Floresa.co - Sebuah webinar yang digelar Lima Pilar Foundation pada Sabtu, 29 Mei menggarisbawahi pentingnya peran komunitas literasi sebagai ujung tombak dalam rangka membangun literasi yang baik di Manggarai.
Di...
Oleh: RIO EDISON, OFM
Senja. Aku suka pada senja, dari dulu. Aku suka pada semburat sinar kuning kemerah-merahan yang memancar dari arah barat, menyelinap di antara celah gedung-gedung tinggi. Aku kagum pada perubahan...
Oleh: JIMMY YOHANES HYRONIMUS
Gerbang telah ditutup. Pak
Amin telah meletakkan kunci gembok sekolah dalam saku celana tuanya. Beberapa
detik yang lalu Nadia masuk tergesa-gesa. Nafasnya ngos-ngosan seperti baru
dikejar anjing tetangganya yang...
OLEH: Willy Matrona, Wartawan Majalah Hidup dan Ketua Komunitas Lingko Ammi Jakarta
“Ayahku
seorang penyadap nira. Ia kekuatanku. Denyut jantungku dan masa depanku. Jika
engkau menemuinya katakan, begitu dalam cintaku padanya.”
***
Liburan semester empat yang lalu, aku meninggalkan...
Artikel berjudul "'Tanah itu Ibu Kami’: Cara Perempuan Poco Leok, Flores Pertahankan Tanah dari Ancaman Proyek Geothermal” menjadi juara satu dalam lomba yang digelar oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Indonesiana.id dan Mongabay Indonesia itu.
Dalam acara Hari Kebebasan Pers Sedunia di Labuan Bajo yang digelar Project Multatuli dan Floresa, para jurnalis, warga adat, kaum muda, aktivis dan akademisi bersama-sama mendiskusikan peran pers dalam mengawal proses pembangunan di Flores.
Ketika yang jadi alat ukur hanyalah Produk Domestik Bruto, kekayaan alam dan masyarakat hanya dilihat sebagai faktor produksi, sementara dampak ekologis dan sosial tak jadi pertimbangan. Hukum pun dipakai sebagai alat legitimasi kerusakan melalui pelbagai pelonggaran dan deregulasi.
Penolakan para perempuan Poco Leok didasarkan pada kesadaran bahwa tanah adalah sumber kehidupan, kosmologi adat setempat yang melihat bumi sebagai ibu, penghormatan terhadap warisan leluhur dan kecemasan terhadap potensi bencana alam.