Menjadi Gereja yang Seharusnya Sinodal: Keuskupan Ruteng dan Polemik Geothermal Wae Sano

Dengan studi kasus sikap Keuskupan Ruteng dalam polemik geothermal Wae Sano, Wilibaldus Gaut lewat artikelnya di sebuah jurnal internasional menyatakan bahwa sikap hierarki Gereja melawan prinsip gereja sinodal.

Judul: Jalan Terjal Menuju Gereja yang Sinodal; Penulis: Wilibaldus Gaut, SVD; Tahun terbit: 2023, Penerbit: International Journal of Asian Christianity

Gereja sinodal, yang saat ini sedang terus didengungkan Gereja Katolik, ibarat piramida terbalik, demikian kata Paus Fransiskus. Ia tak meruncing ke atas. Sebaliknya, ia mengerucut ke bawah. Alas yang runcing dan lebih sempit ketimbang lapisan atasnya adalah penopang bagi aspirasi, keprihatinan dan kebutuhan umat Allah — pemuncak piramida terbalik — akan kesejahteraan serta keselamatan jiwa raga. 

Hal itu diingatkan Daniel P. Horan – bruder Fransiskan dan profesor teologi sistematik di Chicago, Amerika Serikat – dalam opininya, Sinodality Isn’t an Option, It’s The Only Way to be Church, [Sinodalitas Bukan Sebuah Opsi: Itu adalah Satu-satunya Cara Menggereja].

Menyitir ucapan paus soal piramida terbalik itu, Horan menyatakan, Gereja sinodal tidak bermaksud “meremehkan kepemimpinan hierarkis,” namun Gereja serentak “bukan monarki, tempat konferensi para uskup setempat atau bahkan seorang paus memerintah berdasarkan fiat saja.” Fiat itu semacam titah, perintah. 

Oleh Komisi Teologi Internasional, sinodalitas itu kemudian didefinisikan sebagai “keterlibatan dan partisipasi seluruh umat Allah dalam kehidupan dan misi Gereja.”

Preferensi Hierarki Gereja

Bagaimana sinodalitas itu dipraktikkan di aras institusi Gereja Katolik? Mengambil contoh kasus di Keuskupan Ruteng, Wilibaldus Gaut, SVD lewat artikelnya Steep Path Toward a Synodal Church [Jalan Terjal Menuju Gereja Sinodal] memberi catatan penting tentang praksis sinodalitas itu.

Artikel Wilibaldus Gaut yang dimuat di “International Journal of Asian Christianity.”

Ia secara khusus mengkaji sikap Keuskupan Ruteng dalam polemik proyek geothermal di Desa Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat. Proyek itu adalah bagian dari upaya pemerintah pusat memaksimalkan potensi energi geothermal di sejumlah titik di Pulau Flores. Warga setempat menentangnya karena khawatir dengan dampaknya bagi ruang hidup mereka.

Wilibaldus, yang kini sebagai periset di Universitas Katolik Leuven, Belgia, memberi catatan tegas bahwa sikap Gereja Keuskupan Ruteng dalam menanggapi masalah itu gagal mempraktikkan prinsip gereja sinodal. Ini merujuk pada pilihan sikap atau preferensi hierarki keuskupan yang justru “lebih mendengarkan penguasa dan sebaliknya mengabaikan suara komunitas umat di akar rumput.” 

Wilibaldus mendasarkan pandangannya pada dinamika sikap hierarki, khususnya Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat, yang awalnya sebetulnya mendengarkan suara warga, namun kemudian berbalik arah. Ia menyinggung surat uskup pada 9 Juni 2020 kepada Presiden Joko Widodo yang menyatakan penolakan terhadap rencana proyek geothermal ini.

Dalam isi surat yang berpihak pada aspirasi warga itu, Uskup Siprianus beranggapan bahwa proyek itu akan lebih banyak mendatangkan bencana ketimbang keuntungan, terutama terhadap hak-hak masyarakat lokal. Ia juga menyinggung potensi kehancuran ekologisnya.

Namun, sikap itu berbalik pada tujuh bulan kemudian ketika pada pada 29 Mei 2021, Uskup Siprianus kembali menyurati presiden. Dalam surat kedua itu, ia justru mendukung rencana proyek itu.

Dalam sebuah siaran pers, keuskupan mengklaim bahwa sikap itu diambil setelah “melewati proses dialog dan dialektika yang transparan, serta kerja keras konstruktif para pihak berkepentingan yang dilandasi itikad luhur untuk mengupayakan kesejahteraan bersama.”

Namun, bertentangan dengan klaim dalam pernyataan itu, warga menyatakan protes keras, menuding keuskupan mengesampingkan suara penolakan mereka.

