintah tidak sumbang kayu lagi, jadi setiap giliran masak harus siapkan kayu sendiri,” tambahnya.
Veronika melanjutkan, “jumlah pengungsi sekitar 800 orang membutuhkan beras 200 kilogram sekali masak,” tetapi sekarang “hanya masak 40 kilogram.”
Dengan volume demikian, setiap orang hanya mendapat jatah makanan setengah piring.
Agnes Bone, 41 tahun, pengungsi lain di Posko Konga mengaku “hanya makan hanya dua kali sehari.”
“Kami dapat bantuan beras dari pemerintah, namun tidak banyak sehingga harus irit,” kata warga asal Desa Nawokote itu.
Ia menambahkan, “pengungsi juga kekurangan air,” yang diantar sekali dalam dua hari sehingga “belum cukup untuk kebutuhan sehari-hari.”

Selian krisis air bersih dan beras, Agnes mengaku “beberapa pengungsi hanya tidur beralaskan terpal,” karena “tak mendapat kasur bantuan.”
Kepala Desa Konga, Martinus Polus Kwuta berkata, pengungsi di Konga sekitar seribu lebih orang, sementara “stok beras tidak mencukupi karena hanya tersedia satu ton untuk dua dapur.”
Anak-anak Kesulitan ke Sekolah
Pengungsi di kedua posko itu juga mengeluhkan kesulitan akses pendidikan.
“Siswa di Posko Bokang Wolomatang harus berjalan kaki sejauh kurang lebih delapan kilometer menuju sekolah di Konga,” kata Elisabeth.
Ia berharap, “pemerintah bisa memberikan bantuan untuk mobilisasi anak-anak ke sekolah.
Sementara di Posko Konga, Agnes berkata, banyak siswa yang pakaian sekolahnya sudah tidak layak pakai.
“Kalau bisa, pemerintah perhatikan juga dengan pakaian sekolah,” katanya.
Editor: Ryan Dagur