Floresa.co – Tiga aspiran atau calon biarawati Katolik – Ari, Hilda dan Evan – masih tampak ketakutan saat sedang menunggu kendaraan menuju Kewapante, Kabupaten Sikka.
Wajah ketiganya tegang, dengan tatapan menerawang. Di wajah dan pakaian mereka masih melekat abu vulkanik dan pasir.
Pada 4 November pagi itu, mereka beristirahat di depan Gereja St. Yohanes Baptista Boganatar, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka.
Berjarak 21 kilometer dari Lewotobi Laki-Laki di Kabupaten Flores Timur, Bogantar merupakan salah satu tempat yang aman pasca erupsi gunung api itu.
Dengan was-was, mereka menanti rekan dari Kongregasi Suster-Suster Abdi Roh Kudus atau SSpS di biara di Hokeng, Kabupaten Flores Timur.
Pada 3 November malam saat erupsi, biara yang ditempati puluhan biarawati dan calon biarawati itu menjadi salah satu lokasi yang terdampak paling parah.
“Saya hendak tidur pukul 22.00 Wita saat hujan dan guntur bertautan dengan bunyi gemuruh dari gunung,” kata Evan mengisahkan situasi kurang dari dua jam sebelum erupsi.
Ia masih terjaga ketika “kemudian terdengar letusan besar” pada pukul 23.57 Wita dan “pintu terbuka sendiri, kaca jendela seperti tersambar petir.”
Spontan keluar dari dalam bangunan biara, ia mendengar suara “batu-batu di gunung seperti baku tabrak sana-sini.”
“Pijaran api terlihat dari kawah gunung,” katanya.
Ia berkata, malam itu menjadi malam yang “paling mengerikan bagi kami dan dentuman keras itu masih terngiang jelas di telinga.”
Ia pun spontan memilih lari menjauh menuju Boru, Kecamatan Wulanggitang.
“Kaki melepuh karena yang kami injak itu pasir panas. Kadang saya lepas sandal. Kalau telapak kaki sudah panas, saya pakai lagi,” katanya.
Ia berkata, jalan juga penuh dengan kendaraan dan manusia yang berusaha melarikan diri.
“Orang menangis dan berteriak dimana-mana,” kata Evan.
“Saya lihat ada batu-batu dan percikan api jatuh di depan kami, sedangkan pohon-pohon tumbang ke jalan,” katanya.
Ia menggambarkan malam itu: “Kami seperti melihat kematian di depan mata.”
Sembari berlari, ia berharap ada yang menawarkan tumpangan kendaraan.
Lari dari biara dan terpisah dengan para biarawati lain, Evan mengaku sempat bergumam dalam hati, “Tuhan Allah, mereka selamat atau tidak?”
Setelah berlari kurang lebih dua kilometer, ketiganya mendapat tumpangan sebuah mobil pikap menuju Boganatar.
Di Bogantar pagi itu, pandangan ketiganya memperhatikan dengan seksama setiap kendaraan yang lewat sambil membawa pengungsi.
Ketiganya menangis histeris saat melihat tiga truk yang membawa rombongan biarawati rekan mereka bersama karyawan serta para siswa SMP Sanctissima Trinitas Hokeng. Sekolah itu merupakan salah satu dari beberapa yang mereka kelola di Flores Timur.
Rekan-rekan mereka di atas truk itu juga ikut menangis melihat ketiganya yang selamat.
Pimpinan Biara Tewas
Kendati ada rasa lega, mereka juga masih harap-harap cemas karena belum mendapat kabar tentang pimpinan biara, Suster Nikolin Katharina Pajo, SSpS.
Selain itu, masih ada karyawan beserta puluhan murid SMP Sanctissima Trinitas Hokeng yang belum kelihatan.
Evan mengaku cemas dengan Suster Nikolin karena saat erupsi ia melihat ada batu api yang jatuh tepat di kamarnya.
Kekhawatirannya tentang Suster Nikolin rupanya terbukti.
Tak lama kemudian, ponsel Suster Hildegardis, SSpS, salah satu biarawati di Komunitas SSpS Bogantar berdering.
Terdengar suara dari seberang: “Suster Nikolin meninggal, terjebak api di dalam kamar tidurnya.”
Para biarawati itu spontan menangis sembari berpelukan. Begitupun warga Boganatar yang mendengar kabar tersebut.
Suster Nikolin, 58 tahun, merupakan salah satu dari sembilan korban jiwa akibat erupsi ini.
Kurang lebih satu jam setelahnya, rombongan biarawati, karyawan dan anak asrama SMP Sanctissima Trinitas Hokeng pun dievakuasi menggunakan tiga truk menuju Biara SSpS Kewapante.
Jenazah Suster Nikolin dievakuasi pada 4 November pukul 11.00 Wita dan dibawa menuju Biara SSps di Kewapante.
Suster Thomasin, SSpS yang turut menjemput jenazah Suster Nikolin berkata, “terdapat lubang besar di kamarnya.”
“Batu besar jatuh langsung di kamar. Kondisi kamarnya pun hangus terbakar,” katanya kepada Floresa.
Suster Nikolin dimakamkan pada 5 November di Tempat Pemakaman Para Suster SSpS di Desa Watumilok, Kecamatan Kangae.
Puluhan murid SMP Sanctissima Trinitas yang dievakuasi ke Kewapante sudah dijemput orang tua mereka, kata Suster Thomasin.
Kendati ikut menjadi korban, katanya, saat ini para suster ikut membantu para pengungsi di sejumlah lokasi.
“Kami mau menjadi penyalur bantuan bagi sesama kami yang mengalami hal yang sama,” katanya.
Ia pun berterima kasih kepada semua yang telah memberikan doa dan dukungan bagi para korban erupsi, termasuk bagi Suster Nikolin.
Pasca erupsi pada 3 November, Lewotobi Laki-laki masih mengalami erupsi lanjutan.
Erupsi terakhir terjadi pada 9 November pukul 22.00 Wita dengan tinggi kolom abu teramati kurang lebih 5.000 meter, menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.
Pemerintah masih mempertahankan status gunung itu pada level tertinggi, ‘awas.’
Warga pun diminta tidak melakukan aktivitas apapun dalam radius tujuh kilometer dari pusat erupsi dan sembilan kilometer pada arah barat daya – barat laut.
Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah Flores Timur, hingga 9 November, jumlah pengungsi terus bertambah menjadi 11.445 jiwa. Mereka tersebar di sejumlah titik di Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Sikka.
Editor: Ryan Dagur