Warga Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat sedang membaca surat Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat yang meminta agar proyek geothermal di kampung mereka dilanjutkan. Pada Minggu, 6 Juni 21, warga berkumpul membahas surat tersebut yang mereka sebut menggadaikan masa depan mereka. (Foto: Floresa)

Wilibaldus menyatakan bahwa memang sewaktu-waktu Gereja “dapat berperan sebagai mitra pendukung program pembangunan pemerintah,” termasuk dalam proyek geothermal itu.

Namun, Gereja tidak boleh kehilangan peran sebagai lembaga kritik sosial, terutama ketika “pembangunan dan praktik-praktik politik tertentu pemerintah nyata-nyata bertentangan dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan” dan “cita-cita pembangunan yang integral dan berkelanjutan.”

Pengabaian terhadap aspirasi warga, catat Wilibaldus, membuat sikap Uskup Siprianus dalam surat kedua itu “tidak sepenuhnya mewakili visi Gereja yang sinodal” karena “dibuat tanpa konsultasi yang baik dengan masyarakat setempat.”

Padahal, dalam terang Gereja sinodal, jika hierarki ingin mengambil sikap tertentu sebagai sebuah Gereja, maka mesti merepresentasikan aspirasi umat Allah, bukan sikap hierarki saja.

Dasarnya jelas, karena prinsip sinodalitas berdiri di atas keyakinan bahwa setiap anggota komunitas memiliki martabat yang sama, bahwa setiap orang dalam Gereja adalah subyek, sehingga umat beriman harus dilihat sebagai kawan seperjalanan.

Dalam konteks ini, menurut Wilibaldus, seharusnya suara protes masyarakat Wae Sano-lah yang difasilitasi oleh uskup untuk disampaikan kepada pemerintah, seperti dalam surat pertama.

Pentingnya mendengarkan suara masyarakat setempat, memperhatikan keprihatinan mereka, mengakomodasi aspirasi mereka dan mengadopsi perspektif mereka, urai Wilibaldus, berangkat dari kesadaran bahwa sekalipun analisis ilmiah, ekonomi dan pembangunan sangat penting untuk sebuah keputusan akhir dalam polemik semacam itu, namun “pengalaman nyata masyarakat setempat tetap menjadi titik kritis lain yang perlu dipertimbangkan dengan hati-hati,” hal yang seharusnya menjadi perhatian Gereja.

Mengapa Peran Gereja Krusial?

Pertanyaannya kini: sebagai pembaca awam yang tak lahir dan dibesarkan di NTT, bagaimana merunut kaitan antara peran krusial Gereja dan pengharapan akan keselamatan umat? Mengapa suara Gereja menjadi begitu penting dalam polemik semacam ini.

Dari uraiannya, Wilibaldus memberi penjelasan ini; “Gereja sejak awal tak hanya memperhatikan kehidupan internal gerejawi, melainkan juga kesejahteraan masyarakat setempat dan perbaikan berbagai aspek hidup mereka.” Itulah mengapa ketika peran Gereja seolah-olah tereduksi menjadi instrumen politik dari pemerintah, umat pun tak segan bereaksi.

Respons masyarakat setempat sebetulnya sejalan dengan visi Paus Fransiskus akan gereja yang sepenuhnya sinodal. Paus Fransiskus “sama sekali menolak kecenderungan sentralisasi yang berlebihan di dalam Gereja,” seperti halnya klerikalisme yang berulang-ulang dikritiknya. Sebaliknya, sinodalitas harus selalu mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan umat Allah.

Alasan lainnya bisa dengan melihat statistik wilayah Keuskupan Ruteng yang mencakup  tiga kabupaten – Manggarai Barat, Manggarai dan Manggarai Timur. Di tiga kabupaten itu, merujuk pada data Badan Pusat Statistik, Katolik begitu dominan. Di Manggarai Timur  92,87 persen, Manggarai 95,17 persen dan Manggarai Barat 78,06 persen.

Dengan melihat angka-angka ini, tentu peran Gereja amat strategis sebagai lembaga keagamaan yang memiliki anggota paling dominan. Itulah pula kiranya alasan mengapa institusi pemerintah selalu berupaya merangkul, juga mendapat dukungan Gereja.

Dalam foto pada bulan Mei 2021 ini tampak Uskup Ruteng, Mgr Siprianus Hormat bersama sejumlah imam mengepalkan tangan bersama pejabat pemerintah dan petinggi perusahan yang akan mengerjakan proyek geothermal di Wae Sano. Pertemuan ini digelar di di Hotel La Prima, Labuan Bajo. (Foto: Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral)

Kajian Wilibaldus ini menjadi sebuah catatan penting bagi Keuskupan Ruteng dalam merumuskan sikap terhadap masalah-masalah yang sedang digumuli umat.

Dari yang ditulisnya, tidak ada pilihan lain sebetulnya, selain mempraktikkan gereja sinodal itu, yang selalu mencari dan menemui orang-orang yang terpinggirkan di dalam Gereja.

Sebagaimana penegasannya di bagian akhir, Gereja memang hadir untuk orang-orang semacam itu.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kami bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.